Meredam Api yang Tersembunyi

Cover_Meredam Api yang Tersembunyi

Sekitar sebulan yang lalu, Pamflet mengunjungi Kota Palu untuk bertemu dengan orang tua, guru, dan juga siswa sekolah menengah. Kami berdiskusi seputar intoleransi yang ada di Kota Palu. Tentu hal ini sangat sering kita dengar di berbagai media, bahwa intoleransi di Indonesia sudah cukup mengkhawatirkan. Bahkan, meski Palu menempati peringkat kedelapan sebagai kota toleran pada tahun 2017 (berdasarkan Indeks Kota Toleran Setara Institute, 2017), ternyata permasalahan ini juga tetap menjadi ancaman di kota ini. Apa sebenarnya yang terjadi?

 

Intoleransi yang Meningkat

Bulan Januari 2018 lalu, ada sebuah artikel terbit berjudul “Indonesia: Kegagalan Menghadapi Intoleransi”. Artikel ini ditulis dan diterbitkan oleh Human Rights Watch, sebuah lembaga penelitian dan advokasi internasional non pemerintah untuk hak asasi manusia. Agaknya judul tersebut cukup tepat untuk menggambarkan keadaan di Indonesia saat-saat ini. Beberapa ahli juga sudah memprediksi hal tersebut setelah kasus penistaan agama yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama – Ahok (mantan Gubernur Jakarta) pada tahun lalu. Mereka menyebutnya “The Ahok Effect” – Efek Ahok. Efek Ahok digambarkan sebagai sebuah fenomena main hakim sendiri pada orang yang dinilai menghina agama atau ulama di media sosial. Data dari SAFENET (South East Asia Freedom of Expression Network) mencatat terdapat 59 tindakan persekusi yang telah terjadi hingga Juni 2017 sebagai bagian dari Efek Ahok.

Tapi sepertinya, kita bisa melihat hingga hari ini bahwa Efek Ahok tidak hanya sebatas persekusi, melainkan juga menumbuhkan kembali sentimen identitas pada sebagian besar orang. Sentimen ini semakin menguat terkait maraknya berita palsu (fake news) yang memprovokasi pengguna media sosial terhadap berita penyerangan tempat ibadah, penyerangan tokoh agama, atau bahkan pelintiran kebencian (head spin) untuk menyerang kelompok minoritas. Akun-akun provokasi sangat banyak kita jumpai di Instagram, dan sayangnya, banyak pengguna media sosial muda yang mengikuti akun-akun ini sebagai sumber berita yang mereka percayai. Ya, banyak orang termakan bualan ini, baik orang muda maupun dewasa, sampai-sampai ada yang tidak mau menerima tawaran duduk seseorang hanya karena perbedaan agama.

 

Meredam Api yang Tersembunyi

Kota Palu sudah dikenal sebagai Kota Sadar HAM sejak tahun 2013. Semboyan kebhinnekaan tentu bukan hal yang asing di telinga masyarakat Palu, yang seharusnya juga tidak asing di telinga seluruh masyarakat Indonesia. Di tengah kesadaran hak asasi manusia yang ada di kota ini, tentu tak dapat dipungkiri masih terdapat celah bagi api perpecahan untuk dapat menyala. Dalam diskusi yang kami adakan bersama orang tua, guru, dan siswa sekolah menengah pun, semuanya memiliki kekhawatiran yang sama, bahwa apa yang terjadi di Jakarta bisa juga terjadi di Kota Palu. Semua khawatir bahwa pengkotak-kotakan kelompok, sebut saja pengkotak-kotakan pertemanan hanya karena perbedaan agama, dapat terjadi di sekolah jika tidak ada peran aktif dari berbagai pihak untuk menangkalnya.

Lagi-lagi anak muda yang menjadi tokoh utama dalam fenomena ini. Baik di upacara sekolah, seminar motivasi, atau refleksi kemerdekaan Indonesia, anak muda selalu digambarkan sebagai generasi penerus bangsa. Terus menerus. Namun akan menjadi permasalahan baru saat hampir satu per tiga pelajar sekolah menengah atas dan mahasiswa di Indonesia mengaku tidak masalah jika terdapat aksi intoleran yang dialami oleh kelompok minoritas. Nampaknya diperlukan pemahaman kembali pada kelompok muda apa maksud dari “Bhinneka Tunggal Ika”.

Hal tersebut tidak serta merta menjadikan anak muda Indonesia tidak mampu menangkal intoleransi. Ya, kerentanan itu ada, bagaimana anak muda menjadikan media sosial sebagai rujukan informasi, serta bahaya yang mengintai saat hampir seluruh provokasi intoleransi disebar melalui wadah yang sama. Tentu solusi untuk blokir seluruh media sosial bukanlah solusi yang tepat bagi provokasi intoleransi. Agaknya inisiatif yang dilakukan kelompok siswa, guru, dan orang tua di Palu patut ditiru. Kelompok siswa sekolah menengah pertama yang menamakan diri Awesome Teenagers berniat untuk melakukan diskusi setiap minggu untuk menangkal (salah satunya) intoleransi, di saat guru dan orang tua berinisiatif menciptakan lingkungan sekolah yang toleran.

Meski kelompok penebar kebencian di media sosial sudah banyak yang ditangkap (baik Saracen maupun Muslim Cyber Army), tapi nyatanya provokasi intoleransi tetap saja berseliweran di linimasa media sosial. Tidak jarang juga yang memiliki pengikut lebih dari 10.000 akun. Mungkin saja akun bayaran, tapi bisa jadi akun organik. Semua tetap saja mengkhawatirkan. Wacana seputar toleransi pada seluruh identitas nampaknya memang masih terus dibutuhkan, dan akan terus relevan, terutama dalam penyebarannya di media sosial. Jika memang representasi itu penting untuk perubahan, lebih dari 60 juta anak muda di Indonesia menjadi kelompok yang sangat penting menjadi aktor pengubah iklim intoleran menjadi toleran. Setidaknya, lahir kelompok anak muda yang menghargai hak setiap orang tanpa harus melukai satu sama lain di antara kelompok ekstrem yang percaya bahwa bumi itu datar. Tidak ada salahnya untuk berharap, bukan?

 

Sumber:

INDEKS KOTA TOLERAN TAHUN 2017

https://www.hrw.org/id/news/2018/01/18/313750

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170527151727-20-217678/the-ahok-effect-warga-agresif-buru-penista-agama

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170601163649-20-218744/korban-persekusi-the-ahok-effect-tercatat-mencapai-59-orang

http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-42942628

http://www.straitstimes.com/opinion/hidden-fire-of-intolerance-among-indonesias-young

https://tirto.id/tirto-visual-report-masa-depan-di-tangan-generasi-z-ctMM

http://www.thejakartapost.com/youth/2017/06/14/engaging-indonesian-youth-as-development-partners.html

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content