Mama Masih Sama Hari Ini

SUDAH 23 tahun kamu menghilang. Entah sekarang kamu ada di mana. Kamu tahu, kalau Mama masih sayang sama kamu. Sayang sekali Ci. 

Tapi kenapa, kenapa kamu masih belum kembali? Apa yang mesti aku jawab bila Mama terus menanyakan pertanyaan yang sama setiap hari kepadaku? Seperti misalnya tadi pagi, sebelum kita berangkat ibadah raya di gereja untuk merayakan paskah. “Nyo, jangan lupa bangunin Cicimu. Kebiasaan emang, masa harus nunggu dibangunin terus. Tapi, gak apa-apa, mungkin kemarin dia capek habis bikin PR fisika di rumahnya Christine. Oh iya, kalau emang dia beneran capek jangan digugah ya, Nyo. Kasihan.” Yang hanya sanggup aku balas dengan anggukan pelan, dan setelah beberapa detik Mama masuk mobil, sungai yang tumpah di sekitar mataku mulai turun dan rembes melewati bawah bulu mataku. 

Sekarang kamu di mana? Ayo dong, balik, Ci. Aku yang kasihan lama-lama sama Mama kalau dia mesti mencintai kamu yang sampai hari ini belum bisa membalas cintanya. Dan, mungkin kamu belum tahu, sejak kepergianmu, Mama terserang penyakit bawaan umur Ci. Mama jadi sering dan makin pelupa. Maklum, Mama bulan depan sudah kepala tujuh. Di usianya yang sekarang Mama jarang banget kumpul kayak dulu, Ci. Dia lebih sering menyendiri di kamarnya yang penuh foto-fotomu waktu kamu masih ada. Kamu tahu, foto terakhir yang kita punya bareng kamu, iya foto di depan kolam ikan koi kita, masih Mama simpan di almari kesayangannya itu—lebih tepatnya ditempel di kaca yang setiap pagi Mama pakai buat lihat apa ubannya bertambah putih seperti ingatannya apa tidak. 

Ia sudah mengalami penyakit ini sejak 5 tahun lalu, Ci. Kata dokter keluarga kita, Pak Samsul, Mama kena demensia senilis. Efeknya ia jadi lebih sering pikun dan sifat kanak-kanak mulai tumbuh perlahan merambati dinding usianya. Mungkin, di luar rumah, Mama kelihatan seperti lansia biasa; yang ke mana-mana selalu menebar senyum dan menyapa orang yang ia kenal maupun tidak. Namun, seperti yang dijelaskan Pak Samsul tempo hari, Mama akan berubah jadi anak-anak kalau teringat sesuatu yang berhubungan dengan sistem ingatan terdekatnya, Ci. Di luar, Mama bisa saja ingat nama satpam komplek rumah kita, tapi buat mengingat namaku saja kadang Mama keliru. Pernah satu hari, saat ada kurir paket datang ke rumah, dan kebetulan Mama yang terima, paketku akhirnya harus kembali ke tempat logistik. “Maaf, di sini tidak ada yang namanya Kevin,” jawab Mama ketus. “Lho, tapi ini alamatnya benar kan, komplek Puri Berbunga nomor 8C?” Karena Mama tidak menggubris pertanyaan kurir yang kelihatannya makin bingung setelah dipelototi lama oleh Mama, mau tidak mau ia harus menggenjot pedal gasnya kembali—dengan sedikit perasaan uring-uringan, mungkin. 

Aku kangen sama kamu, Ci. Mama sama aku sama-sama kangen. Tapi, bagaimana caranya supaya kamu kembali? Aku harus minta tolong siapa lagi setelah berbagai upaya sudah kita lakukan. Apakah negara? Aku rasa percuma. Sebab, setiap aku menanyakan apakah ada perkembangan atas kasus kehilanganmu, berkas yang aku terima selalu itu-itu saja. Malah aku lihat, di meja orang yang mengaku “penegak keadilan” itu, masih banyak bekas foto-fotomu dan teman-teman almamater kampusmu yang entah sengaja, atau tidak, dibiarkan begitu saja menguning dan bau rayap. 

Aku harus ke mana lagi? Ke gereja? Ada siapa di sana? Apakah Bapak Gembala kita masih ingat sisa-sisa pelayananmu dulu? Aku rasa juga sia-sia dan menambah beban pikirannya yang sudah mau meledak mengurusi masalah sehari-hari para jemaat. Bukan aku tidak mau. Dulu sudah pernah aku coba, Ci. Tapi, hasilnya juga nihil. 

Kau tahu, apa jawaban yang aku terima saat meminta bantuannya untuk mencarikan keadilan keluarga kita? “Maaf ya, Vin. Bukannya Om tutup mata dan seolah-olah menelantarkan nasib jemaat kita. Tapi tugas ini seharusnya kamu serahkan sajalah ke pihak yang lebih berkompeten dan punya fleksibilitas yang mumpuni dan tidak diperumit seperti kalau melalui perantaraan lembaga gereja. Sudah ya, banyak doa aja. Tuhan pasti tolong kalian kok. Ingat kan firman minggu lalu tentang apa?” Belum sempat aku sumpah-serapahi dan menyanggah saran rohaninya, dia sudah cabut duluan, katanya ada pertemuan dengan donatur pembangunan kelas sekolah minggu. Ah, aku bingung Ci. Jangan main petak umpet lagi, ayo kembali ke rumah! Aku sudah bosan menelan perasaan hampa tanpa kejahilan dan perhatian dari kamu. 

Apa kamu tidak kangen sama kita? Apa kamu lupa aroma cumi pedas bumbu balado buatan Mama yang super ciamik itu? 

Setiap kali Mama ke pasar bersama Mbak Tina, dan Mama kebetulan lewat lapak penjual ikan langganannya, pasti Mama belikan kamu cumi-cumi satu kilo lebih. “Cicimu itu suka sama cumi-cumi, Nyo, jadi Mama mana mungkin lupa. Enaknya hari ini dimasak apa, ya? Minggu lalu kan udah bumbu balado. Apa dibikin asam-manis aja, ya? Coba kamu tanyain ke Cicimu. Mama dari tadi nggak enak mau masuk kamarnya, Mama takut ganggu dia.” Coba saja, kamu masih ada di sini. Pasti Mama bisa benar-benar tanya seleramu hari ini mau dimasak apa hewan laut kesukaanmu itu. Aku kecewa sama kamu, Ci. 

Sudah tidak akan lagi yang bakal membela dan melindungi aku kalau dicegat bocah-bocah kampung sehabis pulang beli cilok depan gang, Ci. Mereka selalu bilang aku anak hilang, Ci. Kehilangan induk. Iya, aku tanpa kamu, hanya bisa lewat menunduk dan berharap kaki-kakiku berubah jadi kaki seribu biar cepat masuk rumah dan tidak melalui lirikan mata bocah-bocah itu. Aku benar-benar takut kalau tiba-tiba pulang ke rumah tidak membawa kabarmu, Ci. Mana minggu lalu Mama habis terpeleset di kamar mandi. Makin jadilah racauan-racauannya mengenai kamu. Bukannya perhatian ke luka sobek di sekujur kakinya, dan menuang obat merah mengobatinya, ia lebih peduli dengan frekuensi lagu-lagu Mandarin radio butut hasil hadiah juara lomba menggambarmu waktu SMA dulu Ci. Kalau baterainya sudah hampir wafat dan sudah kehilangan suara penyiarnya, Mama selalu memanggil namamu. Untuk apa lagi kalau bukan untuk minta tolong kamu buka baterainya dan menggantinya. 

“Lin, Linda. Sini dong, bantuin Mama ganti baterai radiomu. Ini kok suaranya kresek-kresek terus dari tadi. Mama kemarin abis beli baterai baru, Mama taruh di bawah meja belajarmu. Tolongin Mama, ya. Mama mau ngecek halaman belakang udah disapu apa belum sama Tina.” 

***

Firman Tuhan minggu lalu bilang begini: “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.” Tapi, di mana kamu sekarang? Aku sudah melakukan semuanya. Mencarimu, telah lewat batas wajar usaha seorang adik. Memintamu kembali, telah menghabiskan waktu-waktu yang kian hari kian putih dan menguning lalu pudar. Mengetuk pintu-Nya, telah ribuan kali aku lakukan demi mendapat kabar dan kepastian tanggal berapa kamu kembali. Lalu aku kurang apa lagi? Apa masih belum cukup ingatan Mama perlahan hilang dan hanya akan kembali jika itu tentang anak perempuan kesayangan dan kebanggaannya? Apakah Tuhan ada di sampingmu saat ini? Kalau iya, tolong bilang sama Tuhan: Mama hari ini lupa beli cumi-cumi, sebab tidak hanya lupa membeli cumi-cumi, Mama bahkan lupa bagaimana cara membuka mata. 

Batu, 15 April 2021

 

Profil singkat: 

Nama saya Michael Djayadi (20 Tahun), penulis lepas yang sering membaca dan menulis apa saja; biasanya puisi dan cerpen. Tinggal di Kota Batu dan sedang bekerja di sebuah kafe cepat saji di Kota Malang. Bisa dihubungi melalui alamat surel: djayadimichael@gmail.com atau disapa melalui Instagram: michaeldjayadi. Terima kasih, senang bisa berbagi! 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content