Kala di Kalijaga menjadi saksi perjalanan galeri sederhana yang penuh makna. Berisi karya photovoice yang digarap 20 orang berdedikasi perwakilan organisasi dari ujung timur hingga barat Indonesia. Galeri ini merupakan buah hasil dari workshop photovoice yang diselenggarakan Pamflet dan Kota Kita serta dukungan penuh dari Voice Indonesia.
Acara yang dilaksanakan secara online dan offline ini cukup memberikan makna bagi peserta maupun para fasilitatornya. Pada pembekalan pertama yang diisi dari Kota Kita, peserta diperkenalkan dengan photovoice dan teknik dasar photography. “Sebuah foto yang ditangkap oleh kamera itu bisa bercerita.” kata Aa Fuad dalam zoom pada Jumat, (13/10/23).
Secara sederhana, kata Aa Fuad, photovoice itu foto yang bisa bercerita (meskipun tidak melalui suara). Selain itu, Aa Fuad juga menjelaskan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan ketika merancang sebuah photovoice, mulai dari tipe cerita yang ingin digali, kemudian adanya etik dan persetujuan yang harus diperhatikan, serta kesesuaian dengan waktu yang kita miliki.
Meski online, peserta antusias dalam menerima materi. Setelah penjelasan dari Aa Fuad, materi berikutnya disampaikan oleh Kak Vanesha yang memberikan tips seputar pengambilan foto. “Ketika mau melakukan pengambilan gambar, teman-teman bisa minta izin jika memotret orang lain. Jangan lupa untuk bersihkan lensa ponsel dan manfaatkan fitur fokus, agar tidak blur. Kemudian, mencari pencahayaan yang baik serta jangan takut bereksperimen dan mencoba hal baru.” jelas Kak Vanesha.
Setelah digelarnya workshop hari pertama secara online, agenda berikutnya berupa workshop photovoice secara offline yang diadakan pada tanggal 17-20 Oktober 2023.
Blok M Kala itu, Menjadi Sarana Menjelajah Kepekaan Rasa
Acara hari kedua pelaksanaan offline workshop photovoice dibuka dengan sapa dan sambutan hangat dari Kak Chika dan Kak Gigi dari Hivos atau Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial. Dalam kesempatan ini kedua puluh peserta telah berkumpul bersama di Jakarta. Agenda hari pertama kegiatan offline ini akan diisi dengan refreshment materi terkait inklusi sosial dan interseksionalitas oleh Kak Moli. Kemudian dilanjutkan materi dari Kota Kita dan spesial kegiatan, hunting foto di kawasan Blok M.
Dalam materi refreshment ini, peserta disadarkan tentang perempuan sebagai kelompok rentan. Apalagi bagi para perempuan yang memiliki identitas berlapis, seperti halnya perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas. Mereka memiliki kemungkinan 2 hingga 4 kali lebih besar untuk mengalami kekerasan dalam rumah tangga dibandingkan dengan perempuan tanpa disabilitas.
Ada banyak refleksi pembelajaran dan renungan di hari pertama ini. Setelah Kak Moli selesai mengisi materi, acara berikutnya diambil alih oleh Kota Kita dengan agenda yang cukup menarik yaitu diskusi dan pengelompokan photovoice dari tugas yang telah dikerjakan para peserta sebelumnya. Beragam perspektif dan pemikiran yang tersalur dalam pengelompokan tersebut hingga akhirnya berhasil terkumpul 5 kluster isu, mulai dari isu ruang publik, kesetaraan gender, ruang aman bagi korban kekerasan, makanan, hingga refleksi diri.
Setelah diskusi dan pengelompokan tersebut selesai. Kak Erlangga pun tidak lupa memberikan briefing kepada peserta sebelum melanjutkan ke acara berikutnya yaitu menjelajah Blok M untuk hunting foto. Peserta tampak antusias dan langsung mencoba eksplor lingkungan sekitar. Sesekali terlihat ada yang sudah mulai berinteraksi dan bercengkrama dengan para penjual yang ada di sana.
Mewadahi Aneka Suara untuk Mengalir Bersama ke Satu Muara
Setelah mendapatkan bekal materi mengenai photovoice baik secara online maupun offline, serta telah turun langsung menjelajah Blok M di hari pertama kegiatan workshop offline kemarin. Agenda di hari ketiga ini difokuskan untuk melakukan refleksi diri mengenai kegiatan workshop yang sudah dilakukan dan kegiatan apresiasi karya.
Kala di Kalijaga menjadi tempat yang menyaksikan keharmonisan kegiatan ini. Kesan pesan mengenai kegiatan, kemudian refleksi diri mengenai inklusi dan interseksionalitas, serta menceritakan hal-hal apa saja yang ingin dipelajari kedepannya tertuang dalam sticky note berwarna hijau, pink, dan kuning. Dengan waktu yang telah disepakati bersama, masing-masing peserta pun berdialog dengan diri untuk memenuhi lembaran sticky note yang telah dibagikan.
“Merenungi bahwa dalam sepersekian detik di hidup kita ada banyak fenomena dan suara yang ingin didengar. Menjadi peka dan mendapatkan kesadaran bahwa setiap manusia layak untuk dimanusiakan.” kata Kak Shakira mengungkapkan hal-hal apa yang telah didapatkannya. Dari fenomena-fenomena tersebut dapat didengarkan melalui photovoice. Seperti yang disampaikan Mas Gebyar ”Dalam photovoice, foto tidak hanya menjadi bahan dokumentasi tapi juga memiliki kemampuan bercerita dan menyampaikan pesan. Ini bisa menjadi senjata kuat untuk kampanye.” tuturnya.
Setelah setiap peserta berkenalan dan menceritakan refleksi yang ditemuinya, acara berikutnya yaitu apresiasi karya. Dalam hal ini peserta dibagi ke dalam 4 kelompok kecil untuk membahas lebih lanjut mengenai makna dan hasil foto dari masing-masing peserta. Terlihat di masing-masing kelompoknya saling memberikan tanggapan dan perspektif mengenai satu dua karya. Salah satunya foto dari Kak Kevin tentang kucing yang seakan sedang mengistirahatkan diri sejenak di tengah hiruk pikuk kota mendapat apresiasi dari teman-teman lainnya.
Galeri Karya Photovoice Indonesia Inklusi
Tertanggal 19 Oktober, di hari ketiga workshop offline berlangsung, Galeri Karya Photovoice Indonesia Inklusi ini pun resmi dibuka. Pembukaan galeri berlangsung hangat dengan sambutan dari beberapa pihak.
Dimulai dari Kak Rizki, selaku perwakilan Pamflet yang menceritakan awal kolaborasi dan rencana pembuatan kegiatan yang bisa mendukung serta memberikan wadah bagi anak muda untuk melakukan sesuatu bagi kemanusiaan. Dipenuhi dengan semangat dan itikad baik, akhirnya terselenggaralah kegiatan workshop photovoice ini.
Tak lupa dalam sambutannya, Rizki juga menuturkan konsep galeri dimana foto karya peserta telah disusun dan dikelompokkan dengan padatan ceritanya. Menjabarkan alur perjalanan pembuatan galeri dari awal hingga akhirnya bisa disaksikan dan dinikmati menjadi sebuah perenungan bersama.
“Galeri sederhana yang bermakna. Hal yang membuat kegiatan ini spesial yaitu keterlibatan teman-teman dari awal yang proses mulai dari merancang kegiatan hingga akhirnya bisa terselenggarakan. Jadi memang idenya dari teman-teman.” kata Kak Gigi dalam sambutannya. Dalam hal ini Kak Gigi lebih banyak menyampaikan terkait awal kolaborasi hingga akhirnya bisa terwujud kegiatan ini. “Senang tentunya akhirnya bisa mewujudkan ini. Semoga selain kolaborasi, pengetahuan bisa disalurkan kembali.” tutupnya.
Kemudian ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kak Vanesha Manuturi yang menjadi perwakilan dari Kota Kita. Ucapan terima kasih disampaikannya kepada Kak Chika dan Kak Gigi dari Voice serta teman-teman Pamflet yang telah berkolaborasi baik dalam kegiatan ini. “Terima kasih banyak teman-teman saya rasa kegiatan ini kritis dan efektif. Tentu melalui galeri ini kita bisa sama-sama merefleksikan proses yang sudah dilewati. Dari awal pemberian tugas dengan cakupan tema yang general hingga akhirnya bisa sama-sama mencari objek dan subjek di tempat yang sama dengan kluster ” imbuhnya.
Berlanjut ke acara berikutnya yaitu Galeri Tour yang dipandu oleh Kak Erlangga. Agenda ini dimaknai mendalam karena hadir dengan beberapa tahapan yang telah dilewati, salah satunya adalah proses kurasi. Dimana foto dikelompokkan berdasarkan lokasi, objek dalam gambar, sudut/posisi pengambilan gambar, hingga pencantuman deskripsi, dan fenomena spesifik yang terabadikan di dalamnya.
Dari isu dan fenomena yang ada, terpetakanlah beberapa isu mulai dari perebutan ruang publik, aneka tekstur jalan atau mengenai infrastruktur yang belum memadai, ekspresi warga di ruang publik, ruang yang mulai ditinggalkan, pemenuhan hak dan pembagian kerja berdasar gender, hingga refleksi personal.
Hampir satu di masing-masing kategori terpilih untuk menceritakan, mulai dari kategori berebut ruang. Pasti sering diantara kita menjumpai adanya perebutan ruang dalam parkir kendaraan. Dimana mobil dan motor yang diletakkan tidak sesuai parkirnya. Peletakan rambu yang sudah ada terasa tidak mempengaruhi para pelakunya dan jika ditanya, bingung juga untuk menunjuk semua ini salah siapa.
Hal serupa juga disampaikan Kak Jhony, yang menceritakan di daerahnya Maumere, perebutan ruang dalam hal parkir tidak terjadi. “Di sini saya menjumpai banyak perebutan ruang. Contohnya seperti rambu dilarang parkir tapi tetap banyak orang yang memarkirkan kendaraannya. Sama halnya di foto saya ini mengambil foto ini, orang yg parkir di situ seakan memiliki kuasa untuk parkir dimana saja” tutur Kak Jhony.
Hal serupa juga disampaikan Kak Elsa, “Dalam foto yang saya ambil ini, terlihat orang yang melanggar rambu sangat santai. Terlihat dari pintu mobil yang dibuka dengan orang di dalamnya yang duduk sembari merokok.” katanya.
Kategori berikutnya adalah ruang istirahat. Salah satu foto diantaranya ada perebutan ruang, dimana terlihat seorang bapak ojek online yang sedang berhenti di trotoar jalan (yang tentu sebenarnya bukan tempat yang seharusnya). Akan tetapi, ketika dicermati lebih lanjut lagi ternyata sang bapak sedang mengistirahatkan diri di tengah kepekikan kota.
Refleksi, menjadi kategori berikutnya. Beberapa peserta mengambil foto perenungan diri maupun melalui orang lain. Kak Indriyani salah satunya, yang mengabadikan momen renungan seorang warga Labuhan Bajo di sore hari. “Kini Labuan Bajo menjadi menjadi daerah super premium yang pariwisatanya melaju dari waktu ke waktu dan pembangunan yang begitu cepat. Akan tetapi, di balik kemajuannya ada para nelayan yang akhirnya harus beradaptasi dengan peraturan baru karena adanya pembatasan di beberapa daerah mengenai penangkapan ikan. Mereka harus mencari ikan di tempat yang lebih jauh lagi.” ceritanya.
Adapun beberapa kategori lain, seperti tekstur di ruang publik, ekspresi seni di ruang publik, gender, menjadi sebuah perenungan tersendiri bahwa sesuatu yang terlihat baik sebenarnya juga masih ada hal-hal yang harus diperbaiki juga. Oleh karena itu, melalui galeri sederhana ini menuai harapan agar bisa sebagai langkah awal untuk membawa kesenangan dan berkat bagi semua orang yang terlibat. Dapat menyalurkan dan membawa kolase suara-suara ini pada muara untuk terus belajar dan terhubung dalam mewujudkan lingkungan hidup yang lebih inklusif untuk semua.
Galeri tour ditutup di sudut refleksi, dimana pengunjung dalam galeri ini diajak untuk turut membayangkan ketika kamera ada di tangan kalian, photovoice seperti apa yang akan kalian sajikan dan menjadi renungan. Salah satu pengunjung yang hadir, Sharon, mengatakan apresiasinya terhadap kegiatan dan galeri ini. “Saya merasa tema yang diangkat sangat menarik, karena banyak orang yang seakan enggan dan tutup mata mengenai isu-isu seputar inklusi maupun gender. Apalagi di sini kita bisa melihat bahwa sesuatu yang sudah baik ternyata ada juga hal yang perlu diperbaiki dan diperhatikan.” katanya. Selain itu ada juga refleksi diri yang cukup menyentuh. “Ternyata melalui photovoice ini foto dapat berbicara dan bercerita jauh dan mendalam” tutupnya.
Penulis : Lulu Il Asshafa
Editor : Tim Pamflet Generasi