Nama Kampung Katong, yang artinya merupakan ‘Kampung Kami,’ dengan sempurna menyiratkan semangat dekolonisasi yang diemban inisiatif ini. Nama tersebut juga merupakan singkatan dari dialek Nusa Tenggara Timur yaitu “kami pung manekat, papada, kampong tanga” yang berarti semangat kerja bersama untuk membangun kampung. Inilah yang ingin diperjuangkan oleh konsorsium yang terdiri dari RMI, Lakoat.Kujawas, SimpaSio Institute, dan Kolektif Videoge ketika membangun Kampung Katong.
Pada awalnya, inisiatif Kampung Katong menjawab potensi dari berkembangnya tren gerakan sosial akar rumput yang secara kontekstual menanggapi permasalahan daerah masing-masing. Dekolonisasi, yang pada umumnya diartikan sebagai proses melepaskan diri dari berbagai pengaruh kolonialisme, kemudian menjadi sebuah tema besar yang secara sadar maupun tidak sadar konsisten hadir. Terdapat perubahan orientasi yang menjadikan realita lokal sebagai acuan utama, alih-alih nasional atau bahkan global. Artinya, pengetahuan dan identitas lokal menjadi kompas dari penyelesaian berbagai permasalahan lingkungan, budaya, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, hingga keberlanjutan kehidupan.
RMI, organisasi yang berfokus pada isu pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, melihat bahwa komunitas seperti Lakoat.Kujawas, SimpaSio Institute, Kolektif Videoge, dan lainnya seakan sedang mengupayakan perjuangan dekolonial yang sama; walau dengan konteks lokal yang detailnya beragam.
Beranjak dari pengalaman kolaborasi RMI dan Lakoat.Kujawas dalam inisiatif Being and Becoming Indigenous di tahun 2020-2021 lalu, konsorsium Kampung Katong yang menggaet tiga komunitas dari Nusa Tenggara Timur tersebut lantas berdiri. Dengan Lakoat.Kujawas di Mollo, SimpaSio Institute di Larantuka, dan Kolektif Videoge di Labuan Bajo; inisiatif kolektif ini menjadi ruang belajar terkait bagaimana pengetahuan lokal menjadi kompas bagi identitas generasi muda dan komunitasnya.
Adapun partisipasi yang bermakna bagi orang muda dan perempuan menjadi suatu agenda utama dalam melaksanakan proses-proses yang akan berlangsung hingga Desember 2023 ini. Prosesnya tidak bisa lepas dari masyarakat adat dan minoritas etnis yang merupakan pemangku hak (rightsholder), yaitu Masyarakat Adat Mollo; Suku Bugis, Bima, dan Bajo; serta etnis Melayu-Larantuka.
Konsorsium ini ingin menyaksikan perubahan dalam perkembangan kampung-kampung di NTT tersebut yang berorientasi lokal–kontekstual dengan realita akar rumput. Artinya, kegiatan Kampung Katong tidak lepas dari pertukaran pembelajaran, reproduksi pengetahuan lokal, pengarsipan dan pendokumentasian seni dan budaya, residensi lokal hingga serial pelatihan kepemimpinan yang bertujuan menguatkan kemampuan manajerial sumber daya manusia di tiap komunitas. Harapannya, segala kegiatan yang kaya akan pembelajaran ini menjadi bekal yang mumpuni bagi masyarakat yang terlibat, khususnya perempuan dan orang muda, agar bisa membawa perubahan sosial yang sesuai dengan kebutuhan komunitas.
Kegiatan Kick-off Meeting Kampung Katong. Sumber: Dokumentasi RMI
Proses yang dimulai dari November 2021 dan akan berlangsung hingga Desember 2023 ini berjalan dengan dukungan dari Voice Global. Kampung Katong dimulai secara resmi dalam Kick-off Meeting pada 19-24 November 2021 di Bogor, Jawa Barat. Pada pertemuan perdana ini, sosialisasi mengenai program, penyusunan kesepakatan bersama dan strategi, proses pemetaan situasi lokal melalui SWOT analysis, diskusi manajemen keuangan, hingga diskusi mengenai kampanye melalui media sosial berlangsung.
Lokakarya video micro-documentary oleh Kolektif Videoge. Sumber: Dokumentasi Kolektif Videoge
Kini, ketiga komunitas di NTT sedang melaksanakan kegiatan sesuai rencana dan konteks lokal masing-masing. Sebagai kelompok belajar anak muda yang ingin mengembangkan diri serta komunitas melalui pendekatan seni dan multimedia, Kolektif Videoge sedang bergerak melalui serangkaian lokakarya video micro-documentary. Lokakarya yang digelar selama tiga bulan ini merupakan bagian dari tahap awal untuk membangun tim produksi serial dokumenter pendek. Kelas belajar ini bertujuan untuk merekam dinamika pengetahuan warga dan kotanya melalui medium video dokumenter pendek dari mata peserta kelas yang terdiri dari anak sekolah menengah keatas, sarjana muda, dan pekerja muda Labuan Bajo.
SimpaSio Institute mempelajari obat tradisional melalui wawancara. Sumber: Dokumentasi SimpaSio Institute
Sementara itu, SimpaSio Institute yang merupakan lembaga pengarsipan pengetahuan lokal Melayu-Larantuka di wilayah Flores Timur tengah merintis upaya pendokumentasian obat-obat tradisional dan modernisasi pengobatan tradisional Nagi, Larantuka. Bu Susilawati, duduk di tengah, tertangkap kamera saat sedang memperkenalkan tanaman-tanaman berkhasiat dalam sesi wawancara dengan SimpaSio Institute.
Lakoat.Kujawas, selaku komunitas kewirausahaan sosial yang menggiati pengarsipan identitas dan seni budaya masyarakat Mollo, membuka Kampung Katong melalui serangkaian ruang belajar di dalam Kelas Membaca Tanah yang berfokus pada preservasi pengetahuan adat dan revitalisasi kampung.
Pu’ Luke atau jamur kuping tikus (warna cokelat kehitaman) yang dipanen warga Desa Taiftob. Sumber: Dokumentasi Lakoat.Kujawas
Dalam proses tersebut, pangan menjadi subjek yang penting bagi Lakoat Kujawas. Upaya Lakoat.Kujawas untuk melakukan pengarsipan pengetahuan lokal terkait jamur turut mengembalikan antusiasme warga Desa Taiftob untuk kembali mengkonsumsi jamur-jamur hutan. Pengetahuan kolektif yang hampir punah kembali dihidupkan lewat gerakan komunitas.
Olahan kolase dari foto dokumentasi RMI dan Lakoat.Kujawas (Muhammad Rizki/Linking and Learning Indonesia)
Ke depannya, sepak terjang Kampung Katong akan diperkaya dengan kegiatan-kegiatan lainnya. Simak berita terbaru dan kegiatan dari tiap komunitas di akun Instagram RMI (@rmi.id), Lakoat.Kujawas (@lakoat.kujawas), SimpaSio Institute(@simpasioinstitute), Kolektif Videoge (@maigezine), dan Kampung Katong/Being and Becoming Indigenous (@bnbindigenous).
Ditulis oleh Nabila Auliani Ruray, Tim Komunikasi Linking and Learning Indonesia