Ditulis oleh: Ken Penggalih
Kolaborasi lintas organisasi dan isu memegang peran penting dalam memperkuat jaringan dan gerakan. Tak terkecuali bagi para organisasi dan lembaga penerima hibah VOICE. Pamflet Generasi sebagai fasilitator Indonesia Inklusi kemudian mengadakan pertemuan “Linking & Learning Workshop: Menghidupkan Indonesia Inklusi”. Pertemuan ini bertujuan untuk mengumpulkan teman-teman perwakilan organisasi dan lembaga penerima hibah VOICE ke dalam sebuah wadah untuk berdiskusi dan “Menghidupkan Indonesia Inklusi”, sekaligus untuk membuka periode 2023-24 Indonesia Inklusi.
Melalui ruang bersama ini, teman-teman perwakilan organisasi dan lembaga penerima hibah VOICE bercengkrama secara tatap muka selama tiga hari untuk berdiskusi tentang pengalaman dalam menjalankan program bersama VOICE. Selain itu, teman-teman Indonesia Inklusi juga saling bertukar pikiran untuk mengembangkan program dan ide kolaborasi yang akan digarap bersama.
Dalam pertemuan kali ini, kegiatan yang menjadi sorotan dan menarik perhatian para peserta adalah forum diskusi open space. Forum diskusi open space merupakan ruang yang dibentuk agar para peserta dapat mengajukan diri untuk memimpin diskusi dan berbagi pengalamannya. Dalam kegiatan ini, forum dibagi dibagi menjadi dua sesi, dan pada setiap sesinya terdiri dari dua forum yang dijalankan secara bersamaan sekaligus. Dalam forum diskusi ini, peserta bebas untuk mengikuti salah satu forum diskusi yang sekiranya dapat mengakomodasi kebutuhan organisasi atau lembaga mereka dalam menjalankan program bersama VOICE.
Pada sesi pertama, forum diskusi open space dipimpin oleh Ratna Dewi dari Perhimpunan Jiwa Sehat dan Salmawati dari Permata Sulawesi Selatan. Di lingkaran forum pertama, Ratna Dewi membagikan pengalaman Perhimpunan Jiwa Sehat dalam mengadvokasi hak-hak teman disabilitas psikososial dan apa saja tantangan yang mereka hadapi dalam advokasi tersebut. Di lingkaran forum kedua, Salmawati yang mewakili Permata Sulawesi Selatan membagikan cerita tentang teman kusta dan situasi-situasi yang harus dihadapi oleh teman kusta, khususnya di Sulawesi Selatan.
Kedua forum diskusi open space pada sesi pertama memiliki satu benang merah: stigma yang masih kuat dari masyarakat terhadap teman disabilitas psikososial dan teman kusta. Untuk merespon hal tersebut, para peserta kemudian menawarkan sebuah solusi melalui kolaborasi lintas isu agar lebih mudah mengadvokasi isu ini pada teman disabilitas dan teman kusta yang mengalami stigma berlapis.
Kemudan, sesi kedua forum diskusi open space diisi oleh Husna dari Kota Kita, yang juga mengajak Teman Tuli dari Gerkatin Solo, dan Mama Atha dari Sanggar Seroja.
Di ruangan pertama, peserta memenuhi ruangan dengan suara riuh dari bermain kartu permainan “Gender Jeopardy” karya Sanggar Seroja. Melalui kartu permainan “Gender Jeopardy”, para peserta diajak untuk merasakan pengalaman kehidupan teman-teman transpuan di Indonesia. Mama Atha memandu peserta dalam bermain kartu permainan “Gender Jeopardy” sekaligus menceritakan pengalaman teman-teman transpuan menghadapi masyarakat yang diskriminatif dan bagaimana mereka bertahan hidup di situasi-situasi tersebut.
Para peserta menyimpulkan bahwa kartu permainan “Gender Jeopardy” dapat menjadi metode yang efektif untuk menanamkan empati karena permainan dapat mencampur aduk peserta selama bermain: seru tetapi sendu. Kartu permainan ini menjadi pengingat cerita teman-teman transpuan yang telah berjuang untuk tetap bertahan hidup menghadapi dan keluar situasi yang sulit.
Sementara itu, di ruangan yang bersebelahan, forum diskusi dipandu oleh Kota Kita dan Gerkatin Solo, yang membagikan metode program mereka, yaitu photovoice. Berangkat dari keresahan bahwa Budaya Tuli sama sekali tidak dipertimbangkan oleh para pemangku kebijakan dalam perencanaan dan pembangunan kota, teman-teman Kota Kita kemudian berkolaborasi dengan Gerkatin Solo untuk membuat program photovoice. Teman Tuli perwakilan Gerkatin Solo dan perwakilan Kota Kita menceritakan tentang program photovoice mereka sebagai salah satu usaha untuk mengkampanyekan dan memasukkan Budaya Tuli ke dalam perencanaan dan pembangunan kota dalam bentuk foto. Mereka menggunakan metode photovoice karena merupakan sebuah metode kampanye visual yang dapat merefleksikan Budaya Tuli.
“Melalui forum diskusi open space bersama teman-teman dari Kota Kita dan Gerkatin Solo, saya mendapatkan ide baru untuk membuat program yang lebih inklusif dan partisipatif, yaitu dengan metode photovoice yang dapat memantik partisipan untuk dapat mengungkapkan ide, gagasan, cerita, dan aspirasi melalui foto,” ujar Joko Sudarsono dari Sehati Sukoharjo.
Forum diskusi open space menjadi ruang bagi para peserta untuk saling mengenal satu sama lain serta apa isu yang dikerjakan. Dengan demikian, para peserta dapat memetakan siapa saja yang dapat diajak untuk bekerja sama dan isu apa saja yang dapat dikerjakan bersama.
“Forum diskusi open space menjadi kali pertama saya memimpin diskusi di forum besar dan mempresentasikan apa yang Permata kerjakan. Saya merasa senang karena ternyata banyak teman-teman dari berbagai daerah yang antusias dengan kegiatan Permata bersama teman-teman kusta,” ucap Salmawati dari Permata Sulawesi Selatan yang memimpin salah satu forum diskusi open space.
Pertemuan kemudian ditutup dengan forum untuk para peserta melontarkan ide-ide yang akan ditindaklanjuti bersama organisasi dan lembaga penerima hibah lain berdasarkan hasil diskusi selama tiga hari kegiatan. Beberapa ide tersebut antara lain adalah Community of Practice dan kolaborasi atau kerja sama lintas isu.
Dengan bercengkrama dan mendekatkan diri dengan satu sama lain, teman-teman organisasi dan lembaga penerima hibah VOICE dapat memperkuat jaringan dan menemukan ide-ide baru untuk menjalankan dan mengembangkan program bersama VOICE. Pertemuan “Linking & Learning Workshop: Menghidupkan Indonesia Inklusi” harapannya dapat menjadi penyegar dan juga penyemangat baru bagi teman-teman organisasi dan lembaga penerima hibah VOICE untuk terus melanjutkan kerja-kerjanya.