Mitos ‘Cover Both Sides’

Cover_Mitos ‘Cover Both Sides’

Sepertinya kita bisa sepakat bahwa ucapan “Jurnalis harus cover both sides” telah menjadi pengetahuan umum. Uniknya, istilah ‘cover both sides‘ seolah endemik di Indonesia. Halaman pertama pencarian Google mengenai istilah tersebut menampilkan situs-situs berbahasa Indonesia, padahal tiga kata penyusunnya dari bahasa Inggris. Istilah ini sering digunakan bergantian dengan ‘keberimbangan’. Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik berbunyi, “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Berimbang ditafsirkan sebagai “semua pihak mendapat kesempatan setara.”

Prinsip cover both sides menuntut jurnalis kita untuk memberikan ruang bagi masing-masing pihak yang terlibat supaya berita yang dihasilkan berimbang. Masalahnya, imbang menurut siapa? Memberi ruang untuk keberimbangan malah bisa menghalangi upaya mencari kebenaran. Penulis Chimamanda Ngozi Adichie mengilustrasikan masalah ini dengan baik: “Jika Anda memberitakan mengenai matahari yang terbit di sebelah timur, Anda tidak perlu mendengarkan suara dari sisi lain karena tidak ada sisi lain yang nyata.”

Pada 6 Mei kemarin, program Sapa Indonesia Malam di Kompas TV mengangkat topik ‘Tudingan Konspirasi di balik Korona’. Topik ini muncul dari koar-koar Jerinx, drummer Superman Is Dead, yang menuduh penyebaran virus corona adalah hasil dari konspirasi para elit global. Program tersebut menghadirkan dua pembicara, yakni Hermawan Syahputra dari Ahli Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia dan tentu saja Jerinx. Aiman, sebagai pembawa acara, meminta pertanggungjawaban klaim Jerinx dan Hermawan diposisikan sebagai suara kontra dengan memberikan sanggahan saintifik. Sementara itu, Jerinx malah sibuk merasionalkan teori konspirasi yang ia percaya.

Pemberitaan mengenai teori konspirasi di media arus utama berpotensi memberikan legitimasi terhadap gagasan yang ada di dalamnya. Dengan menghadirkan Jerinx dan memberinya ruang berbicara, alih-alih meluruskan informasi dan memberikan kebenaran kepada publik, program ini malah memberikan akses bagi teori konspirasi tersebut untuk menjangkau khalayak lebih luas. Prinsip cover both sides menjadi pelaku utama dalam keteledoran ini.

Untuk memahami apa yang salah dengan prinsip ini, kita harus mengurai hal yang berkaitan erat dengan prinsip ini, yakni objektivitas dan netralitas.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dua jurnalis kenamaan Amerika, dalam buku mereka Elements of Journalism (2001) memaparkan bahwa tanggung jawab utama jurnalis adalah kepada kebenaran. Kebenaran yang mereka maksud adalah kebenaran fungsional, yakni kebenaran yang bisa digunakan publik untuk mengambil keputusan dengan baik. Untuk mendapatkan kebenaran ini, jurnalis wajib melakukan disiplin verifikasi. Melalui disiplin verifikasi pula jurnalis mampu menyaring desas-desus, gosip, manipulasi untuk mendapatkan informasi yang akurat.

Verifikasi dilakukan dengan menggunakan objektivitas sebagai metodenya. Objektivitas menuntut jurnalis untuk mengembangkan metode yang konsisten dalam menguji informasi serta pendekatan yang transparan dalam memilah dan memilih bukti. Sehingga, hasil berita yang keluar dapat dipertanggungjawabkan dan publik juga bisa ikut mengawasi tingkat akurasi pemberitaan. Dengan kata lain, yang objektif adalah metodenya, bukan sikap si jurnalis.

Sayangnya, objektivitas sering disalahpahami sebagai sikap atau hasil akhir produk berita. Objektif dalam situasi ini dilihat sebagai keberimbangan porsi suara bagi masing-masing pihak, sementara muatan dan klaim dari suara-suara tersebut tidak diuji secara objektif. Sementara itu netralitas–yang berhubungan erat dengan objektivitas dalam pemahaman ini–mengisyaratkan jurnalis untuk tidak berpihak pada sisi manapun, padahal sudah jelas jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi harus berpihak pada kepentingan publik. Akibatnya, kebenaran yang seharusnya muncul ke permukaan menjadi keruh oleh suara-suara yang tidak terverifikasi tersebut. Jurnalis, dalam miskonsepsi mengenai objektivitas dan netralitas ini, hanya sekadar juru kutip informan.

Pada akhirnya publik lah yang dirugikan karena, merujuk pada Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, tujuan utama jurnalisme adalah memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat untuk bisa hidup bebas dan mengatur diri sendiri.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content