Jaringan Indonesia Inklusi yang berisi lebih dari 40 organisasi masyarakat sipil di Indonesia telah menginisiasi proses belajar daring antar organisasi yang dimulai pada bulan Juni 2020. Proses belajar yang pada tahun-tahun sebelumnya dilakukan dengan tatap muka telah berubah menjadi daring dengan adaptasi situasi pandemi. Semenjak bulan Juni hingga bulan Oktober 2020, 8 sesi belajar daring (SBD) telah dilaksanakan dan berbagai isu telah dikaji.
Pada SBD #1 dengan tema “Persepsi HAM bagi Kelompok Rentan”, tiga organisasi yaitu Asia Justice and Rights (AJAR), Sentra Advokasi Perempuan dan Anak (SAPDA) Yogyakarta, dan ERAT Indonesia berbagi cerita tentang yang mereka kerjakan. Di sesi ini, ketiga organisasi membagikan berbagai inisiasi, publikasi, dan kampanye yang mereka sedang kerjakan terkait berbagai permasalahan hak asasi di kelompok rentan. Dari sesi ini, beberapa hal dapat dilanjutkan seperti misalnya memberikan pemahaman terkait hak asasi lebih dalam kepada kelompok rentan. Selain itu, mengajak berbagai kelompok dan organisasi untuk aktif meningkatkan partisipasi kelompok rentan dalam proses advokasi. Ini semua bertujuan untuk meningkatkan kesadaran kelompok rentan dan masyarakat luas dalam menganalisa berbagai pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh pihak berwenang.
Pada SBD #2, Common Room, Article 33, dan Centre for Innovation Policy Governance (CIPG) berdikusi tentang “Bagaimana Kita Bekerja Bersama Komunitas Adat dalam Kesenjangan Digital”. Melalui sesi ini, berbagai ilmu pengetahuan dibagikan khususnya terkait bagaimana bekerja dengan komunitas adat serta bagaimana melakukan advokasi pada berbagai kebijakan di daerah. Beberapa hal yang dapat menjadi pemantik diskusi lanjutan dari sesi ini adalah tentang peranan big data dan riset berbasi komunitas dapat mempengaruhi opini dan strategi dalam pemanfaatan dana desa.
Pada SBD #3, isu yang diangkat adalah terkait posisi perempuan dalam tradisi. Pada sesi ini, terdapat 4 organisasi yang berbagai kisah dan kerja mereka di masyarakat. Keempat organisasi itu adalah Sumba Integrated Development (SID), Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN), Komunitas Humba Hammu bersama Yayasan Bumi Manira, dan CIS Timor. Dalam sesi ini, struktur sosial dan budaya di Sumba dijelaskan dan dikaji ulang dengan melihat kondisi sosial saat ini. Dari sesi ini, dapat dilihat bahwa peluang kolaborasi lintas jaringan sangat dibutuhkan untuk membongkar praktik-praktik budaya yang menekan posisi perempuan.
SBD #4 mengusung tema “Orang Muda Meningkatkan Kesadaran dan Menghapus Stigma”. Tiga organisasi yaitu Difabel Blora Mustika (DBM), Perhimpunan Mandiri Kusta (PerMaTa), dan Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) menjadi pemateri dan berbagi tentang kerja mereka bersama kelompok disabilitas. Stigma yang ada di masyarakat serta peranan pemerintah pada stigma itu menjadi kunci penting dalam diskusi kali ini. Masih terlihat minimnya peran pemerintah dalam membantu menghilangkan stigma pada kelompok disabilitas. Ke depannya, partisipasi kelompok disabilitas di berbagai aktifitas sangatlah penting untuk meningkatkan proses belajar lintas organisasi dan kelompok.
Kemudian SBD #5 mengangkat tema “Perang Melawan Narkotika Pemicu Kekerasan terhadap Perempuan”. Tiga organisasi yaitu Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat), Aksi Keadilan Indonesia, dan PKBI Jateng mengkaji ulang bagaimana kampanye Perang Melawan Narkotika (War on Drugs) dapat memicu berbagai bentuk kekerasan pada perempuan. Pada sesi ini, para pemateri menjelaskan betapa rentannya perempuan untuk terjerat sindikat narkotika. Ketika perempuan tertangkap, besar potensi para perempuan ini untuk menerima berbagai tindakan kekerasan dari oknum aparat. Selain itu, di dalam rumah tahanan, warga binaan pemasyarakatan perempuan juga memiliki akses yangn sangat minim pada fasilitas kesehatan dan fasilitas lainnya. Dari sesi ini, banyak aspek yang dapat dieksplorasi lebiih lanjut seperti misalnya beragam kekerasan terhadap perempuan, pemenuhan hak perempuan, dan strategi advokasi kebijakan yang berdasarkan data.
Selanjutnya, Sesi Belajar Daring 6,7, dan 8 menggunakan konsep yang sedikit berbeda dari sesi 1 hingga 5. SBD 6, 7, dan 8 fokus pada penguatan kapasitas tiap organisasi dalam jaringan Indonesia Inklusi. Pemilihan topiknya pun disesuaikan dengan kebutuhan dari organisasi-organisasi ini.
SBD #6 mengangkat tema “Gender dan Interseksionalitas” dengan mempertimbangkan kebutuhan organisasi dalam jaringan Indonesia Inklusi untuk memahami lebih dalam tentang konsep gender serta bagaimana konsep ini saling terhubung dengan beragam isu dan topik. Untuk memenuhi tujuan ini, tema ragam identitas dan SOGIE-SC diangkat dan difasilitasi oleh organisasi-organisasi lain dalam jaringan yang mengkaji dan bekerja terkait isu tersebut. Ke depan, melanjutkan ruang diskusi dan mengkaji lebih dalam terkait stigma yang ada dalam masyarakat serta menyusun strategi untuk mengatasi stigma ini menjadi ruang yang dapat dieksplorasi.
SBD #7 dengan tema “Keamanan Komunikasi Digital” mengenalkan berbagai teknik dan cara untuk melindungi proses komunikasi khususnya dalam konteks digital. Pada lokakarya ini, organisasi-organisasi dalam jaringan Indonesia Inklusi menunjukkan kebutuhan lebih pada pentingnya memiliki strategi pengamanan gawai yang mereka gunakan untuk bekerja secara daring. Dari lokakarya ini juga, para peserta berinisiasi untuk secara aktif saling memberikan informasi untuk melakuka analisis resiko terhadap penggunaan berbagai platform digital. Ke depannya, proses saling menginformasi ini dapat ditindaklajuti untuk memperkaya proses belajar kawan-kawan tersebut.
Pada SBD #8, organisasi-organisasi dalam jaringan Indonesia Inklusi diajak untuk memahami lebih dalam terkait RKUHP, sebuah rancangan undang-undang yang memiliki potensi untuk berdampak signifikan kepada kelompok marjinal. Reformasi dibutuhkan pada rancangan undang-undang ini agak kelompok-kelompok rentan dapat terlindungi. Oleh karenanya, para peserta diajak untuk dapat saling bertukar informasi dan pengetahuan terkait potensi RKUHP pada kelompok dampingan masing-masing. Ke depannya, keterhubungan tiap organisasi ini dapat menjadi pengawas dari proses penyusunan undang-undang tersebut. Sehingga diperlukan inisiasi untuk menjaga keterhubungan ini.
Dari ke delapan Sesi Belajar Daring ini, jaringan Indonesia Inklusi dapat saling terhubung dan belajar tentang berbagai strategi dan isu. Meskipun proses belajar daring ini merupakan adaptasi yang tidak terencanakan karena situasi pandemi, proses ini menyimpan berbagai potensi untuk meningkatkan partisipasi tiap organisasi dalam jaringan untuk dapat tampil secara aktif guna membagi ilmu pengetahuan sekaligus praktik baik. Oleh karenanya, mempertahankan sekaligus mengembangkan SBD ini dapat menjadi salah satu strategi untuk menjalin keterhubungan dalam proses belajar lintas jaringan.