Bahasa Indonesia ID English EN

Mengenal Serba-serbi Bahasa dan Budaya Tuli bersama Gerkatin Surakarta

Ditulis oleh: Putri Gemma Guntari

Dalam rangkaian acara Dialog Nasional Indonesia Inklusi yang berlangsung pada 4 Juni 2024 di Jakarta lalu, terdapat salah satu sesi menarik yakni sesi “Open Space”. Open Space merupakan sesi di mana sebuah organisasi pemangku hak membuka ruang perkenalan tentang gerakan organisasinya dan isu yang diadvokasinya. Salah satu organisasi yang menjadi penyaji di sesi ini adalah Gerkatin Surakarta dengan tema “Mengenal Bahasa dan Budaya Tuli”.

Open Space diadakan di ruang terbuka, persis di samping Kios Komunitas. Sesi ini berlangsung selama satu jam dan diikuti oleh peserta dengan dan peserta tuli. Kehadiran Juru Bahasa Isyarat dalam sesi tersebut, membantu peserta dengar dan peserta tuli dapat berdiskusi dengan menyenangkan. Teman dengar sangat antusias menyimak Open Space ini. 

Tuli: Bahasa dan Budaya

Adalah Galih, seorang teman Tuli yang tergabung dalam Gerkatin Surakarta, dia bergabung sejak tahun 2019 hingga saat ini. Pada Dialog Nasional Indonesia Inklusi, Galih menjadi Narasumber pada sesi Open Space: Mengenal Bahasa dan Budaya Tuli dengan dimoderatori oleh Nissi, teman Tuli asal Jakarta yang merupakan founder dari Feminist Themis. 

Gambar 1: Suasana Open Space 1 bersama gerkatin Surakarta

Nissi mengawali sesi dengan memperkenalkan Galih. Setelah Nissi membuka sesi, Galih mengajak para peserta untuk tepuk tangan menggunakan isyarat “Tepuk tangan dulu seperti ini (memperagakan tepuk tangan dalam bahasa isyarat)”. Bagi teman Tuli, tepuk tangan dalam bahasa isyarat adalah bentuk apresiasi yang aksesibel yang dibutuhkan dan menjadi suatu subjek penting bagi teman dan komunitas Tuli.

Galih kemudian mulai bercerita bahwa istilah Tuli disebarluaskan pada 1960 saat era pemerintahan Soekarno dan mengalami pergeseran istilah menjadi tunarungu (kehilangan indera pendengaran) pada era pemerintahan Soeharto atau orde baru. Penggunaan istilah tunarungu bermakna negatif dan harmful bagi komunitas Tuli. Pada era pemerintahan Soeharto, orang Tuli harus bisa seperti orang dengar, dengan komunikasi yang tidak aksesibel tentu ini tidak mungkin dilakukan. Kini komunitas Tuli memperjuangkan penggunaan istilah Tuli kembali karena Tuli dengan kapital di awal “T” bermakna positif dan menandakan identitas. Mereka merasa nyaman dan setara dengan orang dengar jika publik menggunakan istilah Tuli. 

Berbeda dengan teman dengar, teman Tuli berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat dan gestur. Teman Tuli  sudah seharusnya mendapatkan hak untuk menggunakan bahasa isyarat. Meskipun setiap daerah memiliki bahasa isyaratnya tersendiri, akan tetapi bukan berarti perbedaan wilayah menjadi hambatan. Teman Tuli yang berasal dari daerah yang berbeda melakukan pertukaran informasi penggunaan bahasa isyarat ketika bertemu, sehingga mereka terbiasa berkomunikasi satu sama lain. Teman tuli juga memiliki nama isyarat untuk membedakan individu satu dan lainnya. Budaya Tuli lainnya adalah jika teman dengar ketika menyapa orang lain dengan menyebutkan nama, teman Tuli melakukannya dengan menepuk atau melambaikan tangan orang yang ingin disapanya. Melalui bahasa isyarat, teman Tuli juga dapat berkomunikasi secara jarak jauh atau terhalang oleh kaca. 

Teman dengar merasa takut ketika bertemu dengan tuli karena merasa terhambat dan bingung bagaimana cara berkomunikasinya terlebih harus menambahkan ekspresi. Teman dengar dan teman tuli dapat berkomunikasi menggunakan tulisan terlebih dahulu dan setelah itu bisa belajar bahasa isyarat akan tetapi untuk belajar bahasa isyarat harus langsung dengan teman Tuli. Perjumpaan yang intens membuat teman dengar terbiasa dan mudah untuk belajar bahasa isyarat, meskipun tergantung bagaimana niat dan ketertarikan personalnya.

Menurut Galih, teman Tuli kerap mendapatkan stigma di masyarakat. Tuli dianggap tidak bisa berkomunikasi, tidak bisa bekerja dan stigma lainnya. Padahal tidak demikian, komunikasi banyak caranya seperti tulisan, dengan tulisan teman Tuli dapat melihat dan memikirkan untuk meresponnya. Stigma tersebut berangkat dari ketidaktahuan. Galih bersama komunitasnya membantu mengedukasi dan mengajarkan kepada mereka sampai terbangunnya kesadaran, “Biasalah dihina-hina sudah biasa. Misalkan tidak mengerti apa-apa, kita bantu edukasi, ajarkan ke mereka sampai akhirnya mereka sadar”, terang Galih.

Berkenalan dengan Gerkatin Surakarta

Sebagian orang mungkin sudah terhubung dengan Gerkatin, sebagian lagi mungkin tidak familiar. Melalui tulisan ini, kami ingin mengajakmu untuk berkenalan dengan Gerkatin. Gerkatin adalah akronim dari Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia yaitu sebuah perkumpulan untuk teman Tuli. Meski saat ini komunitas Tuli lebih nyaman disebut Tuli, Gerkatin tetap menggunakan istilah tunarungu di dalam akronimnya karena didirikan oleh pendiri pada zaman order baru. Mulanya Gerkatin didirikan di Jakarta pada 1981, kemudian pada 1982 membuka cabang kedua di Surakarta dan saat ini sudah menyebar di beberapa daerah di Indonesia. 

Galih bersama teman-teman Tuli di Gerkatin Surakarta melakukan kerja-kerja advokasi dan kampanye hingga hari ini. Misalnya pada 2022, Gerkatin Surakarta, Kota Kita, dan Ruang Atas berkolaborasi dalam membuat kreasi mural yang bisa kalian temui di Jalan Gatsu dan Taman Banjarsari jika kalian berkunjung ke Surakarta. 

Kreasi mural tersebut dibuat oleh Galih, Nima, Neli serta beberapa seniman lainnya. Proses awalnya adalah mereka mengumpulkan beberapa isu dan komunitas, mengajarkan cara menggambar, bertukar informasi bahasa isyarat hingga mengaplikasikan menjadi gambar. Mural tersebut dijadikan sebagai advokasi dan kampanye yang ditujukan bukan hanya kepada pemerintah tetapi kepada masyarakat luas dengan tujuan sebagai akses informasi bahasa isyarat dan ingin membuktikan bahwa komunitas Tuli bisa bekerjasama dan bertukar informasi. Tidak hanya berhenti sampai di situ, saat ini Gerkatin terus membuat beberapa program untuk melakukan kerja-kerja aktivisme bagi kesejahteraan komunitas Tuli. 

Tuli dan Akses Informasi

Gambar 2: Antusiasme Peserta Open Space 1 Mempelajari Alfabet dalam bahasa isyarat.

Diskusi berjalan dengan sangat menyenangkan, antusiasme teman-teman dengar juga terlihat dalam atmosfer diskusi. Beberapa pertanyaan disampaikan oleh teman dengar kepada Galih dan Nissi ketika sesi tanya jawab. 

Cecil salah satu peserta dari teman dengar bertanya tentang bagaimana Tuli ketika mendengarkan musik. Galih menyambut baik pertanyaan Cecil “Sebetulnya Tuli itu spektrum, kemampuan mendengarnya pun bervariasi. Ada Tuli yang bisa dengar dikit, lumayan dan ada yang tidak dengar sama sekali,”. Teman Tuli bisa merasakan getaran karena setiap suara mengandung getaran. Ketika ada musik, mereka mendekat dan merasakan getarannya. Akan tetapi mereka hanya dapat menikmati instrumen musiknya saja tanpa mereka ketahui liriknya. Oleh karena itu akses juru bahasa isyarat dan takarir membuat teman Tuli dapat menikmati musik dengan penuh. 

Tak kalah menarik dengan Cecil, Salman peserta dari teman dengar menanyakan tentang bagaimana Tuli mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi. Dewasa ini, penyebaran informasi tentang kesehatan reproduksi cukup masif dan mudah ditemui di media sosial. Tuli bisa mendapatkan informasi tersebut ketika kontennya menampilkan takarir berbahasa Indonesia atau menyandingkan juru bahasa isyarat. Pada konteks lain, misalkan informasi tentang kesehatan reproduksi dari layanan kesehatan. Tenaga kesehatan harus bisa bahasa isyarat sehingga dapat menjelaskan dan mengedukasikan kepada Tuli. 

Open Space Mengenal Bahasa dan Budaya Tuli ditutup dengan berlatih bahasa isyarat, Galih dan Nissi memimpin dan mengenalkan isyarat abjad. Peserta dari teman dengar sangat antusias berlatih dengan mengikuti instruksi dari Galih. Berlatih bahasa isyarat sama halnya dengan berlatih bahasa asing, membutuhkan ketertarikan yang besar dan konsisten akan prosesnya. Galih juga menyarankan jika ingin belajar bahasa isyarat yakni harus sering bertemu dengan teman Tuli atau datang ke lembaga pelatihan di daerah masing-masing. Sesi ini menjadi pembelajaran bersama dan upaya dalam mendukung kerja-kerja inklusivitas.

Bagikan

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya