Bahasa Indonesia ID English EN

Jurnalisme Warga Suara Grina, Merebut Ruang Sipil Melalui Tulisan

Ditulis oleh: Retno Edhie Sitoresmi

Acara Dialog Nasional Indonesia Inklusi yang diadakan di Erasmus Huis pada 4 Juni 2024 berlangsung seru dan meriah. Banyak rangkaian kegiatan yang menambah informasi dan pengetahuan kita sebagai orang muda. Salah satunya adalah kegiatan Open Space bertema Merebut Ruang Sipil melalui Tulisan yang diadakan di ruang terbuka sembari diskusi santai. Meskipun sesi ini hanya berlangsung satu jam, namun pengetahuan yang dibagikan sangatlah padat.

Dengan narasumber Maria dan Vebbry sebagai perwakilan dari Suara Grina, tentunya menambah muatan pengetahuan tersendiri, khususnya mengenai jurnalisme warga yang dilakukan oleh kawan-kawan di lembah Grime dan Nawa, Jayapura. Suara Grina merupakan wadah orang muda yang  mengarsipkan cerita suku Namblong di lembah Grime dan Nawa. Grime dan Nawa adalah dua lembah besar di Jayapura, sehingga terbayang bagaimana kerja besar ini butuh banyak orang untuk menangkap seluruh cerita di dalamnya.

Gambar Suasana Open Space 2 bersama Suara Grina
Gambar 1: Suasana Open Space 2 bersama Suara Grina.

Suara Grina sendiri dibentuk sejak 2019 dengan anggota sebanyak 15 orang. Suara Grina dibentuk untuk menjawab kebutuhan jurnalisme warga dari Dewan Adat Suku yang melihat banyaknya cerita yang perlu ditulis dan diadvokasi oleh orang muda di sana. Seiring berjalannya waktu, tersisa hanya 3 anggota saja dan ketiganya adalah perempuan. Menariknya, kawan-kawan  Suara Grina terus memelihara semangat dan konsistensi dalam menulis, serta menjalin kedekatan dengan para perempuan adat. Hal ini tentunya terwujud ke dalam tulisan-tulisan jurnalisme mereka yang kaya akan pengalaman dan pengetahuan khas perempuan. 

Satu pesan Dewan Adat Suku yang dipegang erat oleh Suara Grina dalam meneruskan kerja jurnalisme warga adalah “Jangan tunggu orang luar datang untuk tulis katong punya cerita. Karena katong yang punya cerita, harus katong sendiri yang tulis dan ceritakan”.

“Cerita lampau lebih banyak didengar anak perempuan saja. Saat berkumpul, ternyata apa yang mereka tahu tidak sebanyak yang kami tahu. Misalnya, tentang keanekaragaman hayati. Kita lebih banyak tahu soal sayur-sayur dan bagaimana pengolahannya karena ikut mama berkebun. Anak laki-laki lebih tahu menjerat, tapi sekarang sudah banyak pergi kerja proyek. Anak perempuan lebih banyak tahu karena dekat dengan orang tua. Anak laki-laki pergi main sampai malam dan pulang dapat marah orang tua”, pungkas Vebbry saat menjawab pertanyaan tentang kekhasan cerita yang ditulis oleh perempuan.

Kawan-kawan Suara Grina juga membagikan tantangan yang dihadapi sebagai jurnalis perempuan. Vebbry pernah diserang dalam perjalanannya mencari berita oleh pelaku tak dikenal. Ia ditarik dari motor saat berkendara, sedangkan pelaku ada di dalam mobil. Seolah pelaku ingin menarik paksa Vebbry ke dalam mobil. Beruntung pamannya ada di seberang jalan dan meneriakkan namanya, sehingga pelaku kabur. Dari pengalaman tersebut, Vebbry berjaga-jaga dengan membawa paku jembatan cukup besar yang ia temukan di jalan kemana saja ia pergi. Pengalaman lucu terjadi saat paku tersebut lupa terbawa hingga ke Sorong saat ia hendak melakukan peliputan dan terpindai oleh metal detector.

“Maria dan Vebbry adalah bukti bahwa perempuan itu sungguh kuat dan tangguh. Terimakasih untuk kerja-kerja jurnalisme warga yang mengangkat peran-peran perempuan. Jangan lihat dari jumlahnya, tapi dari kualitas ketulusan hati perempuan dalam mengangkat cerita adatnya”, ungkap Bu Martha mengapresiasi kerja jurnalisme warga yang dilakukan kawan-kawan Suara Grina.

Selain diskusi tanya jawab tentang kerja-kerja penulisan yang dilakukan oleh kawan-kawan Suara Grina, terdapat pemutaran video dokumenter yang diputar untuk ditonton peserta yang meramaikan Open Space. Dari pemutaran ini sedikitnya Vebbry memberi pengantar bahwa video dokumenter tersebut merupakan gambaran dari artikel yang dibagikan ke peserta. Bercerita tentang aksi yang dilakukan masyarakat adat yang sadar bahwa hutannya telah dirusak oleh perusahaan sawit. Mereka berpikir untuk mengambil kembali kontrol atas hutan adatnya melalui Forest Camp. Adalah Bapa Otis Bay yang ditunjuk oleh kepala marga bertugas sebagai penjaga yang melakukan kontrol hutan. Ia datang singgah untuk memastikan Hutan Bayno aman.

Gambar 2: Suasana Open Space 2 bersama Suara Grina

Hutan Bayno direncanakan sebagai kawasan ekowisata dengan konservasi burung cendrawasihnya. Yang mana populasi burung cendrawasih ini hanya ada di Hutan Adat Bayno dan Raja Ampat saja. Kelak ke depannya, ekowisata ini akan membawa manfaat ekonomis bagi masyarakat adat Bayno sekaligus menghindarkannya dari pembalakan kayu ilegal. Peran Suara Grina dalam hal ini adalah sebagai tim kampanye yang mengawal kasus perebutan kembali hutan adat bayno dari penguasaan perusahaan kelapa sawit.

“Ini film dokumenter, sehingga dibuat apa adanya. Kami ingin menunjukkan keaslian bagaimana keseharian masyarakat adat. Kami tidak ada briefing untuk narasumber di dalam (video) bicara apa. Kami tidak berusaha untuk terlihat sama. Satu hal yang ingin saya kasih tahu bahwa It’s okay to be different”, pungkas Vebbry sebagai penutupan yang apik dan penuh makna dalam Open Space Dialog Nasional Indonesia Inklusi.Tulisan-tulisan jurnalisme warga Suara Grina dapat diakses melalui instagram, facebook dan website blog @suaragrina.

Bagikan

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lainnya