Feminisme dalam Sejarah Islam

feminisme-islam-1024x1024.png

Di  #SeriBanyakTahu sebelumnya, Isti Toq’ah mengulas Sejarah Feminisme yang ternyata tidak lahir di Barat. Artikel ini mengajarkan bahwa di linimasa yang sama ketika para aktivis gerakan perempuan pertama di Amerika Serikat menuntut hak suara, ada sosok Kartini di Hindia Belanda yang menuntut hak pendidikan untuk kaum perempuan. Isti menggarisbawahi riak pembebasan perempuan tidak spesifik milik sejarah Barat. Spirit kesetaraan diperjuangkan dengan cara berbeda di banyak tempat.

Spirit yang sama juga bisa ditemukan dalam sejarah Islam. Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dalam sejarah, Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW turun di tengah-tengah masyarakat Jahiliyah yang masih menganggap perempuan sebagai aib dan memposisikannya selayaknya benda.

Masyarakat Jahiliyah menerima kehadiran perempuan dengan dua tradisi: Pertama, mereka menguburkan anak perempuannya hidup-hidup sebab menganggapnya sebagai aib. Yang kedua, mereka tetap membesarkan anak perempuan itu, namun diperlakukan dengan tidak adil dan diposisikan selayaknya harta benda. Seorang istri pada zaman itu adalah harta warisan yang diturunkan kepada anak laki-lakinya ketika suaminya meninggal. Anak laki-laki itu mempunyai hak penuh atas ibu mereka. Anak laki-laki itu bisa menikahinya atau menikahkannya dengan laki-laki yang mereka sukai dengan sejumlah bayaran. Anak laki-laki bahkan punya hak untuk mencegah ibu mereka untuk menikah lagi.

Islam hadir mengoreksi tatanan yang diskriminatif tersebut. Nabi Muhammad SAW membangun tatanan baru yang lebih setara dan membebaskan perempuan dari diskriminasi. Ummar bin Khattab salah satu Amirul Mukminin yang juga mengalami masa pra Islam, menggambarkan perubahan yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW pernah berkata: “Pada masa jahiliyah, wanita itu tak ada harganya bagi kami. Sampai akhirnya Islam datang dan menyatakan bahwa wanita itu sederajat dengan laki-laki.”

Dari sejarah ini tidak sulit menyimpulkan bahwa Islam sejatinya adalah agama yang menjunjung kesetaraan laki-laki dan perempuan. Islam tidak membedakan kedudukan manusia berdasarkan jenis kelamin. Al-Qur’an berseru kepada seluruh manusia–bukan hanya laki-laki. Dalam satu ayatnya Allah SWT berfirman: ”Dan, tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS Adz-Dzaariyat: 56). Ayat ini menegaskan bahwa yang utama adalah fungsi dan tugas seorang manusia dalam beribadah. Bukan dengan jenis kelamin apa mereka terlahir.

Menjembatani Islam dan Feminisme

Istilah feminisme pertama kali diperkenalkan oleh Charles Fourier pada tahun 1837 di Perancis untuk menyebut gerakan pembebasan perempuan yang terjadi di Eropa saat itu. Gerakan feminisme lahir untuk merespon persoalan-persoalan modern yang nampaknya selalu meminggirkan peran serta perempuan seperti diskriminasi dalam hak mendapatkan upah dan hak bersuara. 

Islam sendiri sebagai tradisi merupakan kombinasi esensi Al-Qur’an dan pemaknaan para penganutnya. Pemaknaan ini bergerak dinamis menyesuaikan konteks yang dialami oleh para penganutnya yang selalu dinamis. Di titik ini, Islam bertemu dengan feminisme sebagai worldview baru untuk menyikapi masalah-masalah ketidakadilan gender yang aktual.

Menurut Lies Marcus, ketika seseorang berpikir, membangun, dan menguji teori tentang sebab musabab penindasan, dan melakukan aksi untuk mengakhirinya; maka ia adalah seorang feminis. Dan ketika seseorang itu mengambil inspirasinya dari nilai-nilai ajaran dan sejarah islam, maka ia disebut Feminis Muslim.

Feminis Muslim 

Terang kiranya bahwa islam dan feminisme berlabuh pada akar yang sama yang membuatnya bisa saling bertemu. Feminis muslim pada akhirnya adalah upaya memperkaya gerakan melawan ketidakadilan perempuan.

DI Indonesia kita mengenal Alimatul Qibtiyah sebagai tokoh feminis muslim.  Dalam pidato pengukuhan guru besarnya,  Alimatul Qibtiyah mengungkapkan bahwa semangat mendiskreditkan peran perempuan dipupuk oleh semangat pemahaman agama yang konservatif dan textual. Pemahaman seperti itu selalu menempatkan status perempuan sebagai makhluk jenis kelamin kedua. Pemahaman konservatif menyimbolkan tubuh perempuan dengan kesucian, kesuburan, pemuas sehingga disebut sebagai sumber malapetaka. Menurut Alimatul Qibtiyah hadirnya feminis muslim adalah untuk menggugat semangat konservatif tersebut yang tidak sejalan dengan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW yang menempatkan perempuan setara dengan laki-laki.

Dalam praktiknya feminis muslim lebih fokus untuk menghadirkan corak penafsiran baru terhadap doktrin-doktrin agama yang selama ini mapan di masyarakat. Mereka melakukan penggalian sejarah dan memakai pendekatan hermeneutis untuk menemukan kandungan pesan dari teks Al-Qur’an dengan melihat konteks dari lahirnya sebuah ayat, tata bahasa dan pandangan dunia dari sebuah ayat.

Upaya menghadirkan corak penafsiran baru ini dilakukan dengan serius mislanya oleh Amina Wadud. Wadud adalah tokoh feminis muslim dunia yang memperkenalkan metode tafsir progresif tentang gender dalam Al-Quran. Wadud menyebutnya dengan metode penafsiran holistik diamana ia membuat interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Quran dengan mengaitkannya dengan isu-isu sosial, ekonomi, politik, moral dan juga pengalaman perempuan.

Upaya Wadud berangkat dari keresahan bersama para feminis muslim. Mereka  percaya bahwa salah satu faktor adanya ketimpangan gender masih terjadi yaitu karena Al-Qur’an maupun hadits selama ini ditafsirkan dengan perspektif laki-laki.

Sumber:

Fitriyah, Lailatul. (2017) Feminisme, Islam, dan Permainan Waktu. Magdalene. https://magdalene.co/story/feminisme-islam-dan-permainan-waktu 

Marcoes, Lies. (2020). Apakah Aisyah Seorang Feminis. Magdalene. https://magdalene.co/story/apakah-aisyah-seorang-feminis 

Magdalena, R. (2017) Kedudukan Perempuan dalam Perjalanan Sejarah (Studi Tentang Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat Islam). Journal Harkat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak.

Nashrullah, Nashih. (2014).Mengangkat Derajat Kaum Hawa. Republika. https://republika.co.id/berita/koran/news-update/14/12/22/ngzd882-mengangkat-derajat-kaum-hawa 

Qibtiyah, Alimatul. (2020) Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si., Ph.D. UIN Sunan Kalijaga. https://www.youtube.com/watch?v=af45TCwCFM0

Robikah, Siti. (2020). Alimatul Qibtiyah dan Gerakan Feminis Muslim di Indonesia. Rahma.id  https://rahma.id/alimatul-qibtiyah-dan-gerakan-feminis-muslim-di-indonesia/

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content