Mengenal ‘Yang Asing’

Cover_Mengenal ‘Yang Asing’

Bagaimana cara sebuah kelompok pengajian Islam obscure menarik perhatian banyak musisi indie kelas kakap Ibukota? Kelompok ini tak hanya sukses membujuk mereka mengikuti pengajian tersebut, namun juga membuat banyak musisi dan figur dunia kesenian tersebut berbalik arah dan menyatakan musik haram.

Meski belakangan mulai kurang terdengar gaungnya, kelompok pengajian Al Ghuroba atau The Strangers sempat jadi buah bibir 1-2 tahun terakhir – terutama setelah nama-nama kelas kakap seperti dua personil band indie The Upstairs dan vokalis band Rumahsakit hijrah ke pengajian tersebut dan menarik diri dari musik. Yang seru, Al Ghuroba tak seperti kebanyakan pengajian yang terkesan ‘keras’ denga mengerikan. Pendekatan mereka yang menggunakan simbol-simbol budaya populer dan kampanye media sosial sukses menarik perhatian anak muda.

Pada 10 Juli 2015, Pamflet membuka obrolan dengan Koalisi Seni Indonesia (KSI) di kantor KSI di Pejaten, Jakarta Selatan, dan membedah lebih jauh tentang The Strangers. Pertanyaan kami, mula-mula, adalah mengapa sebuah kelompok pengajian dari aliran Islam Salafi yang biasanya cukup ‘keras’ dalam masalah akidah serta memiliki kesan non-toleran mau menggunakan musisi band yang bertobat, meme, video dan bulletin yang dikemas seperti zine alternatif untuk menyampaikan pesannya? Serta, pesan seperti apa yang sebenarnya ingin mereka sampaikan?

 

—-

Seorang penulis kritik kebudayaan populer, Hikmat Darmawan, dan seorang pengajar serta peneliti musik dan subkultur, Yuka Dian Narendra, kami undang ke KSI sebagai pembicara sore itu. Dimoderatori oleh mahasiswi jurusan Filsafat dan Agama dari Universitas Paramadina, Fatimah Zahrah, para peserta diskusi mendengarkan paparan dan pandangan dari kedua pembicara yang sangat seru.

Dari The Strangers, tutur Hikmat, kita dapat belajar bahwa pergerakan kelompok agama atau religi selalu merupakan respons dari permasalahan-permasalahan pada zamannya. Hikmat membandingkan The Strangers dengan gerakan Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin) yang diikutinya ketika menjadi seorang pelajar di era Orde Baru.

Pada masa itu, perekonomian Indonesia yang sedang tumbuh memunculkan karakteristik kelas anak muda baru, yaitu kelas anak muda yang bisa menikmati uang saku dan mengkoleksi sesuatu. Ketika gaya hidup menjadi sebuah komoditas baru, bisa jadi, tuturnya, anak muda yang kemudian tertarik untuk mengikuti kelompok-kelompok pengajian seperti Tarbiyah adalah anak muda yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan gaya hidup kelas tertentu. Wacana yang dibangun Tarbiyah untuk mengajak anak-anak muda ini adalah wacana “perlawanan” terhadap konsumerisme dan gayahidup yang berlebihan.

 

“Ketika itu, kami diajari untuk selalu kritis dengan situasi terkini. Akibatnya, hingga sekarang saya mampu melihat sesuatu secara kritis dan menjadi seorang penulis kritik, walaupun sudah keluar dari kelompok pengajian,” ujar Hikmat seraya tertawa.

 

Menurut Hikmat, yang juga menarik untuk dicermati dari pendekatan yang digunakan oleh kelompok-kelompok pengajian yang mengajar anak muda adalah bagaimana kesadaran tentang ‘keselamatan diri’ dibangun. “Selama kelompok-kelompok pengajian masih mengajarkan tentang ini halal, itu haram—apakah musik haram, nonton film haram, pacaran haram, dan lain-lain sebagainya, maka wacana yang dibangun adalah keselamatan diri sendiri. Belum ada kesadaran tentang keselamatan bersama atau keselamatan sosial yang dibentuk.”

Yuka Dian Narendra, yang banyak meneliti tentang musik dan subkultur di Indonesia seperti Metal Satu Jari dan Black Kejawen, juga mengajukan sebuah pertanyaan yang menarik dari pengamatannya terhadap The Strangers: apakah benar-benar ada yang namanya ‘pertaubatan’ massal? The Strangers adalah sebuah kelompok pengajian yang beberapa anggotanya adalah musisi band yang bertaubat dan tidak lagi mau bermain musik.

Menurut Yuka, momen pertaubatan adalah momen yang dialami oleh individu dan bersifat sangat personal, sehingga ketika momen itu terjadi secara berkelompok atau kolektif, bisa jadi ada suatu pihak atau kekuatan yang menggerakkan kelompok itu. Bagi Yuka sendiri, motivasi seseorang untuk bergabung dengan kelompok pengajian atau kelompok religi tidak semata motivasi yang bersifat abstrak seperti mencari keselamatan di akhirat. Motivasi-motivasi tersebut juga bisa memiliki nilai yang riil seperti peluang ekonomi atau lapangan kerja.

Yuka juga membandingkan The Strangers dengan kelompok lain seperti Black Kejawen. Menurutnya, identitas “keterasingan” atau “keterpinggiran” selalu menjadi benang merah dari kelompok-kelompok subkultur.

 

“Setiap orang pasti pernah merasakan menjadi asing karena terpinggirkan, terdiskriminasi atau terkalahkan,” ujarnya.

 

Black Kejawen, misalnya, sebagai sebuah aliran kebatinan, adalah kelompok yang mengalami diskriminasi ganda. Karena jika seorang Muslim Jawa melakukan sebuah ritual kejawen, maka ia tidak hanya akan dianggap “kurang Islam”, tetapi juga “kurang cerdas” karena mempercayai hal-hal yang bersifat spiritual tradisional seperti ini. Kelompok seperti Black Kejawen mengakomodir anak-anak muda dalam benturan-benturan identitas tersebut dalam balutan musik, yang meski senantiasa dipandang sebagai sebuah subkultur namun keberadaannya bisa kita temui di banyak kota di Indonesia. Bagi Yuka, kelompok seperti The Strangers tak hanya memberi ruang bagi identitas-identitas yang terpinggirkan, mereka pun pintar menarik perhatian orang-orang lain yang ‘merasa terasingkan’ dengan wacana arus utama.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content