Apa Artinya Boleh Mengisi Kolom Agama di KTP?

Cover_Apa Artinya Boleh Mengisi Kolom Agama di KTP?

Baru-baru ini sidang putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa penganut agama di luar enam agama resmi dapat mencantumkan kepercayaannya di kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP). Lalu seberapa penting keputusan ini bagi para pemeluk agama yang selama ini tidak diakui negara?

Memiliki agama menjadi penting di Indonesia setelah Pancasila digunakan sebagai pedoman negara. Apalagi, setelah Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1965 diresmikan pada zaman Orde Baru. Undang-undang ini mengatur tentang agama-agama apa saja yang dianut penduduk Indonesia dan diakui pemerintah.

Sayangnya, karena peraturan tersebut sejumlah pemeluk agama tidak diakui keberadaannya dan tidak difasilitasi oleh negara. Contohnya, seperti Sunda Wiwitan, Kaharingan, Parmalim, dan lain sebagainya yang jumlahnya menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2017 ada sekitar 187 kepercayaan di Indonesia[1] dengan jumlah total pengikut lebih dari 12 juta orang[2]. Apakah kalian pernah mendengar nama-nama agama ini sebelumnya?

Young boy in Cigugur, Kuningan, West Java on Thursday (14/09) "The emptying of religious columns in e-ID cards is becoming a more complex issue," said Dewi Kanthi, a resident who belief Sunda Wiwitan and civil rights activist on Friday (15 / 09). "For a public service there can be no consideration of the majority and minority, justice is to be fulfilled as part of the public service," she added. (JG Photo/Yudha Baskoro)

Beberapa agama tersebut tumbuh dan berkembang sebelum agama yang dianggap resmi seperti Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu masuk ke Indonesia. Sunda Wiwitan, misalnya, sudah ada di tanah Sunda, Banten dan Jawa Barat, sebelum Islam berkembang di sana. Sedangkan Aluk Todolo sudah dianut oleh penduduk Tana Toraja sebelum agama Kristen tersebar di wilayah itu[3].

Karena tidak ditetapkan sebagai agama resmi, agama lokal justru jadi ‘agama strip’ alias tidak dicantumkan dalam KTP. Ini tercantum dalam peraturan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013. Petugas administrasi pembuat surat kependudukan biasanya membubuhkan tanda strip di kolom agama. Kadang kala, pemeluk agama yang tidak dianggap resmi juga terpaksa memilih salah satu agama untuk mengisi kekosongan itu. Meski mereka sama sekali tidak menghayati atau melakukan praktik ajaran agama tersebut.

Tidak berhenti sampai di situ, kekosongan di kolom agama ternyata membawa dampak besar bagi kehidupan para pemeluk agama yang tidak diakui. Misalnya, mereka mendapat stigma buruk dan sering kali dicap sebagai PKI atau atheis hanya karena mengosongkan kolom KTP. Banyak pula yang kesulitan mencari pekerjaan, terutama mereka yang ingin menjadi pegawai negeri dan TNI. Pernikahan antar-sesama pemeluk agama di luar versi resmi pemerintah juga tidak diakui di catatan sipil. Bahkan, keinginan sebuah keluarga penghayat Sapto Darmo untuk mengistirahatkan saudaranya di pemakaman umum ditolak oleh warga karena berkeyakinan berbeda.

Tahun lalu, seorang siswa di Semarang tidak naik kelas karena menolak mengikuti ujian praktik pelajaran agama sekolahnya, sebab sebenarnya ia bukan pemeluk agama yang diujikan tersebut. Pihak sekolah pun enggan memberi solusi dan menyatakan bahwa sekolah hanya mengakui nilai pelajaran agama yang tercantum di kurikulum. Di usia yang masih muda siswa SMK ini harus menghadapi kenyataan bahwa karena keyakinannya ia dikeluarkan dari sistem negaranya.

Mengalami sendiri diskriminasi selama bertahun-tahun, serta tidak ingin dampaknya menurun pada anak-anaknya, empat pemohon dari agama yang berbeda Nggay Mehang Tana (Marapu), Pagar Demanra Sirait (Parmalim), Arnold Purba (Ugamo Bangso Batak), Carlin (Sapto Darmo) memperjuangkan gugatan atas Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Dua hari lalu, MK akhirnya memutuskan bahwa penganut kepercayaan berhak untuk menuliskan keyakinan dan kepercayaannya di kolom agama yang ada di KTP.

Jumlah pemeluk agama tersebut memang tak sebanyak pengikut agama resmi versi pemerintah. Tetapi, bukan berarti dengan jumlahnya yang tidak banyak itu hak dan peran mereka bisa dinihilkan sebagai sebagai warga negara, terlebih sebagai manusia. Setiap orang di negara ini berhak untuk mendapatkan pelayanan administrasi sipil, jaminan kesehatan, kesempatan memperoleh pekerjaan serta pendidikan yang layak. Semua itu tercantum di Undang-Undang Dasar kita.

 

Sumber:

[1] http://nasional.kompas.com/read/2017/11/09/12190141/ada-187-kelompok-penghayat-kepercayaan-yang-terdaftar-di-pemerintah

[2] https://news.detik.com/berita/d-3494828/mlki-penghayat-kepercayaan-12-juta-orang

[3] https://tirto.id/agama-agama-yang-dipinggirkan-bnP3

 

Foto:

Jakarta Globe

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content