Nama mereka adalah Maria Isabel dan Umar Usman. Isabel, perempuan dari Timor Leste, merupakan penyintas kekerasan seksual yang terjadi selama invasi Indonesia di Timor Leste (1975-1999). Sedangkan Umar lelaki asal Aceh, adalah seorang penyintas konflik Aceh. Mereka menjadi karakter utama dalam dua film animasi dokumenter 8:45 dan Konta-sai yang ditayangkan perdana pada Selasa, 4 Mei 2021 lalu.
Kedua film ini merupakan hasil kerjasama antara Asia Justice and Rights (AJAR), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan Aceh (KontraS Aceh), dan Asosiasaun Chega! Ba Ita (ACbit). Di bawah penyutradaraan Kartika Pratiwi, pengarahan seni Wulang Sunu, dan produksi oleh Galuh Wandita, Indria Fernida, dan Jose Luiz de Oliviera; suara dan kisah hidup Isabel dan Umar disajikan dengan syahdu.
Dalam Konta-Sai, kita diajak untuk mendengarkan suara Isabel yang berkisah mengenai pengalaman pahitnya semasa pasukan keamanan Indonesia menduduki wilayah Timor Leste. Alih-alih memberi perlindungan, anggota pasukan keamanan kala itu kerap melakukan kekerasan seksual pada perempuan setempat. Isabel adalah salah satunya. Ia merupakan salah satu perempuan yang pada suatu malam dijemput oleh aparat di rumahnya sendiri, sebelum kemudian diperkosa.
Terror yang diterima tidak berhenti sampai di situ. Isabel kemudian juga ditangkap untuk diinterogasi atas tuduhan membantu para ‘pemberontak’ dan beberapa tahun setelahnya harus merelakan suaminya untuk tiba-tiba ditangkap dan direnggut dari kehidupannya tanpa dasar apapun.
Sementara itu, 8:45 mengajak kita untuk mendengarkan suara Umar yang berkisah tentang pengalamannya semasa darurat militer di Aceh pada tahun 2003. Pada suatu malam, ia dijemput pihak Kepolisian yang menuduh Umar sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Kamu anggota GAM?” Itulah pertanyaan yang ia dengar secara berulang-ulang, sebelum akhirnya ia ditahan di dalam penjara dan menerima penyiksaan selama hampir tiga tahun kendati tidak adanya keterkaitan antara dirinya dan GAM.
Penggalan-penggalan kisah yang getir ini disuguhkan oleh Konta-sai dan 8:45 sebagai upaya truth-telling atau menyampaikan kebenaran dan pengalaman dari banyaknya penyintas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang selama ini dibungkam. Kisah Isabel menggambarkan salah satu aspek dari perang yang jarang dibicarakan, yakni kekerasan seksual terhadap perempuan sebagai ‘senjata perang’. Ini hanyalah salah satu aspek dari berbagai lapisan kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Leste kala itu, termasuk tewasnya lebih dari 100.000 warga yang dibunuh militer atau mati kelaparan dalam kamp pengasingan. Kisah Umar menggambarkan penangkapan tanpa proses hukum dan penyiksaan oleh aparat, di tengah konteks besar konflik Aceh yang juga melibatkan pelanggaran HAM seperti penghilangan paksa, kekerasan terhadap perempuan, hingga tewasnya puluhan ribu warga sipil.
Terlebih, truth-telling ini kemudian berbicara tentang minimnya akuntabilitas untuk pelanggaran HAM yang dialami Isabel, Umar dan jutaan Isabel/Umar lainnya di luar sana. Pembiaran akan pelanggaran yang terjadi, tanpa ganjaran kepada ataupun pertanggungjawaban oleh pelaku, merupakan wujud nyata impunitas yang beresiko melanggengkan dan mewajarkan kekerasan.
Dalam saat-saat terakhir Konta-sai yang berdurasi total 6 menit 24 detik dan 8:45 yang berdurasi total 8 menit 45 detik, Isabel dan Umar menutup kisah mereka dengan pengalaman memperjuangkan keadilan.
Dengan suguhan animasi metaforis berupa Isabel yang berjalan beriringan dengan bunga-bunga yang bermekaran, ia ‘merebut’ suaranya kembali ketika akhirnya bercerita mengenai pengalamannya di audiensi publik oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) di Timor Leste pada tahun 2004. Begitu pula dengan Umar. Umar digambarkan berjalan keluar dari gua yang gelap kala ia diwadahi untuk bercerita dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh pada 2016.
Namun, mekarnya dan terangnya kembali jalan yang dilalui Isabel dan Umar bukanlah solusi ataupun garis akhir dari kisah mereka. Dalam diskusi yang berlangsung setelah kedua film ini ditayangkan, para pembicara—termasuk Umar dan Isabel sendiri yang turut hadir—menyimpulkan bahwa ‘truth is not enough.’ Kebenaran saja tidak cukup. Perjuangan untuk keadilan bagi penyintas pelanggaran hak asasi manusia harus diiringi dengan upaya reparasi dan reformasi sistem yang mencegah pelanggaran hak asasi manusia ke depannya.
Konta-sai dan 8:45 pada akhirnya juga menjadi contoh akan storytelling yang harus dilakukan dalam berbagai bentuk. Film animasi dokumenter menjadi sarana bercerita yang menarik karena mampu menyuguhkan kisah pilu Isabela dan Umar secara subtil, namun tetap menyentuh para penonton. Jika budaya impunitas di Indonesia, Timor Leste, dan lokasi lainnya masih saja langgeng umurnya, beragam upaya truth-telling dan advokasi terkait pelanggaran HAM juga harus berumur panjang.
Ditulis oleh Nabila Auliani Ruray, Tim Komunikasi Linking and Learning Indonesia