Khanza Vina, Transpuan Melawan Hipokrisi

Cover_Khanza Vina, Transpuan Melawan Hipokrisi

“Take Me to Church”  by Hozier

….

We were born sick,’ you heard them say it

My church offers no absolutes

She tells me ‘worship in the bedroom’

The only heaven I’ll be sent to

Is when I’m alone with you

….

Bait pertama lagu Hozier di atas berhasil membuat penulis mengernyitkan dahi. Melalui lagu ini, Hozier menggambarkan ironisnya orang-orang yang menjalankan perintah  agama secara membabi buta. Memang pada dasarnya agama mengajarkan kebaikan antar semua makhluk, namun sayang banyak orang yang sangat sulit berbuat baik kepada manusia lainnya yang gender dan orientasi seksualnya berbeda.   

Sarkasme di setiap bait, membuat penulis semakin yakin bahwa kehidupan memiliki beragam warna. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu, dan warna lainnya memiliki makna yang tidak bisa dimaknai hanya oleh satu kepala. Sama halnya seperti konsep gender dan kecenderungan orientasi seksual manusia yang tidak bisa ditetapkan oleh dua warna saja, yang tidak bisa ditentukan salah benarnya oleh orang lain berdasarkan tafsir agama.

Seraya mendengarkan lagu ini, penulis teringat tindakan-tindakan tidak manusiawi yang terjadi belakangan ini di Indonesia. Di awal tahun 2018, kita disajikan berita menyedihkan yang dilakukan oleh Kepolisian Resort Aceh dan Polisi Syariat terhadap penangkapan paksa kepada waria-waria karena dianggap berperilaku tidak sesuai syariat Islam dan akan diberikan pembinaan.

Tidak cukup sampai pada persekusi terhadap waria di Aceh, kita juga disuguhi pemberitaan tentang identitas seksual Lucinta Luna yang ramai di jagad media sosial. Berawal dari masalah personal antar Lucinta Luna dengan teman dekatnya, Melly Bradley, merasa geram dengan Lucinta Luna yang tidak mengaku sebagai seorang transgender. Kegeraman Melly Bradley berlanjut sampai ke ranah digital, yang mana ia mengunggah semua proses Lucinta Luna mengubah diri menjadi perempuan hanya untuk membuktikan bahwa Lucinta Luna adalah seorang transeksual seperti dirinya. Masalah personal Lucinta Luna dengan Melly Bradley sampai ke telinga netizen yang pada akhirnya juga turut campur untuk meminta Lucinta Luna mengaku sebagai seorang transeksual.  Padahal jika diingat kembali bahwa identitas seksual seseorang merupakan sesuatu yang bukan urusan publik.  

“I’ll tell you my sins, so you can sharpen my knife”

Masih dari lagu Hozier, potongan lirik di atas menggambarkan hipokrisi para pengikut agama yang percaya bahwa kejujuran adalah kunci dari sesuatu yang berharga dalam suatu kehidupan. Namun kenyataannya tidak seperti itu, terutama ketika pengikut agama mengetahui keberadaan orang-orang yang berbeda secara identitas maupun orientasi seksualnya. Padahal, jika diamini lebih khusyuk bahwa kejujuran adalah kunci dari sesuatu yang berharga maka kelompok marjinal seperti Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer (LGBT) merupakan makhluk yang juga berharga seperti manusia pada umumnya.

Para LGBT hanya mengekspresikan kejujuran identitasnya, sama halnya seperti para heteroseksual yang dapat mengekspresikan segala hal. Namun para pemeluk agama yang fanatik di Indonesia masih mengamini bahwa kelompok LGBT adalah pendosa, kelompok yang kesehatan dan mentalnya terganggu, dan dapat menularkan penyakit yang berbahaya. Padahal World Health Organization (WHO) sudah mengklarifikasi bahwa LGBT bukan penyakit mental.

Sebagai anak muda yang ‘anti kalem-kalem club’, penulis mencari tahu segala hal terkait masalah ini. Mulai dari apakah benar faktor lingkungan dan pergaulan mempengaruhi identitas atau orientasi seksual seseorang?  Apakah benar LGBT ingin menularkan orientasi seksualnya? Apakah LGBT mengidap penyakit gangguan mental sehingga tidak bisa beraktivitas seperti manusia lainnya?

Nah, untuk menjawab itu semua, penulis mengajak salah satu transpuan –seseorang yang terlahir dengan alat kelamin laki-laki, namun merasa dirinya perempuan– bernama Khanza Vina dari  Sanggar Waria Remaja (SWARA) berbincang-bincang tentang perjalanan hijrahnya menjadi seorang transpuan dan membuat dirinya berdaya hingga sekarang.

Halo, boleh perkenalkan diri?

Aku Khanza Vina, akrab dipanggil Vina. Aku berasal dari Bengkulu. Aku seorang transpuan, aktivis, feminis yang sejak 2012 berkontribusi untuk masyarakat, khususnya untuk hak-hak waria bersama SWARA.

Ceritain dong pengalaman pertama mengetahui bahwa kamu perempuan?

Kalau diingat-ingat, tanpa disadari aku berperilaku seperti perempuan dan memiliki banyak teman bermain dengan perempuan sejak usia Sekolah Dasar (SD). Menurut aku, ketika itu  bermain dengan laki-laki cenderung tidak kreatif. Tidak jarang aku dipanggil ‘banci’ oleh teman-teman karena tingkah laku aku seperti perempuan. Namun, aku merasa tidak ada yang salah dengan perilaku aku yang feminin.

Beranjak Sekolah Menengah Pertama (SMP), aku suka menggunakan hand and body lotion dan bedak sebelum berangkat sekolah.  Hal-hal itu dianggap tidak benar. Pernah suatu hari aku dipanggil guru ke depan kelas, lalu diminta untuk membuka baju seragam dan mengusapkannya ke wajahku yang penuh bedak.  Aku juga pernah dipisahkan oleh teman perempuanku, yang sebenarnya ia nyaman menjadi laki-laki. Aku juga pernah diteriaki ‘bencong’ oleh teman-teman ketika baru menginjak gerbang sekolah.

Waktu itu aku juga pernah dijadikan objek permainan oleh teman-teman di sekolah hanya karena aku seperti perempuan. Aku juga pernah mengalami pelecehan seksual, namun saat itu aku tidak menyadari hal tersebut merupakan pelecehan seksual.  Terlepas dari semua yang aku alami ketika masih remaja, aku merasa tidak ada yang salah dalam diriku yang ingin menjadi perempuan. Aku malah bertanya, mengapa aku diperlakukan seperti itu?

Lalu, apa yang terjadi setelah pengalaman-pengalaman yang tidak asyik di masa sekolah?

Sejak itu aku memutuskan untuk berhenti sekolah.  Ayahku mendukung untuk berhenti sekolah sebab menurutnya, aku yang salah menjadi terlalu feminin dan berbicara ngondek. Aku yang salah ketika teman-teman  memanggilku ‘banci’, aku yang salah ketika guru memisahkan kursi duduk dengan teman sebangku, aku yang salah ketika guru meminta untuk mengusap wajahku yang penuh dengan bedak.

Sedangkan Ibuku tidak bisa membela karena hubungan kekuasaan di dalam keluarga yang didominasi oleh Ayahku.  Setelah itu aku dibawa ke kebun oleh Ayah, ke tempat yang jauh dari perkotaan di Bengkulu, karena aku dianggap sudah menjadi anak yang ‘hancur’ masa depannya. Sampai berselang dua tahun, aku memberanikan diri untuk kabur dari tempat tinggal di kebun. Aku bertekad untuk menemukan teman-temanku yang dapat menerima aku apa adanya.

Saat kabur dari rumah, kamu mendapatkan yang diinginkan?

Ya. Aku memulai hidup baru dengan bekerja di salon, membantu merias pengantin, atau aktivitas lainnya yang berhubungan dengan dunia persolekan.  Aku merasa senang melakukan hal itu semua meskipun aku tidak dibayar dengan uang, melainkan tempat tinggal dan makan. Tentunya aku juga punya tekad yang lebih lagi, untuk mempunyai kehidupan yang lebih baik dan layak.

Aku memutuskan untuk pergi ke Jakarta di usia  17 tahun dan mendapat informasi tentang Transchool di tahun 2011 dari SWARA. Transchool itu program dari SWARA yang dilakukan secara berkala sejak 2010. Hal mendasar terbentuknya program ini karena para waria masih sering mendapatkan tindakan kekerasan dari berbagai pihak, maka program ini dibentuk untuk mengangkat posisi tawar waria. Agar para waria juga paham akan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia.

Sejak ikut program Transchool, banyak sekali pengetahuan yang aku dapatkan, terutama untuk memperkuat diri. Aku semakin yakin  bahwa tidak ada yang salah dari seorang transpuan, seperti yang dikatakan orang-orang pada umumnya. Di Transchool, aku belajar tentang Sexual Orientation, Gender Identity & Expression – Sex Characteristic (SOGIESC), Hak Asasi Manusia (HAM), Bullying, Feminisme, Penerimaan Diri, HIV & AIDS, Gender & Seksualitas, dan banyak hal lain.

Di tahun 2012, aku semakin yakin dengan identitas diriku sebagai perempuan dan memutuskan untuk menjadi trans. Aku memulai hormonal, seperti memanjangkan rambut, konsultasi tentang kombinasi hormon esterogen dan anti-androgen. Hormon-hormon ini memiliki fungsi masing-masing. Kalau hormon esterogen dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan payudara hingga perubahan suara, sedangkan hormon anti-androgen dilakukan untuk menekan peningkatan hormon laki-laki yang ada di tubuh laki-laki.

Ceritaku terkesan sangat mudah ketika aku berproses mengubah identitas menjadi perempuan, tapi saat itu aku juga mengalami proses berpikir yang sangat panjang. Kecaman keluarga dan orang-orang terdekat yang tidak setuju akan perubahanku, merupakan faktor terkuat.  Sampai akhirnya, aku memutuskan sendiri dan percaya kalau tidak ada yang bisa menghalangi keputusan ini. Aku benar-benar bertekad untuk menjadi orang yang lebih baik lagi, tidak ada yang salah menjadi seorang yang saya inginkan, seperti menjadi transpuan.

Adakah kendala ketika kamu ingin mengakses pendidikan setelah menjadi transpuan?

Awalnya aku tidak kepikiran untuk melanjutkan sekolah. Setelah aku membuka diri untuk berteman dengan banyak orang –yang tidak hanya dengan teman-teman trans, memperbanyak jaringan, dan terlibat dalam aktivitas sosial, aku merasa sangat jauh tertinggal. Mulai dari sisi pengetahuan, bahasa, pola komunikasi, dan lain-lain. Banyak sekali hal-hal yang ingin aku utarakan ketika berada di dalam forum atau perkumpulan diskusi, namun aku sulit untuk mengatakannya.

Sejak itu aku berpikir untuk harus sekolah lagi dengan mengambil ijazah paket B yang setara SMP di Pusat Kegiatan Belajar Mengajar  (PKBM) di bilangan Tanah Abang. Beruntungnya tidak sulit untuk mengejar pendidikan dengan sistem PKBM karena petugas di sana juga mendukung. Namun, menurut aku tetap perlu sosialisasi lebih komprehensif sehingga teman-teman trans lainnya juga tahu dan mau melanjutkan pendidikannya tanpa diskriminasi atas identitas yang berbeda. Sekarang aku sedang mengambil paket C dan berencana melanjutkan kuliah.

Sejak mengikuti Transchool, mengapa kamu ingin aktif terlibat di kehidupan sosial sedangkan kehidupan waria sangat terancam di kalangan masyarakat?

Justru itu. Memang menjadi cita-cita Transchool untuk mengangkat posisi tawar, memahami, dan dapat mengadvokasi hak-hak waria sebagai warga negara ini. Jadi, sudah menjadi tugas aku untuk membantu adik-adik di luar sana, yang mungkin juga sedang berproses seperti aku dahulu, memberikan informasi atau membuka akses yang diperlukan.

Pengalaman aku bisa menjadi pembelajaran untuk orang-orang seperti aku. Apalagi perjalanan para LGBT hari ini menjadi semakin berat mengingat kondisi orang-orang intoleran semakin ekstrim. Terlebih lagi, banyak teman-teman trans yang putus sekolah karena banyak faktor, seperti akses informasi yang tidak merata, penerimaan masyarakat, keluarga yang tidak mendukung, dan lainnya.  

Apa pesan dan harapan kamu atas respon masyarakat Indonesia terhadap para LGBT?

Hidup itu akan selalu ada pro dan kontra, karena pemikiran di setiap kepala itu berbeda-beda. Namun, alangkah baiknya untuk memilah-milah mana yang harus diperdebatkan, mana yang harus didukung. Seperti halnya setiap manusia yang punya kehidupannya masing-masing. Orang lain tidak bisa mengusik kita sebagai LGBT yang hidup menjadi diri kita sendiri, begitupun sebaliknya, dan kita bisa hidup berdampingan. Namun yang terpenting harus diusik adalah memantau peran negara untuk memenuhi kesejahteraan warganya, termasuk kelompok LGBT.

Satu hal yang perlu orang lain tahu, bahwa sedari kecil aku tidak berteman dengan banyak waria, tidak besar dari keluarga waria, tidak memiliki keluarga dengan keturunan waria, atau apapun yang dikatakan masyarakat pada umumnya tentang LGBT yang tumbuh dari berbagai faktor atau dapat menular.  Secara alami, aku merasa lebih nyaman menjadi seorang perempuan sedari kecil. Jadi, faktor-faktor pergaulan, lingkungan, akhlak dan moral, keluarga sama sekali tidak mempengaruhi identitas diri aku sekarang. Sehingga, bagaimanapun situasi dan keadaan yang menimpa para LGBT, percayalah, bahwa pasti ada dan banyak orang-orang yang sayang dengan kita, tanpa memandang identitas atau orientasi seksual kita. Jangan pernah merasa sendirian, karena pelangi akan selalu datang setelah turun hujan.

Seperti kata Hozier pada lirik sarkas lainnya ”I was born sick, but I love it” bahwa kejujuran pada diri sendiri —seperti  Vina alami dan lakukan selama ini harus menjadi representasi kebenaran tentang menjadi manusia serta memanusiakan manusia. Sebab, menjadi manusia tidak dibentuk dari batasan-batasan atau persepsi dari manusia lain dengan dalih agama melainkan dari sifat manusia itu sendiri.

No masters or kings when the ritual begins

There is no sweeter innocence than our gentle sin

In the madness and soil of that sad earthly scene

only then I am human

only then I am clean

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

2 tanggapan untuk “Khanza Vina, Transpuan Melawan Hipokrisi”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content