Setiap tanggal 8 Maret, masyarakat di seluruh dunia merayakan International Women’s Day (IWD). Di momen tersebut, beragam ekspresi untuk perempuan diutarakan. Tak terkecuali tahun ini, yang mengangkat tema “Choose to challenge”.
Tema itu dinilai sebagai bentuk kampanye bahwa perempuan berani mengambil pilihan dan tantangan. Hal itu sebagai titik perlawanan atas ketidaksetaraan, dan stereotype yang masih melekat. Dan diharapkan segala kalangan, baik laki-laki maupun perempuan, bisa memberi ruang aman dan inklusi bagi perempuan.
Pesan dalam kampanye ini adalah melawan ketidaksetaraan, bias, dan stereotip terhadap perempuan, juga sikap sedia membantu terwujudnya dunia yang inklusif. Kampanye ini diharapkan dapat menjadi ajakan positif bagi semua pihak, tidak hanya perempuan tapi juga laki-laki untuk turut serta menciptakan dunia yang ramah terhadap perempuan.
Dewi Anggraeni, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), mengamati di masa sebelum pandemi covid-19, pemenuhan hak-hak terhadap perempuan semakin baik. Semakin banyak yang memahami tentang kesetaraan gender dan pemenuhan hak-hak perempuan.
Namun ketika pandemi tiba, krisis memberi dampak pada perempuan. Hal itu disebabkan perempuan dibebani untuk merawat keluarga, yang mana hal itu menyisakan budaya stereotipe gender zaman dulu, sehingga pengorbanan lebih banyak ditujukan ke perempuan.
“Memang ada positif dan negatifnya dari keputusan para perempuan itu. Tetapi saya berharap di masa pandemi dan peringatan IWD, peran dan pengobanan perempuan harus diakui dan tidak diremehkan,” katanya ketika dihubungi Senin, 8 Maret 2021.
Lebih lanjut, persoalan regulasi (RUU Penghapusan Kekerasan Seksual) yang belum menemui kejelasan menjadikan kerentanan perempuan meningkat, termasuk dalam hal kekerasan. Hal itu ditambah akses selama pandemi yang terbatas.
“(Bahkan ketika terjadi kekerasan saja) pelakunya tidak mendapat hukuman berat atau efek jera, karena tidak kuatnya pemahaman dan berpihaknya para regulator tentang pentingnya RUU P-KS ini bagi semua pihak terutama perempuan dan anak,” sambungnya.
Sementara itu, Fisqiyyatur Rahma, Project Officer Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jateng mengatakan masalah utama yang masih dihadapi kalangan perempuan adalah ketidakadilan gender dan kekerasan terhadap perempuan. Itu bisa dilihat dari hasil laporan tahunan kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah, yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kasus.
“Di masa pandemi ini kekerasan terjadi dan dilakukan oleh orang-orang terdekat korban seperti suami, pacar, ayah tiri, mertua, kakak, dosen, guru, teman dll,” kata perempuan yang kerap disapa Fisqiya itu.
Menurutnya, momen IWD adalah waktu yang tepat untuk perempuan saling menguatkan dan berdaya dalam mencapai hak-haknya. Apalagi dalam pengamatan Fisqiyah ketika melakukan pendampingan di lapas perempuan, warga binaan belum memperoleh hak kesehatan fisik dan mental.
“Sehingga rentan mengalami kekerasan seksual dan sulit untuk bisa mandiri dan berdaya. Dan setelah bebas karena pembinaan ekonomi di lapas hanya terbatas pada hardskill, perempuan masih kekurangan binaan mental wirausaha,” katanya.
Ia berharap momen IWD bisa membuka mata banyak pihak untuk memahami diskriminasi, stigma dan kekerasan terhadap perempuan. Apalagi, menurutnya, upaya tersebut perlu dilakukan secara komprehensif agar perempuan bisa menjalani kehidupan secara mandiri dan berdaya. Juga bisa lebih terpenuhi hak-haknya sehingga memiliki akses yang lebih luas untuk mengembangkan diri.
Senada dengan itu, Agus Pratiwi, Manajer Program Article 33, mengajak berefleksi untuk fokus pada isu dasar perempuan seperti perkawinan anak dan kekerasan seksual. Menurutnya, untuk isu yang belum mempunyai payung hukum, momentum Hari Perempuan Internasional menjadi pengingat agar dibentuk upaya alternatif.
“Salah satu alternatifnya adalah pembuatan payung hukum secara kolektif di tiap-tiap desa. Kita dapat memanfaatkan kewenangan desa saat ini. Dan pada upaya pemenuhan hak-hak perempuan, kita dapat berjuang di ruang-ruang yang memiliki potensi untuk hal tersebut, seperti di sekolah, misalnya,” katanya.
Sedang, pada isu yang memiliki kerangka regulasi, agar tidak menjadikan kita terlena untuk tidak mengawalnya. Sebab, dampak yang permanen terhadap pemenuhan hak-hak perempuan tidak pernah cukup sampai pada adanya regulasi saja. Dengan itu, diharapkan upaya pemenuhan hak dan keadilan secara inklusi bisa tercipta bagi perempuan, dan lebih jauh, pada kelompok marginal.
Ditulis oleh Ahmad Farid, Tim Komunikasi Linking and Learning Indonesia