EDSA Revolution, People Power, dan Peran Gereja

Cover_EDSA Revolution, People Power, dan Peran Gereja

Latar Belakang

Filipina merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki banyak momen bersejarah. Salah satu yang masih membekas hingga saat ini adalah Revolusi EDSA. Sebuah revolusi yang menjatuhkan rezim Ferdinand Marcos yang berkuasa selama dua puluh tahun secara otoriter.

Revolusi EDSA merupakan aksi massa nirkekerasan yang terjadi pada 22 Februari 1986. Nama EDSA merupakan singkatan dari Epifano de lo Santos Avenue, sebuah jalan di Metro Manila yang menjadi lokasi aksi massa. Revolusi ini diogranisir oleh berbagai pihak yang muak pada rezim Marcos, seperti pelajar, Gereja Katolik, tentara, dan elit politik oposisi pemerintah.

Bibit Revolusi EDSA sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1971, ketika Marcos mendeklarasikan Filipina dalam kondisi Martial Law atau darurat perang[1]. Melalui kondisi ini, Marcos membatasi pergerakan oposisi dan membungkam media massa yang dianggap bersebrangan dengan kepentingannya[2]. Salah satu media yang diberangus oleh Marcos adalah Manila Time.

Sejarawan asal Amerika Serikat, McCoy[3]  mencatat selama periodisasi Martial Law (1971 – 1986), setidaknya terdapat 3.257 orang terbunuh, 35.000 orang mengalami penyiksaan, dan 70.000 orang dipenjara tanpa proses pengadilan. Jumlah tersebut merupakan gambaran kasar yang terdokumentasikan, yang mana terdapat ribuan lagi yang belum tercatat. Kondisi ini, tidak berbeda dengan apa yang Indonesia alami di masa Orde Baru, di mana ribuan orang disiksa dan dibunuh, ratusan aktivis diculik, dan puluhan orang hilang hingga hari ini.

 

Peletup Kemarahan Rakyat

Persamaan antara kondisi Filipina dan Indonesia juga terlihat banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh keluarga dan kroni-kroni Marcos. Akan tetapi peletup utama kemarahan rakyat adalah pembunuhan terhadap Benigno Aquino[4], seorang politisi sekaligus senator pro-demokrasi. Benigno Aquino dibunuh karena berani dengan tegas mengecam kediktatoran rezim Marcos.

Pembunuhan ini terjadi pada 21 Agustus 1983, ketika ia turun dari pesawat di Bandara Manila, selepas masa pengasingannya selama tiga tahun di Amerika Serikat. Ia ditembak di bagian kepala dan langsung meninggal di tempat dalam usia lima puluh tahun.

Peristiwa ini langsung membuat rakyat melakukan demonstrasi besar-besaran terhadap Marcos. Bahkan ketika dimakamkan, setidaknya terdapat dua juta rakyat Filipina yang datang dan memberi penghormatan terakhir dengan melakukan konvoi mengiringi jasadnya dari Concepsion ke wilayah Tarlac, Manila. Selama aksi itu, rakyat memiliki slogan Justice for Aquino, Justice for All.

Pasca pemakaman Aquino, antara 1983 – 1986, Manila dilanda demonstrasi besar-besaran menentang Marcos. Saat itulah muncul Corazon Aquino, sebagai oposisi, dengan menuntut sekaligus mengecam penculikan serta pembunuhan politisi oposisi. Kehadiran Corazon, seolah mewakili mendiang suaminya, Benigno Aquino.

Ketika situasi terus memburuk, Marcos mengumumkan akan mengadakan pemilihan presiden pada Februari 1986. Corazon merupakan lawan utama Marcos dalam menjadi Presiden Filipina. Saat itu, Corazon mendapat dukungan dari Jaime Kardinal Sin[5], Pemimpin Gereja Katolik Filipina dan seluruh elemen pro demokrasi Filipina. Sayangnya, meskipun begitu, Marcos tetap memenangi pemilu dengan kecurangan yang dilakukannya, seperti melakukan intimidasi, penghilangan hak pilih sebagian masyarakat, mengganti tiga puluh anggota KPU selama proses penghitungan suara dengan orang suruhannya, hingga membunuh Gubernur Evelio Javier, yang merupakan sekutu utama Corazon.

Kecurangan inilah yang memulai protes masyarakat Filipina yang mewujud menjadi Revolusi EDSA 1986.

 

Peran Gereja, Keruntuhan Marcos, dan Presiden Perempuan Pertama

Setelah kecurangan masif yang dilakukan Marcos, Corazon menyerukan agar masyarakat memboikot gurita bisnis Marcos. Selain itu, Wakil Staf AB Jenderal Fidel Ramos dan Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrille juga menyatakan dukungan terhadap Corazon dan mendesak Marcos untuk turun sebagai presiden.

Posisi Marcos semakin sulit, ketika Kardinal Sin yang sejak awal mendukung Corazon, melalui radio Veritas meminta umatnya melindungi kedua petinggi militer itu ketika hendak diciduk Kepala Staf AB Jenderal Fabian Fer. Bahkan, Kardinal Sin melalui radio yang sama mengajak seluruh rakyat untuk berkumpul di EDSA guna memprotes pemerintahan Marcos yang Zalim.

Hasilnya, EDSA dipenuhi oleh pastor dan biarawati yang berdoa dan berani berkonfrontasi langsung di depan tentara dan tank militer, sembari melempar senyum dan memberikan bunga[6]. Hingga akhirnya aksi massa dengan jutaan orang yang berlangsung selama empat hari, mampu menjatuhkan Marcos dan mengangkat Corazon Aquino sebagai Presiden perempuan pertama Filipina.

 

Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Filipina

Indonesia dan Filipina memang memiliki banyak kesamaan sejarah. Indonesia memiliki Soekarno, sedang Filipina memiliki Jose Rizal. Indonesia memiliki Megawati Soekarno Putri, Filipina memiliki Corazon Aquino. Dua orang perempuan yang menganggumkan di masanya. Namun bumi terus berputar dan permasalahan terus timbul dan tenggelam.

Persatuan elemen rakyat menjadi hal terpenting untuk melakukan perubahan besar suatu negara. Persatuan masih jauh dari Indonesia hari ini, karena kita terbelah oleh kepentingan politik yang dibakar oleh agama. Polarisasi akan hal tersebut sangat berbahaya untuk kehidupan bernegara, padahal Indonesia masih memiliki segudang permasalahan.

Sehingga penting kita untuk bersatu kembali, tak peduli apa agamamu, sukumu, ataupun warna kulitmu. Seperti yang diungkapkan Presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur “Tuhan yang Maha Besar, Maha Agung, dan Maha Berkuasa tidak perlu dibela. Yang memerlukan pembelaan adalah manusia yang ditindas dan dianiaya”

 

 

Daftar Bacaan

[1] http://www.gov.ph/featured/declaration-of-martial-law/, diakses pada 22 Februari 2018

[2] Frago, M. Perlita. 2006. The Media and Philippine Politics dalam Philippine Politics and Governance-Challenge to Democration and Development.

[3] McCoy, Alfred. 1999. Closer Than Brothers: Manhood at the Philiphine Military Academy. Yale University Press.

[4] Lee Bih Ni. 20120. Sejarah Asia Tenggara. Program Sains Social (Sejarah) Sekolah Pendidikan dan Pembangunan Social University Malaysia Sabah.

[5] http://www.cbcponline.net/documents/1980s/1986-post_election.html, diakses pada 23 Februari 2018

[6] Wui, A. Marlon. 1997. State Civil Society Relation in Policy Making. The Third World Studies Centre

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content