Penguin Revolution and Chilean Winter

Memahami Gerakan Pelajar dan Mahasiswa Chile

 

Latar Belakang

Pada akhir Mei 2006, momen bersejerah tercipta di Chile. Dimana setidaknya 790.00 pelajar turun kejalan, melakukan pemogokan dan menduduki sekolah-sekolah untuk menyuarakan aspirasinya terkait pendidikan di Chile.[1] Mereka didukung oleh serikat-serikat mahasiswa dan juga serikat-serikat guru. Aksi ini dikenal dengan Penguin Revolution, karena menggunakan seragam sekolah sebagai dresscode-nya.

 

Selang lima tahun kemudian, Chile kembali bergejolak. Kali ini ratusan ribu mahasiswa yang turun ke jalan, memimpin berbagai protes, pemogokan dan pendudukan banyak universitas dan ratusan sekolah selama berbulan-bulan.[2] Protes ini terjadi pada pertengahan 2011, ketika Chile sedang mengalami musim dingin, sehingga disebut sebagai Chilean Winter. Nama ini terinspirasi dari sebuah gerakan di Bumi Arab enam bulan sebelumnya yang terkenal, Arab Spring.

 

Meskipun dua aksi ini terjadi dalam rentan waktu yang cukup lama, tapi mereka membawa isu yang sama, yaitu perubahan mendasar sistem pendidikan di Chile, dengan salah satu fokusnya penambahan anggaran untuk pendidikan. Hal ini dilakukan karena biaya pendidikan di Chile termasuk yang paling mahal di dunia. Organization for Economic Cooperation & Development (OECD) mencatat bahwa biaya pendidikan di Chile, terutama perguruan tingginya mencapai angka 3.400 USD per tahun dengan rata-rata pendapatan masyarakat 8.500 USD per tahun. Terhitung masyarakat Chile harus membiayai 75% kebutuhan pendidikan nasional [3], sangat jauh dibandingkan masyarakat Amerika Serikat yang membayarkan 40%, serta masyarakat di daratan Skandinavia yang hanya membayarkan 5% untuk anggaran pendidikan. Bahkan mahasiswa-mahasiswa Chile selama ini membayar 50% lebih tinggi dari mahasiswa di Australia, yang merupakan biaya pendidikan paling tinggi di Negara OECD manapun.

 

Beban Yang di Wariskan

Pembiayaan pendidikan yang sangat tinggi di Chile dikarenakan sistem pendidikan lama Chile yang dirubah. Sebelumnya Negara memiliki peran penting untuk menyediakan akses pendidikan bagi masyarakat, tapi sistem itu dirubah berdasarkan ideologi pasar bebas, manajemen swasta dan berorientasi pada keuntungan. Negara secara drastis mengurangi perannya sebagai pemasok dana, meskipun tetap mempertahankan eksistensinya dalam regulasi pendidikan, seperti kurikulum dan kebijakan program studi.

 

Proses perubahan sistem pendidikan ini adalah dampak dari reformasi neoliberal di Chile, yang mulai dilakukan ketika Presiden Salvador Allende dikudeta oleh kelompok militer di bawah komando Jenderal Augusto Pinochet pada tahun 1973. Proses kudeta ini, menurut Arief Novianto sering disebut sebagai “Peristiwa Jakarta”. Kesamaan proses kudeta dari Pinochet dengan kudeta dari Soeharto menjadi penyebab munculnya sebutan itu. Seperti adanya campur tangan pihak asing, serta proses kudeta yang dibangun atas dalih membasmi kelompok yang dituduh akan melakukan kudeta, proses untuk menangkal paham komunis dan juga penggunaan aksi massa untuk memberi legitimasi pemerintahan militer. [4]

 

Naiknya Jenderal Augusto Pinochet sebagai Presiden Chile tentu saja membawa perubahan drastis, seperti yang terjadi di Indonesia ketika Jenderal Soeharto naik, terutama dalam bidang pendidikan. Perubahan sistem pendidikan ini berlandaskan konsep New Public Management [5] dimana reformasi pendidikan dipupuk dengan kompetisi antar sekolah dan perguruan tinggi. Para penyelenggaran pendidikan di motivasi untuk meningkatkan, mempromosikan efisiensi dan meningkatkan standar dengan sistem ekonomi sekolah dan kampus.

 

Hak untuk pendidikan pun hanya dimaksudkan untuk melindungi pasar bebas pendidikan, tetapi tidak dengan kesetaraan akses maupun kualitas pendidikan. Hal ini berdampak pada kualitas dan kesejahteraan pengajar dan pegawai administrasi di sekolah dan kampus, bahkan mayoritas pengajar disana tidak mendapatkan tunjangan dan gaji yang layak dari pemerintah, dengan alasan menekan pengeluaran anggaran.

 

Selain itu, universitas besar memegang kekuasaan untuk memonopoli penyebaran pendidikan dengan membuat cabang-cabang di daerah, tentu saja dengan tarif selangit. Sehingga banyak universitas kecil yang gulung tikar dan makin banyak masyarakat yang tidak mampu mengakses pendidikan tinggi.

 

Penguin Revolution

Aksi yang dilakukan pelajar dan mahasiswa Chile tidak bisa dilepaskan dari berbagai kebijakan pendidikan masa lalu yang dikeluarkan oleh Pinochet. Bermula dari upaya pelajar untuk menuntut penghapusan Ley Organica Constitucional de Ensenanza (LOCE) atau Undang-undang Organik Konstitusi tentang Pengajaran yang diberlakukan sejak tahun 1990 [6]. Para pelajar juga menuntut diterbitkannya aturan mengenai pembebasan biaya transportasi bagi pelajar serta reformasi menyeluruh terhadap kebijakan waktu sekolah yang dianggap terlalu lama.

 

Bukannya mendapat jawaban yang memuaskan, demonstrasi yang berlangsung pada April 2006 ini justru direspon represif oleh rezim yang saat itu dipimpin oleh Presiden Michelle Bachelet. Ribuan polisi dikerahkan untuk membubarkan para pelajar, setidaknya polisi menangkap 47 pelajar. Tindakan ini tentu saja menimbulkan kemarahan yang luas di masyarakat yang disalurkan dengan aksi-aksi lanjutan.

 

Pada perayaan hari buruh di tahun yang sama, sebuah protes besar dari pelajar dilangsungkan di Parque Almagro dan kembali direpresi oleh pemerintah. Setidaknya lebih dari seribu pelajar dan peserta aksi ditangkap. Tiga minggu berselang, protes diberbagai sekolah diinisiasi oleh serikat-serikat pelajar radikal, dimana juru bicara aksi menyerukan protes tanpa henti selama pemerintah tidak memenuhi tuntutan para pelajar.

 

Hingga pada 19 Mei para pelajar memutuskan untuk mengambilalih Instituto Nacional. Aksi ini menginspirasi tindakan serupa di berbagai Liceos (sekolah negeri). Tercatat sekitar 14 sekolah diambilalih oleh pelajar di Ibu Kota Chile, Santiago. Aksi-aksi ini mendapat dukungan luas dari orang tua murid, para guru dan tenaga buruh akademik lain, termasuk paramahasiswa di universitas yang tergabung dalam Federación de Estudiantes de la Universidad de Chile atau Federasi Pelajar Universitas Chile (FECh) yang berpusat di Universidad de Chile (Universitas Chile).[7] Selain itu, para pelajar juga melakukan mogok, menolak partisipasi dalam proses belajar mengajar dan memilih untuk melakukan uji coba tentang demoksrasi langsung dan membuka panggung-panggung debat serta diskusi mengenai kondisi pendidikan Chile.

 

Aksi-aksi ini pada akhirnya memaksa Pemerintah Chile melalui Menteri Pendidikan, Martin Zilic untuk melakukan negosiasi pada  Mei 2006. Namun demonstrasi tetap berlangsung, hal ini dikarenakan penolakan Zilic untuk menghadiri secara langsung pertemuan dengan pelajar, dan memilih untuk mengutus Deputi Pendidikan Bidang Sekolah Tinggi. Pendelegasian ini dipandang sebagai bentuk ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan masalah pendidikan di Chile.

 

Gelombang protes yang semakin membesar terpaksa mengharuskan Bachelet mengeluarkan tujuhpoin rekomendasi yang harus disepakati oleh pelajar, namun ketujuh poin itu ditolak  setelah seluruh perwakilan kelompok pelajar mengadakan pertemuan dengan Menteri Pendidikan. Ketidakmampuan pemerintah untuk membiayai pendidikan karena masalah financial dianggap sebagai alasan yang dibuat-buat.

 

Sebagai balasan pelajar atas sikap keras kepala Bachelet, pada5 Juni 2006 para pelajar kembali turun ke jalan. Aksi ini melumpuhkan lebih dari 200 sekolah dan diikuti oleh lebih dari 12.000 pelajar. Hingga pada 9 Juni 2006, para pelajar mengumumkan bahwa demonstrasi telah berakhir setelah dua hari sebelumnya, Bachelet setuju untuk secara bertahap memenuhi tuntutan pelajar. Salah satunya yaitu dengan pembentukan sebuah komite pendidikan yang terdiri dari perwakilan guru, tenaga administrasi, pakar pendidikan, wakil pemerintah dan perwakilan kelompok sosial lain yang berkepentingan dengan pendidikan nasional. Komite ini terdiri dari 73 orang dimana enam kursi di antaranya diserahkan kepada perwakilan pelajar.

 

Chilean Winter

Lima tahun berselang, Chile kembali bergejolak. Gerakan pelajar kembali melakukan aksi dengan skala yang lebih besar, namun kali ini yang memimpin barisan adalah mahasiswa. Aksi ini dipicu oleh rencana Menteri Pendidikan Chile, Joaquin Lavin, dalam meningkatkan pendanaan pemerintah untuk universitas non-negeri. Selain itu, demonstran juga mengajukan tuntutan yang sebelumnya diperjuangkan pada Penguin Revolution, seperti subsidi transportasi mahasiswa dan penyediaan beasiswa. Namun dalam perkembangannya tuntutan meluas hingga penyediaan pendidikan gratis untuk seluruh masyarakat Chile, hukuman bagi aktor yang mencari keuntungan dari pendidikan, pendanaan pendidikan publik yang dikelola negara, reformasi pajak, hingga nasionalisasi perusahaan tambang tembaga.[8]

 

Aksi ini diorganisir oleh Confederacion de Estudientes de Chile (CONFECH) atau Konfederasi Mahasiswa Chile, yang terdiri 16 Federasi di Universitas Negeri, 9 Federasi di Universitas Swasta, dan 1 Federasi dari organisasi masyarakat adat. Gerakan ini menolak disebut sebagai gerakan mahasiswa atau pelajar. Mereka lebih memilih disebut gerakan sosial masyarakat, karena fakta bahwa proses gerakan yang terbentuk melibatkan aliansi “Front Populer” seperti, serikat buruh, serikat tani dan kaum miskin kota.

 

Gelombang protes terjadi secara terus menerus dari Mei 2011 hingga Agustus 2012. Puncaknya terjadi pada Agustus 2011, dimana setidaknya 400.000 mahasiswa terlibat dan mendapat aksi represif dari kepolisian yang menyebabkan terbunuhnya salah seorang mahasiswa serta ditangkapnya 874 peserta aksi.[9]

 

Besarnya jumlah pelajar, dan mahasiswa dalam menjalankan aksi protes tersebut berhasil menarik perhatian masyarakat Chile dan media internasional. Banyaknya dukungan serta aksi yang terus terjadi pada akhirnya memaksa dua menteri pendidikan mundur dalam jangka waktu yang relatif singkat. Bahkan aksi ini berimbas pada perubahan politik nasional Chile dengan kemenangan Michelle Bachelet sebagai Presiden Chile, yang diusung oleh para pelajar dan ogranisasi sayap kiri Chile dalam pemilu tahun 2013, serta terpilihnya tokoh mahasiswa, Camila Vallejo dan Gabriel Boric sebagai anggota parlemen.

 

Salah satu bentuk kemenangan Chilean Winter didapat pada Desember 2014, setelah Menteri Dalam Negeri Chile, Rodrigo Penailillo menyatakan akan mengakomodasi tuntutan aksi dan memberlakukan pendidikan gratis pada Maret 2016. Pembiayaan pendidikan tinggi ini setidaknya membutuhkan 8,3 juta dollar setiap tahunnya, dan pendanaan tersebut akan didapatkan dengan memberlakukan pajak progresif sebesar 27% kepada perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Chile.

 

Taktik

Lalu bagaimana gerakan masyarakat Chile ini dapat memenangkan tuntutannya? Tentu saja gerakan turun ke jalan bukanlah hal yang asing untuk para aktivis, termasuk di Indonesia. Tapi terdapat perbedaan yang signifkan antara perjuangan aktivis di Chile dan aktivis di Indonesia, salah satunya adalah dalam ranah metode.

 

Metode yang digunakan oleh mahasiswa Chile diantaranya berupa aksi jalan kaki yang dilakukan serentak di seluruh Chile, blockade dan pendudukan gedung-gedung sekolah dan universitas, pengambilalihan stasiun televisi, serta aksi mogok makan hingga berbagai aksi pertunjukan seni kolektif. [10] Pengambilalihan sekolah-sekolah yang dilakukan oleh mereka juga tidak hanya digunakan sebagai strategi menekan pemerintah, tapi juga sebagai ruang praktek demokrasi langsung dalam perdebatan dan perumusan kesepatakan di setiap sekolah.

 

Selain itu, mereka juga menggunakan strategi aksi yang kreatif dengan membangun wacana-wacana kekinian yang mampu membangkitkan keterlibatan mahasiswa dan pelajar apatis. Seperti saat pemerintah mengundur dan memperpendek hari libur, ratusan mahasiswa membuat pantai buatan di alun-alun kota Santiago dengan menggunakan pakaian renang dan kacamata hitam sebagai bentuk protes. Atau dalam menentang biaya pendidikan yang mahal, mereka menggantung boneka-boneka di kawasan sekolah dan universitas dengan member tajuk “bunuh diri simbolis”. Mereka juga lebih memilih menamai aksi mereka sebagai “pesta” atau “karnaval” dibanding menggunakan terminologi umum seperti demonstrasi atau aksi massa.

 

Terakhir, mereka juga menggunakan strategi politik dengan berupaya merebut posisi Negara. Salah satunya dengan menempatkan wakil-wakil mahasiswa di parlemen dan mengusung Michelle Bachelet sebagai presiden pada pemilu 2013.

 

Apa yang kita pelajari sebagai sesama negara dunia ketiga

Salah satu hal terpenting yang dapat kita pelajari sebagai sesama Negara dunia ketiga adalah upaya gerakan pelajar dan mahasiswa di Chile dalam mentransformasikan gerakannya menjadi gerakan rakyat lintas dimensi. Hal ini menjadi penting, karena bagaimana pun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah akan selalu berimbas kepada seluruh lapisan masyarakat.

 

Namun sayangnya hal tersebut masih sulit terwujud di Indonesia. Kecenderungan yang terjadi di Indonesia adalah setiap gerakan pelajar masih tersekat-sekat pada perjuangan lokalitas tiap sekolah atau universitas. Bahkan hingga hari ini belum ada gerakan pelajar setingkat SMP dan SMA yang terogranisir dan progresif, serta memiliki tuntutan yang mampu melampaui sekat antar sekolah ataupun universitas. Selain itu, gerakan pelajar juga cenderung menolak membuka diri untuk beraliansi dengan gerakan rakyat lain secara kontinu.

 

Hal ini tentu saja menjadi pekerjaan rumah yang sulit untuk gerakan pelajar dan mahasiswa di Indonesia, tetapi bukan hal yang mustahil melihat perkembangan gerakan pelajar dan mahasiwa hari ini. Dimana gerakan pelajar mulai membuka diri untuk terlibat dalam berbagai perjuangan masyarakat, seperti yang belum lama ini terjadi di Banyumas, dimana ratusan mahasiswa bersama masyarakat turun ke alun-alun Purwokerto untuk menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Geothermal. Hal tersebut adalah awal untuk gerakan pelajar dan mahasiwa untuk menciptakan perubahan di Indonesia.

 

Referensi

  1. https://en.m.wikipedia.org/wiki/2006/2006_student_protests_in_chile, diakses pada 5 Oktober 2017
  2. “Chile: Students set to Win Free Higher Education”, https://www.greenleft.org.au/content/chile-students-set-win-free-higher-education, diakses pada 6 Oktober 2017
  3. “Karol Cariola: Srikandi Merah Perlawanan Mahasiswa Chile”, http://www.berdikarionline.com/karol-cariola-srikandi-merah-perlawanan-mahasiswa-chili/, diakses pada 7 Oktober 2017
  4. Revolusi Penguin dan Gerakan Musim Dingin: Belajar dari Pengalaman Perlawanan Pelajar di Chile, http://majalahsedane.org/revolusi-penguin-dan-gerakan-musim-dingin-belajar-dari-pengalaman-perlawanan-pelajar-di-chile/, Diakeses pada 8 Oktober 2017
  5. McNeil BI, Matear RJ. ‘Project Climate Change Impact on Oceanic Acidification’. Carbon Balance and Management. 2012
  6. http://es.wikipedia.org/wiki/Ley_Org%C3%A1nica_Constitucional_de_Ense%C3%B1anza, diakses pada 8 Oktober 2017
  7. Selalu ada Alternatif: Tentang Gerakan Pelajar Chile, http://andrebarahamin.com/2015/06/22/selalu-ada-alternatif/, diakses pada 8 Oktober 2017
  8. Soma, Nocalas M. ‘The Chilean Student Movement of 2011 – 2012: Challenging the Marketization of Education’ . Interface: a Journal for and About Social Movements. November 2012
  9. No se vende educacion! Belajar dari Gerakan Mahasiswa Chile, http://anarkis.org/no-se-vende-educacion-belajar-dari-gerakan-mahasiswa-chile/, diakses pada 11 Oktober 2017
  10. McIntyre, Jody. ‘How To Grow a Student Movement, Chilean Style’. New Internationalist. Oktober 2012
Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Komentar ditutup.

Artikel Lain

Skip to content