Pada 12 April 2022 lalu, proses terwujudnya ruang aman yang terbebas dari kekerasan seksual di Indonesia mencapai kemenangan penting–yakni pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sebagai Undang-Undang. Meski begitu, kita masih mempunyai ‘pekerjaan rumah’. Salah satunya adalah upaya memastikan lingkungan kerja yang aman.
Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja berperan penting. Konvensi yang diadopsi pada tanggal 21 Juni 2019 oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan diikuti para stakeholder di sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia, tersebut memberikan angin segar bagi pekerja. Sebab, konvensi ini memberikan perlindungan bagi pekerja dari ancaman kekerasan dan pelecehan seksual lingkungan kerja.
Di lain sisi, adanya Konvensi ILO 190 tersebut juga kian memberi suntikan semangat bagi sejumlah organisasi yang memiliki perhatian besar dengan isu-isu pekerja. Beberapa organisasi yang tergabung dalam Konsorsium Advokasi Konvensi ILO 190, misalnya, semakin terpantik untuk mendorong pemerintah Indonesia agar meratifikasi Konvensi ILO 190. Tujuannya, agar para pekerja mendapat perlindungan secara nyata lewat regulasi yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ILO 190.
Adapun sejumlah organisasi yang tergabung dalam konsorsium itu yakni Perempuan Mahardhika, Serikat Pekerja Nasional (SPN), Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN), Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Serikat SINDIKASI), Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga/JALA PRT, Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI), dan Konde.co. Konsorsium ini juga turut didukung Voice Indonesia.
Vivi Widyawati dari Perempuan Mahardhika mengisahkan, berbagai organisasi yang tergabung dalam Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja telah sejak lama menaruh perhatian besar terhadap isu tersebut. Tahun 2016 hingga 2017, mereka ikut menyumbang gagasan serta masukan dalam pembentukan draft konvensi. Hal itu juga diwujudkan dengan mengisi kuisioner yang diberikan, serta melakukan dialog dengan sejumlah kementerian, seperti Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) serta Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Upaya tersebut untuk mendorong pemerintah mendukung Konvensi tersebut.
Pada 21 Juni 2019, saat draft Konvensi ILO 190 diadopsi dalam pertemuan Konferensi Perburuhan Internasional atau Internasional Labor Conference (ILC), organisasi di dalam konsorsium semakin terpacu untuk mendorong pemerintah melakukan ratifikasi. Terlebih, langkah ini dinilai sangat mendesak karena kasus kekerasan dan pelecehan seksual di kalangan pekerja sektor formal maupun nonformal semakin marak.
“Karena sudah jadi konvensi, maka kemudian pekerjaan kita adalah mendorong pemerintah Indonesia untuk meratifikasi konvensi tersebut. Karena di dalam pertemuan internasional di tahun 2019 Pemerintah Indonesia, APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) dan serikat buruh termasuk yang setuju dengan instrumen ini,” kata Vivi.
Lebih lanjut, dorongan ratifikasi ini adalah untuk memacu pemerintah menghasilkan Undang-Undang Nasional yang khusus menangani persoalan kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja. Meski begitu, diakui Vivi upaya ini tidaklah mudah. Pasalnya, hasil dari konvensi tersebut tidak sepenuhnya langsung diakomodir negara-negara, termasuk Indonesia. Sebab terdapat sejumlah kesepakatan yang belum mencapai titik temu.
“Jadi kalau konvensi kan ada dua. Satunya adalah konvensi itu sendiri, yang satu adalah rekomendasi. Yang baik itu adalah dua-duanya, menyetujui konvensi disertai rekomendasi. Tetapi dalam sidang ILO, ada negara yang setuju dua-duanya. Tetapi ada negara yang hanya setuju dengan konvensinya saja, mereka tidak mau rekomendasi,” ungkap Vivi.
Bersinergi dorong ratifikasi
Menurut Vivi, tantangan utama dalam gerakan ini yakni bagaimana terus mendorong pemerintah atau dalam hal ini Kemnaker untuk membawa hasil dari Konvensi ILO 190 ke lingkup DPR. Dari langkah tersebut, nantinya nilai-nilai dari Konvensi ILO 190 dapat diratifikasi atau diadopsi menjadi undang-undang. Vivi menambahkan, di lingkup dunia ketenagakerjaan terdapat istilah yang dikenal dengan tripartit. Istilah ini menekankan bahwa ketika di dalam ketenagakerjaan terdapat isu atau nilai yang ingin diusung, perlu melibatkan tiga aktor, yakni pemerintah, pengusaha, dan buruh atau serikat pekerja. Konvensi ILO 190, tambah Vivi, dalam upaya meratifikasinya juga akan melibatkan ketiga hal tersebut.
Di sisi lain, Vivi mengatakan selain upaya mendorong pemerintah melakukan ratifikasi, dirinya bersama-sama dengan seluruh organisasi di dalam konsorsium juga memacu organisasi non serikat buruh lainnya untuk mengadopsi Konvensi ILO 190. Langkah ini, terutama, dalam memperoleh dukungan dari organisasi seperti organisasi perempuan, serikat buruh informal, pekerja rumah tangga dan rumahan, hingga organisasi dari kelompok disabilitas.
“Agar dia (Konvensi ILO 190) bisa lebih banyak disuarakan,” tambah Vivi.
Dukungan itu penting, mengingat sampai saat ini pemerintah belum memiliki perhatian serius terhadap upaya ratifikasi Konvensi ILO 190. Selain itu, konsorsium juga terus mendorong adanya penguatan bagi organisasi-organisasi tersebut. Penguatan bagi organisasi buruh menjadi semakin dibutuhkan sebab isu ratifikasi Konvensi ILO 190 juga belum sepenuhnya diterapkan oleh sejumlah organisasi.
Di samping upaya itu, konsorsium juga mengajak kalangan akademisi untuk menerapkan Konvensi ILO 190. Pasalnya, selama ini sejumlah akademisi belum banyak yang menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari buruh. Sehingga, menerapkan Konvensi ILO 190 diyakini akan melindungi buruh dari berbagai hambatan yang kerap menjadi batu sandungan.
“Ini juga upaya kami untuk membawa, bahwa isu dunia kerja itu bukan hanya di sektor formal dan informal. Bahwa sebetulnya kita semua ada dalam dunia kerja, begitu. Jadi (kami) tidak henti-henti untuk meraih banyak dukungan,” tambah Vivi.
Lebih lanjut, ungkap Vivi, sampai saat ini konsorsium terus memacu organisasi lainnya untuk menerapkan Konvensi ILO 190 dari segi penguatan pengetahuan. Maksudnya, berbagai organisasi maupun kelompok dibekali pengetahuan bahwa entah apapun latar belakang dan sektor pekerjaan yang ditekuni, segala yang termasuk dalam lingkup pekerjaan perlu perlindungan, utamanya dari ancaman kekerasan dan pelecehan seksual. Perlindungan juga harus diterapkan ke kelompok-kelompok rentan seperti minoritas gender, kelompok miskin, minoritas, dan sebagainya.
“Jadi meningkatkan pengetahuan mereka tentang dunia kerja yang inklusif dan intersectional,” tambahnya.
Mempertemukan organisasi dari beragam latar belakang
Upaya advokasi yang digagas konsorsium, sejatinya tak hanya menyinggung langkah mendorong pemerintah dalam melakukan ratifikasi. Lebih dari itu, proses ini secara tidak langsung telah mempertemukan berbagai macam organisasi dengan latar belakang berbeda dan menghadirkan interseksionalitas dalam proses tersebut.
Interseksionalitas sendiri dapat dipahami sebagai titik temu antara ragam sistem penindasan dan dominasi–sehingga melihat sebuah permasalahan dengan multidimensional. Dalam konteks Konsorsium Advokasi Konvensi ILO 190, ini dilihat dari isu utama kesejahteraan pekerja yang dipertemukan dengan isu kelas, gender dan seksualitas, dan abilitas yang didalami ragam anggota konsorsium. Perjuangan yang interseksional dianggap penting karena tiap lapisan identitas mampu membawa kerentanan dalam kekerasan seksual.
Selain itu, Vivi mencontohkan, organisasi buruh yang menaungi pekerja di sektor garmen, misalnya, dapat belajar dari organisasi buruh yang menjadi tempat bernaung para pekerja rumah tangga. Selayaknya bagaimana terdapat banyak pelajaran yang terjalin antara pekerja formal dan informal dengan konteks berbeda, pengalaman ragam identitas seperti jurnalis perempuan, aktivis disabilitas, dan lainnya menjadi berharga.
Dari sini pula para organisasi di dalam konsorsium dapat melakukan proses “terhubung dan belajar” atau linking and learning. Para organisasi di dalam konsorsium aktif melakukan penguatan pengetahuan dengan menggelar workshop dan pelatihan. Sesi-sesi belajar yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pekerja terkait kekerasan seksual, misalnya, menjadi aktivitas yang sering diadakan. Upaya ini memastikan penerapan Konvensi ILO 190 dapat diresapi dengan baik di internal organisasi.
Vivi berharap, berbagai terobosan program ini ke depan akan membekali para anggota di dalam organisasi untuk dapat melakukan advokasi secara menyeluruh. Di samping itu, melalui penguatan ini pula diharapkan akan memberikan pengetahuan bagi individu-individu di dalam organisasi, di dalam menghadapi kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Sebab, tambah Vivi, kasus tersebut saat ini masih kerap menimpa para pekerja dan tidak mengenal gender.
Jalan yang panjang
Patut disadari bahwa mendorong pemerintah untuk melakukan ratifikasi, lebih-lebih memacunya menjadi Undang-Undang Nasional, memerlukan waktu yang panjang. Karena itu, saat ini Konsorsium Advokasi Konvensi ILO 190 memfokuskan diri untuk melakukan penguatan kepada organisasi-organisasi. Hal itu misalnya, dengan memacu para pekerja untuk membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan perusahaan.
Menurut Vivi, kedudukan PKB jauh lebih penting dan luas, serta mencakup aturan-aturan lebih luas dan spesifik yang tak diatur di dalam regulasi. Dengan upaya ini, diharapkan hak-hak serta kewajiban para pekerja dapat terlindungi dalam tingkatan perusahaan. Melalui hal itu, diyakini juga akan menjadikan lingkungan kerja lebih inklusif serta aman bagi para pekerja.
Ke depannya, salah satu tantangan yang dihadapi dalam memperjuangkan ratifikasi Konvensi ILO 190 adalah meraih dukungan yang lebih luas. Lingkungan kerja yang aman masih menjadi isu yang dianggap kurang genting, walau sebenarnya mempengaruhi siapa saja yang bekerja. Dukungan dari komunitas perempuan, disabilitas, buruh sektor formal dan informal, media, hingga akademisi dibutuhkan untuk mendorong terwujudnya ruang kerja aman. (*)
Ditulis oleh Ahmad Farid dan Nabila Auliani Ruray
Ilustrasi oleh Naldi Cante