Oleh: Alifa Aulia Shalsabilla
Istilah pendidikan inklusif atau pendidikan inklusi didasarkan pada gerakan Education for All yang dikumandangkan oleh UNESCO. Education for All, atau pendidikan yang ramah untuk semua, mengedepankan pendekatan pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang tanpa terkecuali. Setiap orang, khususnya anak, memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh manfaat yang maksimal dari pendidikan. Hak dan kesempatan itu tidak dibedakan oleh keragaman karakteristik individu secara fisik, mental, sosial, emosional, dan bahkan status sosial ekonomi.
Perlu ditekankan bahwa inklusi bukan hanya berlaku bagi mereka yang berkelainan atau luar biasa, melainkan untuk semua anak. Dengan demikian, pendidikan inklusi merupakan sistem pendidikan yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua anak untuk dapat mendapatkan manfaat dari pendidikan dan agar bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya tanpa melihat keadaan fisik, mental maupun perbedaan lainnya. Pendidikan inklusi menghargai dan mengakomodasi keragaman peserta didik, sehingga menghapuskan diskriminasi.
Pada titik ini, tampak bahwa konsep pendidikan inklusif sejalan dengan filosofi pendidikan nasional Indonesia yang tidak membatasi akses peserta didik hanya karena perbedaan kondisi awal dan latar belakangnya. Di Indonesia sendiri pendidikan inklusi sudah mulai digaungkan dan bahkan sudah memiliki landasan yuridisnya.
Pertama, mari melihat landasan hukum untuk pendidikan bagi semua orang. Undang-Undang Dasar (UUD) Amandemen 1945, Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Ini juga diperkuat dengan ayat (2) dalam pasal yang sama, bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Di sisi lain, Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada Pasal 48, menyatakan bahwa “Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak.” Kemudian pada Pasal 48 dari UU tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa “Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.” Sampai sini, dalam konteks pendidikan nasional, penyelenggaraan pendidikan inklusif bisa dipastikan memiliki dasar hukum yang jelas.
Kedua, mari melihat lebih jauh mengenai landasan pendidikan yang inklusif. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.” Ayat (2) menekankan bahwa “Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.” Lebih jauh, dalam hal aksesibilitas pendidikan, dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) bahwa “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.
Adapun pendidikan yang tidak diskriminatif harusnya diwujudkan sesuai dengan Pasal 32 ayat (1) yang menjamin adanya Pendidikan Khusus untuk peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Lebih jelasnya, menurut Pasal 15 alinea terakhir, “Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.” Pendidikan inklusif ini kemudian dimandatkan untuk mempunyai sarana dan prasarana yang memadai, sebagaimana Pasal 45 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”.
Sementara itu, untuk tingkat perguruan tinggi, saat ini telah ditetapkan peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2020 tentang akomodasi yang layak untuk peserta didik penyandang disabilitas. Peraturan Pemerintah ini diterbitkan untuk untuk melaksanakan ketentuan Pasal 42 ayat (8) dan Pasal 43 ayat (2) serta ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Didalam peraturan ini dikatakan akomodasi yang layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk penyandang disabilitas berdasarkan kesetaraan. Salah satu akomodasi yang layak yang diatur di dalam peraturan pemerintah nomor 13 Tahun 2020 adalah mengenai fasilitas, pendukung bagi peserta didik penyandang disabilitas yang disesuaikan dengan ragam disabilitas yang dimiliki peserta didik mulai dari jalur penerimaan masuk, ketika menjalani proses pembelajaran, sampai ketika peserta didik menyelesaikan proses pendidikannya.
Dengan adanya semua landasan yuridis ini, apakah sekarang pendidikan inklusi telah terlaksana? Apakah perguruan tinggi saat ini sudah inklusif bagi peserta didik atau atau mahasiswa penyandang disabilitas? Apakah akomodasi yang layak di perguruan tinggi telah benar-benar layak dan dapat mendukung peserta didik atau mahasiswa dalam menjalani pendidikannya di perguruan tinggi?
Dalam perkara pelaksanaan, mungkin bisa dikatakan bahwa ini sudah terlaksana karena meningkatnya jumlah perguruan tinggi yang menerima mahasiswa dengan disabilitas. Tetapi, inklusi bukanlah hanya sekedar mau menerima mahasiswa dengan disabilitas saja. Inklusi seharusnya mencakupi dukungan yang semestinya diberikan dalam menjalani proses pembelajaran di universitas dan sederajat.
Banyak orang yang menganggap pendidikan inklusi adalah sistem pendidikan yang adil dan memperjuangkan kesamaan bagi semua orang. Hal ini benar, tapi perlu diingat adil bukan berarti sama dan sama belum tentu adil.
‘Sama’ dalam konteks ini berangkat dari hak asasi manusia bahwa setiap manusia berhak untuk mendapatkan kesempatan untuk hidup layak dan mengembangkan dirinya, tak terkecuali juga bagi peserta didik dengan disabilitas. Sementara, ‘adil’ yang dimaksud dalam konteks ini adalah bahwa dukungan yang diberikan haruslah berangkat dari apa yang dibutuhkan oleh peserta didik atau mahasiswa disabilitas yang bersangkutan.
Apalagi, jika kita berbicara tentang akomodasi yang layak, maka ada banyak sekali hal yang harus diperhatikan. Pada tingkatan paling dasar, misalnya, institusi pendidikan seharusnya tidak hanya menaruh perhatian pada ragam disabilitas yang dimiliki peserta didik, namun juga tingkatan dari disabilitas yang dialami.
Perlu diingat bahwa fasilitas sudah dapat dikatakan inklusi jika memang sudah aksesibel menurut peserta didik dengan disabilitas yang menggunakannya, bukan berdasarkan pendapat pihak yang mengadakan fasilitas tersebut. Contohnya, peserta didik tunanetra memerlukan guiding block sebagai fasilitas untuk dapat memandunya ketika melakukan mobilitas. Meski guiding block itu sudah diadakan, tetapi apakah guiding block tersebut telah inklusi dan menjadi akomodasi yang layak? Belum tentu. Bagaimana dapat dikatakan inklusi dan menjadi akomodasi yang layak apabila guiding block tersebut, misalnya, tidak dirancang dengan baik? Beberapa guiding block memiliki ujung yang mengarah ke saluran air yang dapat menyebabkan peserta didik atau mahasiswa tunanetra akan terperosok apabila berjalan di guiding block tersebut. Selain itu, ada juga tanda ruangan dengan huruf braille yang tidak sesuai standar karena tidak teraba.
Ini hanya contoh kecil dari fasilitas dalam segi infrastruktur di lingkungan perguruan tinggi yang sampai saat ini masih belum mengakomodasi kebutuhan mahasiswa disabilitas, belum lagi dari jenis disabilitas lain seperti disabilitas tuli, disabilitas daksa dan yang lainnya yang masing-masing memiliki kebutuhan akomodasi yang berbeda.
Yah, mungkin kita bisa berpendapat bahwa setidaknya sudah ada upaya, daripada tidak sama sekali. Namun, jika bisa ada upaya-upaya yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan peserta didik dan mahasiswa, bukankah itu lebih baik?
Belum lagi jika berbicara mengenai akomodasi yang layak dan inklusif bagi peserta didik atau mahasiswa dengan disabilitas dalam pembelajaran. Ada banyak hal yang harus dilakukan penyesuaian, seperti media pembelajaran yang digunakan, waktu yang diberikan untuk satu pekerjaan, dll. Sedangkan, saat ini masih banyak mahasiswa dengan disabilitas belajar yang belum diwadahi kebutuhan kognitifnya.
Jadi, bagaimana? Apakah pendidikan di Indonesia, khususnya perguruan tinggi, telah menjadi pendidikan yang inklusif? Meski dapat dipahami bahwa untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif tidak mudah, peserta didik dengan disabilitas membutuhkan lingkungan yang mendukung proses belajar. Dengan lingkungan inklusif, peserta didik akan menjadi generasi penyandang disabilitas yang berkontribusi bagi pembangunan masyarakat yang ada di lingkungannya. Yang dibutuhkan hanyalah kesempatan dan dukungan agar bisa mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki.
Sekali lagi, akses terhadap pendidikan menjadi jalan yang penting. Pendidikan yang inklusif tidak hanya akan memberikan manfaat kepada peserta didik disabilitas secara pribadi saja, tapi juga akan berdampak baik bagi pembangunan masyarakat. Masyarakat akan bisa lebih menyadari perbedaan dan menghargai perbedaan itu.
Maka, diperlukan komitmen dari berbagai pihak untuk dapat menjalankan pendidikan inklusi, bukan hanya yang sekedar katanya inklusi.
Profil Penulis
Nama saya Alifa Aulia Shalsabilla, saya mahasiswa pendidikan khusus di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung yang sehari-harinya mempelajari mengenai pendidikan bagi anak-anak ABK (anak disabilitas) dan aktif di Cahaya Inklusi (CAI) Indonesia. Saya sangat tertarik dengan isu-isu tentang inklusifitas yang memberikan kesempatan yang sama pada semua orang tanpa memandang keadaan baik fisik, mental ataupun keadaan lainnya. Sebagai seorang yang mempelajari mengenai pendidikan khusus, saya sangat berharap inklusifitas dapat benar-benar terwujud di Indonesia khususnya pada aspek pendidikan dan lebih jauh lagi Indonesia dapat menjadi masyarakat yang inklusif.