Jejak Berdarah Kaum Penjajah

Sebagai salah satu strategi pembelajaran sejarah yang berkaitan dengan sejarah lokal, guru SMA Al-Azhar 4, Bapak Wahyudin, mencoba mengangkat kembali kisah pembantaian di Rawagede yang terjadi pada 1947. Ide untuk mengangkat peristiwa ini juga untuk merespon pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan (yang tadinya menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Kemanan), untuk membawa kasus Pembantaian Westerling ke pengadilan internasional. Luhut menyampaikan hal tersebut sebagai responnya terhadap International People’s Tribunal (IPT) 1965 yang ingin mengungkap peristiwa pembantaian pada tahun 1965 di Indonesia. Pada kenyataannya, baik Peristiwa Pembantaian Westerling maupun Pembantaian Rawagede sudah diakui sebagai kejahatan perang oleh Belanda, telah diselesaikan secara hukum, dan sudah ada ganti rugi Belanda terhadap korban-korban dari kedua peristiwa tersebut.

Film bertema peristiwa Rawagede ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif untuk memberikan informasi bagaimana kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusia dapat diselesaikan, serta bagaimana pemerintah sebuah negara seharusnya bertanggung jawab terhadap pembunuhan yang pernah dilakukan atas nama negaranya. Film diproduksi dalam bentuk film dokumenter agar peristiwa dapat disampaikan secara jelas, ditambah dengan wawancara bersama penduduk di Rawagede (saat ini bernama Desa Balongsari, Karawang, Jawa Barat), serta memperlihatkan bagaimana situasi di Rawagede saat ini, enam puluh sembilan tahun setelah peristiwa pembantaian terjadi. Pamflet mempercayakan produksi film ini kepada WatchDoc Documentary sebagai satu rumah produksi film dokumenter yang sudah memiliki banyak pengalaman dalam produksi film serupa.

Memahami Indonesia

Film yang judul “Jejak Berdarah Kaum Penjajah” ini berdurasi 17 menit. Film ini menguak kisah pembantaian warga di Rawagede dari sudut pandang keluarga dan kerabat korban yang secara langsung menanggung akibat dari pembantaian ini. Berbagai kajian literatur termasuk wawancara terhadap korban dilakukan dengan mengunjungi Desa Balongsari untuk juga melihat makam para korban yang bernama Makam “Sampurna Raga”. Film akan menjelaskan bagaimana Pemerintah Belanda akhirnya bertanggung jawab terhadap peristiwa ini dan memberikan berbagai bentuk ganti ruginya kepada para penduduk di Rawagede.

Selain Bapak Wahyudin, film ini juga digagas oleh Bapak Jamal Arifansyah (Guru Sosiologi) dan Pak Hasan Marzuki (Guru Pendidikan Kewarganegaraan). Proses penyempurnaan konsep film dibantu juga oleh siswa SMA Al-Azhar 4, Kenji Andriano.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content