Bullying, Pelajar, dan Cerita Suka Ria Remaja

Cover_Bullying, Pelajar, dan Cerita Suka Ria Remaja

Hingga hari ini mungkin tidak banyak orang yang bisa membedakan candaan dan bullying. Ketidaktahuan akan tindakan bullying yang dilakukan oleh seseorang akhirnya membuat kasus bully di Indonesia terus terjadi. Berdasarkan riset Komunitas anti-bullying Sudah Dong[1], 90 persen pelajar kelas IV SD sampai VIII SMP pernah menjadi korban bullying dan 10 persen siswa keluar atau pindah sekolah karena menghindari bullying. Bahkan, sebanyak 40 persen anak-anak di Indonesia melakukan bunuh diri akibat dibully.[2]

Selain ketidaktahuan, tindakan bullying juga terjadi karena seseorang ingin menunjukan kekuasaan atau mendominasi orang lain atau kelompok. Dominasi terhadap korban ini akan berdampak pada status sosial pelaku yang ingin diakui lebih hebat, kuat, dan memiliki pengaruh di lingkungannya. Hal ini terekam dalam salah satu cerpen karya Dewina, siswi SMKN 1 Sindang Indramayu, yang dipublikasikan Pamflet dalam buku Cerita Suka Ria Remaja.

Cerpen berjudul Sekolah dan Kisah di Dalamnya bercerita tentang seorang pelajar bernama Vlerisa Amanda yang memiliki kepribadian periang dan pemberani. Hingga satu ketika Vlerisa menolak memberikan tugas sekolahnuntuk disalin oleh teman kelasnya yang bernama Sabrina. Penolakan itu berbuah tindakan agresif dari Sabrina, dibantu oleh kakak kelas yang memang terkenal akan tindakan negatifnya.

Ketika jam pelajaran usai, Vlerisa diseret ke kamar mandi sekolah. Vlerisa diancam, didorong, dijatukan, dan diinjak-injak. Tentu saja kejadian ini membuat Vlerisa trauma dan berdampak pada kepribadiannya. Semenjak itu Vlerisa berubah menjadi pemurung dan penakut, bahkan Vlerisa tidak lagi berani untuk mengemukakan pendapatnya di dalam kelas dan membantah semua keinginan Sabrina..

Apa yang terjadi pada tokoh utama cerpen tersebut merupakan bagian kecil dari dampak yang bisa terjadi pada korban bully. Dampak lain yang bisa terjadi pada korban bully yaitu, perasaan bersalah atau merasa telah berbuat salah, merasa putus asa, kesepian, depresi, malu, tidak aman, dan bingung hingga stress memikirkan penyebab dari situasi yang dihadapi.

Hal yang berbeda terjadi pada pelaku, yang mana akan merasa superior, dominan, berhak melakukan apa saja, hingga tidak segan melakukan sesuatu yang lebih ekstrim dari yang dilakukan sebelumnya. Potret tindakan ekstrim ini dapat dilihat pada cerpen berjudul Suara Kesunyian, karya Mohammad Faisal Chaniago, siswa SMAN 1 Indramayu dalam buku yang sama.

Faisal menggambarkan tokoh utama yang merupakan pelaku bully melakukan tidakan yang lebih ekstrim dari yang sebelumnya pernah dilakukannya karena merasa apa yang dilakukan tidak berdampak buruk kepada korban. Digerakan oleh perasaan itu akhirnya tokoh utama yang bernama Rizal terus melakukan tindakan bullying. Rizal baru merasa bersalah ketika mengetahui tindakannya berdampak sangat negatif terhadap kepribadian korabnnya.

Tindakan bullying yang digambarkan dalam dua cerpen karya pelajar ini memberikan pemahaman bahwa pelaku melakukan bullying digerakan oleh berbagai faktor. Penting untuk kita memahami bahwa faktor-faktor tersebut untuk meminimalisir tindakan bullying yang terjadi di Indonesia. Tentu saja itu bukan hal yang mudah, namun bukan berarti tidak mungkin. Tinggal bagaimana kita berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk terus memberikan pemahaman kepada kaum muda, terutama pelajar bahaya dari tindakan bullying.

 

[1] https://news.okezone.com/read/2015/12/14/65/1267026/90-persen-siswa-melapor-di-bully, diakses pada 6 Maret 2018

[2] http://news.liputan6.com/read/2361551/mensos-bunuh-diri-anak-indonesia-40-persen-karena-bullying, diakses pada 6 Maret 2018

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content