Sudah Idealkah Jumlah Perempuan di Kursi Parlemen?

Cover_Sudah Idealkah Jumlah Perempuan di Kursi Parlemen

Sejak akhir bulan September tahun lalu hingga hari ini, Indonesia kembali disemarakkan oleh kampanye pemilihan umum (pemilu) 2019. Setiap pasangan calon (paslon) menggempurkan manuvernya untuk mengambil hati rakyat. Setiap paslon mengerahkan massa untuk membangun citra terbaiknya. Ada yang berbicara tentang kedaulatan, ada yang menawarkan pembenahan infrastruktur. Semuanya untuk kepentingan rakyat, katanya.

Di tengah keriuhan kedua paslon yang sedang berkampanye ria, ada beberapa orang muda yang menciptakan pasangan fiktif untuk membuka perdebatan segar terkait seksualitas di ranah online. Persoalan yang tidak pernah dianggap serius oleh negara.

Persoalan tersebut selalu dianggap tabu untuk dibicarakan dan tidak pernah masuk dalam rencana jangka panjang paslon Presiden dan Wakil Presiden. Kalaupun menjadi urusan negara, sangat jarang menaruh keberpihakan pada perempuan. Padahal, perempuan sangat rentan jadi korban kekerasan seksual. Kita bisa melihat hal ini terus terjadi karena sistem patriarki dikelola begitu rapi yang menjadikan perempuan dianggap tidak bisa melindungi diri sendiri. Ditambah lagi, masih sedikitnya representasi legislator perempuan untuk menyuarakan pendapat dan mengambil keputusan untuk perempuan itu sendiri.

 

Mengapa demikian?

Perempuan perlu berusaha keras untuk mendapatkan kursi di parlemen. Seperti dilansir oleh Tirto.id, calon legislatif (caleg) perempuan sering kali mendapat rintangan awal bahkan sebelum bertarung bebas di ranah kampanye, yaitu mendapatkan nomor bawah pada daftar caleg partai. Tidak jarang keinginan partai hanya memilih perempuan yang dekat dengan sumber kekuasaan sehingga menyingkirkan caleg perempuan lainnya. Selain itu, politisi laki-laki menganggap perempuan sulit terpilih di kursi legislatif karena hambatan budaya, agama, dan sosial. Di sisi lain, perempuan masih beranggapan bahwa dunia politik adalah dunia laki-laki yang kotor dan penuh dengan praktik korupsi.[1]

Jika dilihat dari peringkat keterwakilan perempuan dalam parlemen, Indonesia berada di peringkat ke-6 dalam kategori majelis rendah di tingkat ASEAN. Proporsi perempuan yang berada di parlemen di Indonesia berada di 19,8 persen di bawah Kamboja dan di atas Malaysia. Sedangkan dalam parlemen di ASEAN, Filipina menjadi negara yang berada di tingkat pertama dalam pelibatan perempuan di kursi parlemen. Proporsinya di angka 29,5 persen atau sama dengan 86 perempuan dari total 292 kursi.[2] Selanjutnya, proporsi perempuan di parlemen Indonesia masih jauh di bawah angka rata-rata bila dibandingkan dengan angka rata-rata dunia. Pada data tahun 2017 yang dikemukakan dalam artikel Tirto.id, komposisi partisipasi perempuan di parlemen dalam rata-rata dunia terhitung sebesar 23,6 persen. Presentase Indonesia masih jauh di bawahnya dengan angka 19,8 persen.

 

Mungkin, Indonesia perlu banyak belajar dari ….

Pemerintahan Filipina yang mengadopsi Magna Carta Women[3] sejak tahun 2009 untuk mengakhiri semua bentuk diskriminasi dan mempromosikan hak-hak perempuan. Dengan mengadopsi Magna Carta Women, Filipina memiliki lima agenda yang menjadikan negara tersebut bertahan dalam posisi 10 negara teratas untuk hal kesetaraan gender. Agenda tersebut meliputi mencapai keseimbangan gender dalam posisi pemerintahan, meninggalkan tunjangan dan non-diskriminasi dalam pekerjaan terutama di militer dan polisi, akses pendidikan dalam pendidikan dan status yang sama, penggambaran yang tidak diskriminatif terhadap perempuan di dalam media dan perfilman, dan mandat meninjau, mengubah, dan mencabut hukum diskriminatif yang ada.[4]

Atau, pemilu yang baru selesai diselenggarakan oleh negara Amerika Serikat pada akhir tahun lalu. Dalam pemilu paruh waktu tersebut, kita dapat melihat bagaimana peran masing-masing partai memberikan ruang untuk 237 perempuan mengambil kursinya menjadi kandidat.[5] Tidak menyerah dengan posisi menjadi minoritas di DPR Amerika Serikat, Partai Demokrat memiliki hampir 80 persen perempuan yang berkompetisi memperebutkan kursi di DPR. Kongres Amerika Serikat telah berpindah haluan dengan dominasi dari Partai Demokrat. Setidaknya, hingga tahun 2021 rakyat AS memiliki anggota kongres perempuan muda yang datang dari berbagai latar belakang. Mereka adalah Alexandria Ocasio-Cortez dan Abby Finkenauer dengan usia termuda yaitu 29 tahun, Rashida Tlaib dan Ilhan Omar yang merupakan perempuan Muslim pertama menjadi anggota kongres periode 2019-2021.

Tidak ada yang salah untuk membawa kepentingan di dalam dunia politik. Namun, kepentingan itu harus mewakili suara masyarakatnya. Selain itu, representasi gender menjadi hal yang penting untuk mendongkrak persentase perempuan di kursi parlemen. Seperti yang dilansir Tirto.id mengutip tulisan Leslie. A. Schwindt-Bayer di dalam bukunya yang berjudul Political Power and Women’s Representation in Latin America.

 

 

Referensi:

[1] Prihatini, Ella. S. 2018. “On the Same Page? Support for Gender Quotas among Indonesian Lawmakers”. University of Western Australia.

[2] Gerintya, Scholastica. 2017. “Kuota 30% Perempuan di Parlemen Belum Pernah Tercapai.” https://tirto.id/kuota-30-perempuan-di-parlemen-belum-pernah-tercapai-cv8q

[3] Magna Carta atau Piagam Besar adalah dokumen yang berisi prinsip bahwa semua orang (tanpa melihat posisi, kelas, atau jabatannya) wajib tunduk pada hukum yang berlaku di suatu negara. https://www.thoughtco.com/why-magna-carta-key-document-usa-104638

[4] Sinha, Tripti. 2017. “Women’s Empowerment in the Philippines Needs Improvement.” https://borgenproject.org/womens-empowerment-in-the-philippines/  

[5] Veronika, Yasinta. 2018. “8 Rekor Baru yang Tercatat dalam Pemilu Paruh Waktu AS.” Dapat diakses di https://internasional.kompas.com/read/2018/11/08/10163181/8-rekor-baru-yang-tercatat-dalam-pemilu-paruh-waktu-as

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content