Artikel ini ditulis oleh Yovantra Arief dan Rangga Naviul Wafi dari Remotivi, sebuah lembaga kajian media di Indonesia. Artikel ini telah di edit dan di publikasikan ulang di indonesiainklusi.id melalui persetujuan bersama.
Mendikbud Nadiem Makarim kaget mengetahui hasil evaluasi belajar jarak jauh. Ia kaget karena banyak warga yang terhambat dalam mengakses internet atau siaran televisi. Padahal, berbagai program Kemendikbud untuk merespon pandemi Covid-19 sangat bergantung pada dua medium ini.
Mendengar hal ini, kami ikut kaget. Tapi dengan alasan yang berbeda.
Nadiem rupanya gagal dalam memahami skala ketimpangan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia. Hal ini, meski mengecewakan, masih bisa dimengerti. Soalnya pengalaman Mas Menteri ini kan utamanya adalah sebagai pemimpin startup digital yang berfokus pada penduduk kelas menengah urban yang memiliki kemudahan akses pada teknologi, bukan pada pengembangan warga kelas bawah rural yang relatif tertinggal.
Tapi, pemerataan infrastruktur hanya salah satu aspek ketika kita bicara soal kesenjangan digital (digital divide). Kajian-kajian mengenai teknologi informasi dan komunikasi biasanya mengelompokkan kesenjangan digital dalam tiga level: kesenjangan akses, kesenjangan keterampilan, dan kesenjangan hasil (lihat misalnya Scheerder, van Deursen & van Dick, 2017). Dalam hal ini, kesenjangan infrastruktur bahkan hanya sebagian dari level pertama kesenjangan digital, yakni kesenjangan akses.
Kegagalan memahami kompleksitas kesenjangan digital, terutama di kalangan pembuat dan pelaksana keputusan publik, bisa menjadi malapetaka di kemudian hari.
Bukan Sekadar Infrastruktur
LEVEL PERTAMA: KESENJANGAN AKSES
Kita sudah tahu garis besar ceritanya: semakin ke Timur Indonesia, kesenjangan infrastruktur semakin parah. Hal ini juga terjadi dalam infrastruktur internet. Tapi, adanya menara pemancar dan kabel fiber optik bukan satu-satunya prasyarat akses internet: orang harus pertama-tama punya akses listrik. Kondisinya sekarang, ada 433 desa yang tersebar di wilayah Indonesia Timur pun masih belum bisa menikmati aliran listrik.
Ketika sudah ada infrastruktur pun, tarif internet di Indonesia adalah yang paling mahal di Asia Tenggara setelah Kamboja, yakni Rp. 14.895 hingga Rp. 43.500 per Mbps. Bandingkan dengan Singapura yang memiliki rata-rata tarif Rp. 325 hingga Rp .628 per Mbps, atau Malaysia yang berkisar pada harga Rp. 677 hingga Rp. 8.959 per Mbps.
Ini adalah bagian dari kesenjangan digital tingkat pertama: kesenjangan akses. Dalam pemahaman sempitnya (van Dijk, 2017), kesenjangan ini didefinisikan sebagai akses fisik: memiliki perangkat keras dan lunak agar bisa terhubung ke internet.
Bukan cuma soal infrastruktur, akses ini juga berhubungan dengan kepemilikan alat. Meski pada 2018 penetrasi internet sudah mencakup 64,4% penduduk Indonesia (APJII, 2018), penggunaannya terfokus pada ponsel. Sementara itu, menurut Badan Pusat Statistik, pada 2018, hanya 20,05% rumah tangga Indonesia yang memiliki komputer, dan itu pun terpusat di wilayah urban.
Hal ini berpengaruh pada pemanfaatan teknologi internet, terkhususnya dalam kegiatan belajar mengajar. Telepon seluler, meski bermanfaat untuk pencarian informasi dan produktivitas dasar, memiliki fungsi yang jauh lebih terbatas. Dalam penggunaannya pun, warga Indonesia masih terfokus pada fungsi komunikasi, hiburan, dan transaksi online.
Sementara itu, fungsi komputer jauh lebih ideal dalam menunjang kegiatan belajar mengajar atau aspek produktif yang lebih kompleks. Akses yang timpang terhadap komputer atau laptop ini tentu juga berpengaruh pada kesenjangan aktivitas serta pengembangan digital yang bisa dilakukan oleh warga.
LEVEL KEDUA: KESENJANGAN KETERAMPILAN
Pada warga yang memiliki akses internet yang lebih luas dan terbuka, tantangan selanjutnya adalah keterampilan. Van Dijk (2012) membagi keterampilan digital dalam dua area, yakni kemampuan terkait medium, serta kemampuan terkait konten.
Keterampilan medium adalah kemampuan untuk mengoperasikan perangkat. Keterampilan konten terdiri dari kemampuan mengolah informasi (mencari, memilih, dan menilai informasi), berkomunikasi (membuat identitas daring, mengirim surel, dan beropini dengan baik), kemampuan strategis (menggunakan TIK untuk mencapai tujuan profesional dan personal), serta menciptakan konten (berkontribusi di internet dengan rencana atau desain tertentu).
Di Indonesia, kesenjangan keterampilan ini masih sangat lebar.
Survei Kemenkominfo pada 2018 menunjukkan bahwa pengetahuan dasar mengenai internet di Indonesia masih sangat rendah. Dari 9.320 respondennya, terdapat 31,2% yang tidak menggunakan internet karena tidak tahu bagaimana menggunakannya.
Di luar pengetahuan umum tentang internet, keterampilan dasar pengoperasian medium dan konten pun rendah. Pada setiap kategori keterampilan dasar, tak sampai 40% responden menguasainya.
Sumber: Kemenkominfo, 2018
Penerapan belajar mengajar secara digital tentu membutuhkan keterampilan yang lebih kompleks lagi. Selain memiliki penguasaan dasar atas teknologi, baik guru, orang tua, maupun murid harus memiliki penguasaan atas aplikasi tertentu yang dipakai dalam proses tersebut. Selain itu, guru pun harus memiliki metode ajar yang efektif secara digital. Namun, hal ini masih jauh panggang dari api.
Survei Save the Children (2020), menemukan bahwa 6 dari 10 guru tidak merasa terampil menggunakan aplikasi daring. Sebanyak 8 dari 10 guru memberi tugas melalui pesan SMS atau WhatsApp. Hanya 36% guru yang memakai aplikasi daring (Zoom, Skype, Google Classroom) untuk belajar, dan hanya 25% dari guru yang memiliki akses pada situs edukasi atau platform belajar daring. Survei tersebut menemukan bahwa hanya 48% anak yang memakai komputer sebagai media belajar jarak jauh. Sebagian besar memakai televisi (75%) dan aplikasi WhatsApp (60%).
LEVEL KETIGA: KESENJANGAN HASIL
Bagi mereka yang sudah memiliki akses serta keterampilan digital yang baik, masih ada kesenjangan level tiga: kesenjangan hasil (outcome). Secara sederhana, kesenjangan ini terjadi ketika status sosial-ekonomi seseorang mempengaruhi hasil dari menggunakan teknologi digital.
Riset van Deursen & Helsper (2015) di Belanda, yang memiliki akses dan keterampilan digital yang cukup merata, menunjukkan hal ini. Orang yang berpendidikan tinggi memiliki peluang lebih besar untuk diuntungkan dari perdagangan daring ketimbang kelompok masyarakat dengan pendidikan yang lebih rendah. Pun dalam aspek lain, dari pendidikan, relasi sosial, hingga politik: penggunaan internet cenderung lebih menguntungkan orang berpenghasilan tinggi, kepala keluarga, orang tanpa disabilitas, serta kelompok usia muda.
Di Indonesia, kesenjangan di tingkat akses dan keterampilan membuat jurang hasil semakin menganga. Pelatihan daring yang dicetuskan dalam program Prakerja misalnya, bisa jadi gambaran dari kesenjangan ini.
Apabila kita lihat kategori pelatihan dari mitra platform daring Prakerja, kita akan menemukan bahwa jenis latihannya didominasi oleh profesi kelas menengah perkotaan. Mulai dari pelatihan marketing, teknologi informasi, investasi, atau desain dan seni. Sangat sedikit pelatihan yang bisa berguna untuk warga kelas bawah dari wilayah rural atau pesisir, seperti pengelolaan UMKM, pertanian, atau perikanan.
Kesenjangan yang Berlipat Ganda
Salah satu jebakan dalam memahami kesenjangan digital adalah melihat tahap-tahapnya seperti level dalam video game: bahwa kita harus menyelesaikan level pertama untuk bisa mulai mengerjakan level kedua.
Barangkali itulah alasan kenapa Pemerintah selalu berfokus pada aspek infrastruktur dalam menangani kesenjangan digital, sementara aspek lain terbengkalai. Literasi digital tak kunjung diadopsi ke dalam kurikulum sekolah, meski pemerintah “ngoyo” untuk menjadikan teknologi ini sebagai salah satu basis pembangunan.
Hal ini tampak, misalnya, dalam riset Novia Kurnia dan Santi Indra Astuti (2017) atas gerakan literasi digital di sembilan kota. Riset ini menunjukkan bahwa literasi digital lebih banyak digerakkan oleh akademisi universitas (56,14%) ketimbang sekolah (3,68%).
Lambatnya penerapan literasi digital ini punya konsekuensi yang jauh. Di bidang kewarganegaraan, kita sudah cukup banyak mendengar keluhan nanar soal hoaks dan misinformasi. Dalam hal ekonomi, cepatnya penetrasi internet lebih banyak menguntungkan warga kelas menengah perkotaan yang punya cukup modal sosial, ekonomi, dan pengetahuan untuk memanfaatkannya.
Ketika bicara soal internet, kita umumnya akan memakai jargon “pengganda” (multiplier): bahwa internet bisa melipatgandakan pertumbuhan ekonomi dan sosial. Namun, ada hal yang luput dibincangkan: ia juga bisa menggandakan kesenjangan.
Daftar Pustaka
- Ariansyah, K., Anandhita, V. H., & Sari, D., 2019, “Investigating the Next Level Digital Divide in Indonesia”. Dalam 4th Technology Innovation Management and Engineering Science International Conference (TIMES-iCON).
- Kurnia, N., dan Indra Astuti, S., 2017, “Peta Gerakan Literasi Digital di Indonesia: Studi tentang Pelaku, Ragam Kegiatan, Kelompok Sasaran dan Mitra”. Dalam INFORMASI, Kajian Ilmu Komunikasi, vol. 47, no. 2, Desember 2017
- Scheerder, A., van Deursen, A., & van Dijk, J. 2017. “Determinants of Internet skills, uses and outcomes. A systematic review of the second- and third-level digital divide”. Dalam Telematics and Informatics, 34(8), 1607–1624
- Van Dijk, Jan, 2012, “The evolution of the digital divide: The digital divide turns into inequality of skills and usage”. Dalam J. Bus, M. Crompton, M. Hildebrandt, G. Metakides (Eds.). Digital Enlightenment Yearbook 2012, hal. 57-75 (Amsterdam: IOS Press)
- Van Dijk, Jan, 2017, “Digital Divide: Impact of Access”. Dalam Patrick Rössler (Editor-in-Chief), Cynthia A. Hoffner, and Liesbet van Zoonen (Associate Editors), The International Encyclopedia of Media Effects, . John Wiley & Sons,
- Van Deursen, A. J. A. M., & Helsper, E. J. (2015). “The Third-Level Digital Divide: Who Benefits Most from Being Online?” Dalam Communication and Information Technologies Annual, hal. 29–52.
DONASI
Dukung kami. Untuk publik yang berdaya dan media yang terbuka.