Terbatas. Kiranya kata itulah yang bisa menggambarkan keadaan perempuan adat. Sejauh ini, mereka masih bertahan dan menjadi kelompok paling rentan dalam struktur komunitas adat dan lingkungan sosial pada umumnya. Sistem dan ruang yang sempit menjadikan mereka tak bisa mendapat kesempatan yang sama dengan yang lain. Akibatnya, praktik diskriminasi dan kekerasan masih melekat pada kehidupan perempuan adat.
Kesadaran itulah yang mendasari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Sumbawa mendorong terbentuknya struktur komunitas yang konsen pada isu perempuan adat. Jasardi Gunawan, Ketua BPH AMAN Daerah Sumbawa mengatakan, sejak dua tahun ini, kepengurusan yang melibatkan perempuan di komunitas atau masyarakat adat mulai dibentuk.
Mereka didorong turut terlibat dalam struktur kepengurusan, yang salah satu peranannya dapat memutuskan kebijakan bersama tokoh dan pimpinan adat.
“Dengan dukungan VOICE, kami telah mengambil 10 lokasi di wilayah kerja Aman Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat. Tujuannya mendorong membentuk lahirnya perempuan adat di tingkat komunitas adat. Jadi masing-masing kami membentuk ketua dan pengurusnya di tingkat komunitas adat, dua orang duduk di struktur kelembagaan adat itu sendiri,” katanya saat diwawancarai, Minggu (14/2/2021).
“Kemudian perwakilan pengurus itu membentuk keterwakilan di tingkat kabupaten sebagai organisasi sayap yang bernama Perempuan AMAN tingkat kabupaten. Tugasnya untuk mengorganisir perempuan di tingkat adat, membuat program bersama, memfasilitasi yang berhubungan dengan perempuan seperti kekerasan dalam rumah tangga atau kebijakan yang dilakukan tingkat desa, kabupaten, dan pemerintah nasional.”
Menurut pria yang juga lulusan Universitas Muhammadiyah Mataram itu, kondisi perempuan adat di masa silam berada di titik marginal. Hal itu lantaran secara sosial dan adat, kiprah mereka dibatasi oleh beragam regulasi dalam lingkup umum dan adat.
Namun sejak mendapat dukungan dari VOICE, secara bertahap, perempuan adat telah mendapatkan ruang gerak yang lebih baik. Mereka, antara lain, memperoleh hak dan suaranya di tingkat adat. Bahkan, secara politik yang sebelumnya belum memungkinkan, kini perlahan bisa memperoleh akses yang memadai.
“Alhamdulillah ada empat kepala desa (dari perempuan adat) yang berhasil didorong berkat program dari VOICE, yang didukung oleh masyarakat adat,” tambahnya.
Jasardi menambahkan, program pendanaan dari VOICE diharapkan bisa berlanjut. Sebab, hal itu menjadi satu dorongan keras agar apa yang selama ini telah dilakukan dapat dilanjutkan. Seperti, misalnya, menuliskan profil perempuan adat yang mana cukup menuai respon positif dari berbagai kalangan, serta berbagai program lain yang sejatinya telah dirancang oleh para perempuan adat.
Menengok Lebih Dalam
Menyoal lebih dalam kiprah perempuan adat, Benedicta Herlina Widiastuti, Pengurus Savy Amira Women’s Crisis Centre mengatakan pentingnya menengok lebih dalam. Maksudnya, dia meminta agar upaya mewujudkan ruang inklusi diutamakan memberikan kendali dan menanyakan lebih dalam kepada perempuan adat itu sendiri.
Itu mengingat beban berat kondisi perempuan adat yang selama ini dibatasi oleh sistem pemerintahan secara umum, juga dalam lingkungan masyarakat adat. Herlina mencontohkan kasus perbudakan yang masih terjadi di salah satu komunitas adat di Sumba.
“Saya sempat ngobrol dengan salah satu komunitas di Sumba tentang perbudakan yang menimpa perempuan. Jadi selama tidak dibebaskan, ketika nanti melahirkan, si anak dan keturunannya selamanya juga menjadi budak. Ini sulit diatasi juga, karena bahkan kebiasaan adat seperti inilah yang dianggap paling benar,” kata perempuan yang juga akademisi Universitas Surabaya (Ubaya) tersebut.
Oleh karenanya, Herlina menyarankan ketika hendak menginisiasi program inklusi, penting untuk melihat dari sudut pandang pihak yang tertindas (rentan), atau dalam kasus ini perempuan adat. Ke depan, penerapan ruang inklusi ke depan akan lebih banyak bergantung, salah satunya dengan implementasi regulasi yang tepat.
“Selama RUU PKS belum disahkan, dan penerapan aturan masih berkutat menyalahkan korban, ya mereka akan terus terdzalimi,” katanya.
Menurut Herlina, yang menjadi persoalan lainnya adalah posisi hukum tertulis dan tak tertulis yang tidak ramah pada perempuan. Ia mencontohkan pemilihan kepala keluarga yang harus laki-laki dan sebagainya. Padahal, pemisahan tersebut (kepala keluarga harus laki-laki) sejatinya tidak memiliki esensi bagi keberlangsungan keluarga.
Ke depan, ia berharap posisi hukum, utamanya hukum tertulis, bisa lebih menjangkau keadilan bagi perempuan. Dengan langkah itu, hukum-hukum tak tertulis lainnya akan mengikuti. Sehingga, kelak akan terbentuk ruang inklusi yang baik untuk perempuan, termasuk perempuan adat.
Kiprah Perempuan Adat
Lebih jauh, kiprah perempuan adat di bawah naungan AMAN Sumbawa bisa dibilang cukup progresif. Geliat itu terasa ketika pandemi covid-19 datang. Mereka menginisiasi gerakan kelompok kedaulatan pangan, yang pada gilirannya berbentuk upaya untuk menanam sayuran seperti cabai, tomat, hingga menanam padi yang bisa dipanen lebih cepat.
Selain itu, kiprah mereka juga menjalar dengan bentuk membantu pemerintah desa untuk sosialisasi penanggulangan covid-19. Mereka menyebarkan informasi tersebut pada tetangga, kerabat, serta anak-anak untuk lebih aware pada covid-19.
“Gerakan ini bermakna bahwa kekuatan yang miliki oleh perempuan adat, yang sebelumnya sangat terpuruk, sangat progresif. Saat ini ketika ada masalah, mereka bisa cepat mendapat akses ke pengurus daerah sendiri yang telah terbentuk,” pungkas Jasardi.
Ditulis oleh Ahmad Farid, Tim Komunikasi Linking and Learning Indonesia