Penanganan terhadap pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu barangkali masih menjadi pekerjaan yang tak mengenal kata selesai. Pemulihan, rekonsiliasi, hingga pendampingan diperlukan untuk membantu mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM untuk memperoleh kembali hak-hak mereka. Karena itu, pelibatan berbagai kalangan, khususnya anak muda, menjadi hal tak terelakkan. Hal ini berguna sebagai langkah memacu upaya pendampingan berjalan di berbagai lini.
***
Hari menjelang siang pada 15 Februari 2022, tetapi pembahasan mengenai topik pelanggaran HAM masa lalu beserta upaya penanganannya justru berjalan kian semarak. Melalui pertemuan daring, Koordinator Program Better Together (Bersama Lebih Baik) Aya Oktaviani dengan antusias bercerita ihwal gerakan yang tengah dilakoni organisasi Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) bersama Sekretariat Bersama ’65 (Sekber ’65) dan Perkumpulan Bantuan Hukum Nusa tenggara (PBH Nusra). Gerakan tersebut, memang tengah berfokus pada upaya pendampingan korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Aya, begitu ia disapa, juga turut didampingi Staf Program Better Together Priscilla Sharon.
Aya mengatakan, program Better Together merupakan salah satu gerakan yang terus didorong oleh organisasi IKa. Program ini turunan dari program-program lainnya yang telah lebih dahulu diinisiasi, salah satunya yakni Program Peduli di bawah naungan Pundi Insani yang fokus terhadap isu pelanggaran HAM. Adapun program-program lainnya yaitu Pundi Perempuan yang fokus terhadap isu kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan; Pundi Budaya yang menitikberatkan isu gerakan budaya untuk keberagaman; serta Pundi Hijau yang aktif terhadap isu kedaulatan pangan dan keadilan ekologis.
IKa sendiri telah berdiri sejak 1995. Keberadaannya tidak lepas dari kiprah para aktivis tahun 1980-an yang saat itu memosisikan IKa sebagai Yayasan Indonesia untuk Kemanusiaan. Di saat tersebut, yayasan ini memiliki peran sebagai lembaga sumber daya. Fokus utamanya merupakan mendukung kerja-kerja pembela HAM, korban pelanggaran HAM, serta gerakan masyarakat sipil. IKa kala itu juga bekerja sama dengan lembaga-lembaga lainnya, terutama dalam hal membantu menggalang sumber daya, baik dari segi pengetahuan, dana, jaringan, hingga kerelawanan untuk disebarkan ke organisasi sipil lainnya di Indonesia. Langkah ini kemudian terus berlanjut hingga sekarang.
“Kenapa kita bilang (program-program IKa) pundi ini kan dompet, ya. Jadi kita tuh kerjanya untuk mengumpulkan sumber daya itu. Kita berperan sebagai intermediary, bekerja sama kayak sekarang di konsorsium begitu, dengan organisasi-organisasi lokal yang secara administratif kan belum kuat. Nah karena IKa sudah lama dan kapasitas sudah kuat, jadi kita mencoba mendukung OMS (Organisasi Masyarakat Sipil) yang ada di tingkatan lokal untuk tetap bisa bekerja mengorganisir masyarakat di grassroot,” ungkap Aya.
Lebih lanjut, tambah Aya, IKa kemudian bergabung dengan koalisi yang digagas berbagai organisasi. Koalisi tersebut bernama Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) yang memiliki perhatian besar terhadap isu-isu HAM. KKPK menyepakati bekerja untuk mengadvokasi kasus-kasus HAM di masa lalu. Ini berarti para organisasi yang tergabung di dalamnya juga memiliki andil untuk membantu penyelesaian, sekaligus mendukung korban pelanggaran HAM masa lalu yang saat ini telah memasuki usia lanjut.
Dengan masuknya IKa ke dalam KKPK, pada 2013 IKa membuat program untuk mendukung pemulihan psikososial korban pelanggaran HAM masa lalu. IKa memilih langkah tersebut untuk menyempurnakan program organisasi lainnya, yang telah berfokus pada advokasi pengakuan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Program yang dijalankan IKa tersebut kemudian berlangsung selama 6 tahun.
Selama menjalankan program itu, IKa turut berkolaborasi dengan OMS lainnya di sejumlah wilayah di Indonesia. Terutama, di wilayah tempat terjadinya beberapa kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Misalnya kasus pelanggaran HAM berat 1965, Talangsari, DOM Aceh, Priuk, kasus Mei 1998, dan sejumlah kasus pelanggaran HAM lainnya.
Lewat program ini, IKa beserta organisasi terkait di sejumlah wilayah tersebut bekerja untuk memastikan akses ekonomi dan hak-hak lainnya dapat diperoleh para korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Terlebih, saat itu kondisi korban pelanggaran HAM berat masa lalu mengalami berbagai rintangan berat, seperti stigma, kemiskinan ekonomi, hingga diskriminasi secara struktural dan kultural.
Mendorong peran aktif anak muda
Meski program yang telah dilaksanakan tersebut secara umum telah berjalan baik, tentu ada ruang untuk hal-hal yang bisa disempurnakan. Karenanya, pada 2021, IKa menyambut baik dukungan dari Voice dengan menggagas program Better Together. Program ini merupakan upaya melanjutkan hal-hal yang telah dilaksanakan di masa silam.
Lewat program ini, IKa berkolaborasi dengan dua organisasi lainnya, yakni Sekretariat Bersama 65 (Sekber 65) dan Perkumpulan Bantuan Hukum Nusa Tenggara (PBH-Nusra). Keduanya merupakan organisasi yang telah lama mewadahi penyintas pelanggaran HAM 1965-66 di daerah masing-masing–Sekber 65 di Surakarta dan Karanganyar, lalu PBH-Nusra di Sikka.
Secara rinci, inisiatif tersebut berupaya mengaktifkan peran anak muda dalam mendampingi para lanjut usia (lansia) yang menjadi penyintas peristiwa 1965 untuk memperoleh akses sosial, ekonomi, dan budaya. Terutama, bagi mereka yang berada di Kabupaten Surakarta, Karanganyar, dan Sikka. Ikhtiar ini juga dimaksudkan agar anak muda dapat lebih peduli dengan masalah HAM sekaligus menumbuhkan kepekaan mereka terhadap kebutuhan lansia. Selain itu, langkah tersebut memiliki peran dalam memperluas jaringan anak muda di tingkat nasional.
Aya mengatakan, misi dari inisiatif ini yaitu untuk melahirkan generasi baru, atau dalam konteks ini anak muda, agar mengisi jarak yang ada di antara peristiwa 1965 dan generasi muda kini. Mereka diajak berpartisipasi untuk memahami sekaligus berperan aktif mendampingi para lansia penyintas HAM di masa lalu. Yang menjadikannya istimewa, anak muda tersebut dibekali dan diberdayakan dengan kapasitas yang mumpuni untuk dapat melakukan pendampingan.
“(Dengan upaya ini, respons para anak muda) kalau yang di Solo itu sangat antusias dan ternyata banyak dari mereka yang telah memahami konteks HAM di Indonesia. Yang di Sikka antusias juga, tetapi level informasi yang mereka terima tidak sebanyak yang di Solo. (Secara umum,) mereka sangat antusias. Karena menurutku isu HAM dan demokrasi ini kan yang kita dekati sebenarnya teman-teman anak muda yang punya keinginan untuk belajar,” tambahnya.
Senada dengan Aya, Sharon mengatakan anak-anak muda yang terlibat dalam program ini begitu bersemangat. Mereka tak hanya berkeinginan menunjukkan pengetahuan tentang HAM dan demokrasi, serta mengunjungi para lansia penyintas HAM masa lalu, tetapi juga ikut membantu para fasilitator program dalam mengidentifikasi karakteristik anak muda setempat. Langkah tersebut dinilai perlu untuk menjaring anak muda lainnya di kawasan Surakarta, Karanganyar, dan Sikka agar terlibat lebih intens pada pendampingan lansia penyintas HAM masa lalu.
“Membantu mereka ketika berdiskusi secara langsung dengan anak-anak muda itu kita juga belajar tentang bagaimana strategi untuk bisa melibatkan anak-anak muda. Baik itu mereka yang sudah punya pengetahuan tentang HAM terutama isu 65 atau mereka yang masih belum punya pemahaman yang besar dalam isu HAM ini untuk bisa terlibat lebih jauh ke dalam isu HAM ini sendiri,” kata Sharon.
Memacu anak muda melalui pendekatan seni dan budaya
Salah satu misi program Better Together yakni mengajak peran anak muda menyuarakan isu HAM dan nilai-nilai anti kekerasan melalui pendekatan seni dan budaya. Mengenai hal tersebut, Aya menjelaskan bahwa pendekatan seni dan budaya efektif lantaran para penyintas sendiri yang relatif terhubung melalui kesenian serta praktik budaya lokal. Di Surakarta, ini mewujud dalam hendak berlangsungnya pertunjukan seni ketoprak dengan Ketoprak Srawung Bersama (KBS). Sedangkan di Sikka, hendak berlangsung fashion show yang mempersembahkan keindahan tenun ikat hasil kerajinan perempuan Sikka.
Kebudayaan cenderung mempunyai caranya sendiri untuk membantu upaya rekonsiliasi terhadap kekerasan masa lalu tersebut. Untuk itu, pendekatan seni dan budaya yang melibatkan anak muda diharapkan menjadi ‘bahasa’ baru yang melengkapi dinamika pemenuhan HAM dan mengawal demokrasi.
Anak-anak muda tersebut, kata Aya, diharapkan dapat menyerap kebudayaan lokal. Dirinya mencontohkan, anak-anak muda itu di dalam melakukan kampanye mengenai HAM dan demokrasi dapat menggunakan bahasa Jawa ataupun Maumere. Dengan demikian, nilai-nilai keberagaman juga dapat berjalan beriringan dengan upaya menyuarakan isu HAM.
Di samping itu, program ini juga untuk mendorong anak muda dalam melanjutkan regenerasi budaya lokal yang ada. Tentunya, budaya lokal tersebut merupakan hal-hal yang baik dan tidak bertentangan dengan hukum maupun norma-norma yang ada. “Dan menurut kita ketika membangun project ini, itu akan sangat efektif untuk bisa menghalau ekstremisme yang mencoba menghilangkan budaya lokal itu,” pungkas Aya.
Ditulis oleh Ahmad Farid.