Ditengah pandemic COVID19 seperti saat ini, berbagai himbauan terkait pembatasan fisik sangatlah perlu untuk disampaikan hingga ke kelompok masyarakat yang sulit dijangkau. Salah satu medium yang sering digunakan adalah melalui lagu. Lagu merupakan sebuah medium penyampai pesan yang efektif dan apabila terintegrasi dengan konteks budaya lokal, penyampaian informasi akan lebih sesuai dengan konteks dari target pendengarnya. Berbagai lagu tentang kesadaran kesehatan di lingkungan sudah sering ditemui di Indonesia, mulai dari lagu tentang cuci tangan, lagu tentang imunisasi, hingga lagu tentang bahaya narkoba.
Indonesia adalah salah satu negara dengan keragaman bahasa terbesar di dunia dengan lebih dari 700 bahasa dimana sebagian besar dari bahasa tersebut terancam punah. Menyampaikan pesan melalui lagu-lagu berbahasa Indonesia tentunya menjadi kurang efektif. Hal ini terjadi karena kadang lagu-lagu tersebut tidak memperhatikan konteks tiap-tiap daerah khususnya di pedalaman. Lagu-lagu tersebut haruslah bisa disampaikan menggunakan bahasa daerah masing-masing dan tetap memperhatikan konteks budaya yang ada. Menggunakan pendekatan dari masyarakat agar dapat sesuai dengan target pendengar dibandingkan dengan pendekatan dari pemerintah ke bawah.
Strategi dari bawah atau dari masyarakat ini juga dapat berdampak pada penemuan berbagai bentuk adaptasi oleh konteks kontemporer terhadap budaya tradisional. Apabila pemerintah dapat melihat dan mendukung proses ini, tentunya dapat memfasilitasi berkembangnya tradisi budaya lokal serta membantu agar konteks budaya lokal dapat lebih inovatif dan tanggap terhadap isu-isu terbaru.
Keberlanjutan Budaya
Melakukan pemberdayaan dan membantu keberlanjutan budaya lokal di Indonesia dengan berbagai keragaman budayanya sangatlah penting. Hal ini dapat meningkatkan kepercayaan diri masyarakat minoritas dalam mengadopsi budaya lokal. Selain itu, peluang seperti peningkatan praktik pariwisata yang ramah lingkungan dan budaya juga bisa dikembangkan. Dan tentunya budaya-budaya lokal ini dapat diintegrasikan dengan program pendidikan sehingga dapat meningkatkan regenerasi budaya lokal antar generasi.
Sumba Integrated Development (SIDe) yang merupakan salah satu organisasi yang tergabung dalam jaringan Indonesia Inklusi, melalui proyek VOICE Empowerment, menginisiasi proyek untuk memberdayakan dan mendukung komunitas marapu di tiga lokasi di Sumba Timur. Proyek ini bertujuan untuk merevitalisasi, mendokumentasikan, mengarsipkan, menyebarkan dan merayakan warisan musik tradisional dari komunitas tersebut. Komunitas marapu Sumba Timur mencakup wilayah geografis yang sangat luas. SIDe kemudian membagi wilayah Sumba Timur menjadi tiga “hub” budaya di wilayah utara, selatan dan pedalaman (Mbatakapidu, Kahungeti, dan Hangarorudistran) yang berfungsi sebagai pusat yang cocok dan sesuai bagi masyarakat sekitar untuk dapat berpartisipasi.
SIDe berkolaborasi dengan para pemimpin musik tradisional lokal dan juga komunitas pemuda untuk menghasilkan loka karya, pertunjukan, buku lagu, CD, dokumentasi video / audio, untuk membangun dan mendistribusikan instrumen tradisional serta untuk memfasilitasi transmisi antar generasi dari aliran musik marapu dan juga lagu yang terancam punah. Keterwakilan perempuan dalam musik tradisional di Sumba juga menjadi prioritas agar dapat berpartisipasi dan merasakan kebermanfaatan proyek ini. Perempuan marapu muda, khususnya, akan berpartisipasi dalam memfasilitasi dukungan dan bimbingan yang diberikan oleh perempuan marapu yang lebih tua. Hal ini semua dilakukan demi mewujudkan kesetaraan gender dan tentunya masyarakat yang lebih inklusif.
Representasi perempuan dalam proyek pemberdayaan musik tradisional ini sangatlah penting dikarenakan latar belakang musik tradisional yang telah lama di dominasi oleh laki-laki. Bersama Ata Ratu, seorang pencipta lagu dan penyanyi bertalenta yang telah menjadi tokoh wanita panutan di Sumba Timur, SIDe berusaha mewujudkan kesetaraan gender tersebut. Ata Ratu juga menjadi fasilitator bagi komunitas di Sumba Timur untuk menjalankan proyek VOICE bersama SIDe.
Senada dengan tujuan dari jaringan Indonesia Inklusi, SIDe berpegang pada prinsip etis ‘suara pertama’ untuk memastikan pembawa budaya itu sendiri yang diberdayakan dan juga memandu proses sesuai dengan keinginan masyarakat. Karya lagu-lagu marapu tersebut disampaikan menggunakan transkripsi bahasa lokal berserta dengan terjemahan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Hal ini diyakini dapat memperkuat suara, cerita, lagu dan budaya yang kaya dari komunitas Sumbanese marapu Timur dan memastikan musik mereka dapat disebarluaskan secara luas ke berbagai penonton dan pendengar baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Nyanyian
Pada situasi pandemi COVID1 9 ini, menyampaikan himbauan tentang pembatasan fisik kepada masyarakat di daerah menjadi sebuah tantangan tersendiri. Namun ini menjadi sebuah kesempatan bagi Jekshon, seorang penyair muda dari Marapu untuk dapat menyampaikan pesan tersebut menggunakan lagu tradisional di Sumba Timur berbahasa Kambera. Jekshon tidak hanya seorang pengrajin alat musik serta pencipta lagi dan penyanyi, namun ia juga seorang wunang atau juru peribadatan dari Kamanggih, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Di situasi pandemi COVID19 ini, Jekshon menciptakan karya berjudul “Rimanya na widi nda” yang merupakan lagu untuk mengajak masyarakat, khusunya di Sumba Timur, untuk dapat menghadapi COVID19 ini bersama-sama.
E ngiara ningu angu nama wandata lamambabu angu dedi dangunggu a ai
A ai ambu eti nu katundu njarangu angu ta ana mangganya na nduma luri kinda angu kana rehi napa hangganda a ai
Ai ronguwa angu dedi dangunggu a ai
Tapa manandanya na taluara uma kinda angu
Empat bait diatas menceritakan bagaimana masyarakat sebaiknya menghindari keramaian dalam situasi pandemic COVID19 ini. Lagu ini juga mengajarkan bagaimana batasan sosial tidak harus membatasi produktifitas masyarakat. Berbagai hal seperti menjaga dan melestarikan lingkungan terdekat tetap bersih merupakan hal-hal yang dapat dilakukan.
Selain itu, Ata Ratu juga menciptakan sebuah lagu tentang aspek lain yang juga penting untuk dikaji, yaitu situasi bagaimana para perantau tidak bisa kembali ke kampung halaman karena adanya pembatasan perjalanan. Ata Ratu dalam lagunya yang berjudul “Mbawa Rimangu na annanduma luri mu” menyampaikan pesan kepada masyarakat Sumba yang merantau mencari pekerjaan maupun sekolah di Bali, Jakarta, Yogyakarta, ataupun tempat lain. Selain itu, lagu ini juga ditujukan bagi masyarakat Sumba yang merantau dan sedang mengalami berbagai kesulitan ekonomi dan tekanan stress karena situasi pandemi COVID19 ini
Aiha dama ni dunjaka angu la kota bali a ai.e angu la jakarta angu ni
Ai hali nggunya nu mi ana mbawa rimangu nu ha ba ninggai ha la tana tau ma aka nu
Ai ninda la hidu eti biaka nu bata pamalirungu nu ha rimanya na nduma luri amu ka
Ai ambu mbawa luangga mai dupa nu ha jiaka ningu nu lambabu ndapngu
Empat bait diatas menjelaskan bagaimana meskipun jauh dari rumah asal di Sumba, para perantau ini tetap harus menjaga diri dan tentunya menjaga hati agar tetap sehat fisik dan pikiran
Dalam budaya komunitas marapu di Sumba Timur, penciptaan lagu sangat erat kaitannya dengan Lawiti.
“Lawiti merupakan bentuk puisi tradisional yang menggunakan pantun untuk menjadi dasar penciptaan lagu di komunitas marapu”
Lawiti sering digunakan pada ritual wicara dan doa yang sudah menjadi tradisi dari generasi ke generasi di komunitas marapu, Sumba Timur. Komunitas marapu percaya bahwa permasalahan kehidupan akan lebih mudah terselesaikan apabila dapat disampaikan melalui Lawiti. Hal ini didasari oleh kuatnya budaya wicara di Sumba Timur. Oleh karena itu, karya seperti lagu dan puisi menjadi cara yang sesuai dalam menyebarkan informasi. Lagu “Rimanya na widi nda” milik Jekson salah satu contohnya. Permasalahan terkini yaitu COVID19 dapat disampaikan kepada masyarakat lokal melalui lantunan lagu dengan bahasa daerah. Lagu milik Jekshon ini berusaha membagikan kesadaran tentang bagaimana melindungi diri dan masyarakat dari terpaan virus COVID19 khususnya di komunitas masyarakat marapu, Sumba Timur. Bersama dengan Sumba Integrated Development (SID), Jekshon mengemas lagu ini dengan berbagai pemandangan situasi di Sumba Timur.
Dampak saat ini
Semenjak lagu ini di rilis oleh Jekshon melalui kanal YouTube yang dibantu oleh SIDe, video lagu “Rimanya na widi nda” telah disaksikan lebih dari 700 kali pada versi bahasa Inggris dan bahasa Indonesianya. Sedangkan lagu milik Ata Ratu telah disaksikan oleh lebih dari 400 kali dalam waktu sehari setelah diunggah ke kanal YouTube miliknya. Selain melalui kanal YouTube, distribusi lagu ini terjadi secara organik dimana lagu ini diunduh dari kanal YouTube kemudian diubah menjadi format musik dan telah diperdengarkan di beberapa pasar tradisional. SIDe juga membantu penyebaran lagu ini menggunakan micro SD dan flash drive. Melalui lagu ini, Jekshon diundang oleh Bupati Sumba untuk menyanyikan lagu ini di Puskesmas dan memperluas penyebaran lagu ini.
Lagu “Rimanya na widi nda” dan “Mbawa Rimangu na annanduma luri mu” menjadi sebuah jembatan bagi komunitas Marapu untuk dapat berkomunikasi secara langsung serta menerima informasi terbaru terkait kebijakan kesehatan di situasi saat ini melalui alur yang sesuai secara budaya dan konteks tradisi. Lagu-lagu ini juga menjadi bukti bahwa budaya dan tradisi dapat menjadi medium yang efektif dalam menyampaikan berbagai isu nasional maupun global kepada masyarakat adat dan tradisional.
Article ini ditulis bersama oleh:
- Joseph Lamont dari Sumba Integrated Development
Joseph adalah seorang produser, komposer, dan pembuat film dokumenter dari Australia. Joseph saat ini membantu pelaksanaan proyek yang di dukung oleh Ciptamedia/ Ford Foundation dan Voice dengan fokus pada pendampingan, dokumentasi, dan keberlanjutan musisi tradisional serta musik tradisional Marapu di Sumba Timur
- Fendi Widianto dari Engage Media
Fendi adalah seorang peneliti komunikasi yang fokus pada pemberdayaan dan pembangunan masyarakat. Khususnya pada kelompok masyarakat marjinal dan terpinggirkan.
Melalui cerita dan ilmu dari Jekshon dan Kahi Ata Ratu