Sekilas Tentang Utopia Damai di Indonesia

Cover_Sekilas Tentang Utopia Damai di Indonesia

“…dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”

Tentu banyak dari kamu yang tahu dari mana kalimat di atas berasal? Yup, pembukaan Undang-Undang Dasar negara kita. Biasanya pembukaan UUD dibacakan saat kita upacara bendera di hari Senin. Bisa jadi, kamu pernah jadi petugas pembaca naskah tersebut. Tapi, apakah kita benar-benar mengerti maksud isinya?

Naskah tersebut menjadi semacam janji negara Indonesia, setelah menjadi negara yang merdeka, akan menjadi negara yang sejahtera, cerdas, damai, dan adil. Kira-kira begitulah singkat katanya. Setelah lepas dari penjajahan, tentu banyak cita-cita negara yang muncul sehingga negara kita bisa jadi negara yang maju. Salah satunya, maju dalam perdamaian sehingga masyarakat bersatu, mengesampingkan perbedaan, dan hidup dengan rukun. Memang terdengar sangat utopis, namun jika seorang manusia seperti kamu dan saya ingin hidup, tentu kita menginginkan lingkungan yang aman dan tentram bukan? Lantas, apakah hal tersebut sudah tercapai?

Sayangnya, belum.

Bisa saja kita tidak merasakan konflik apapun di lingkungan rumah kita. Terkadang memang konflik yang memakan korban jiwa terjadi di tempat yang jauh dari rumah kita. Katakanlah rumah kita di Jakarta, tentu konflik warga di Ambon, Poso, Sampit, dan Tolikara sangat jauh dari keseharian kita dan menganggap hal tersebut tak akan terjadi di daerah rumah kita sendiri. Sayangnya, konflik semacam ini, yang sekarang mulai bermunculan kembali, menjadi salah satu penyebab mengapa perdamaian belum juga tercapai di Indonesia.

Setiap tahun, Institute for Economics and Peace menerbitkan sebuah laporan bernama Global Peace Index, sebuah indeks untuk mengukur tingkat perdamaian global dan tingkat perdamaian di setiap negara, termasuk Indonesia. Sayangnya, sejak tahun 2016, peringkat Indonesia dalam indeks ini terus menurun lantaran banyaknya konflik yang terjadi di negara kita.

Tahun 2016, Indonesia menempati peringkat 42, sedangkan tahun 2018 peringkat Indonesia turun menjadi peringkat 55. Penurunan ini terjadi secara global, yaitu 85 negara mengalami kemunduran perdamaian, salah satunya Indonesia, sedangkan hanya 75 negara yang mengalami kemajuan untuk menciptakan perdamaian di negara masing-masing. Penurunan perdamaian yang ada di dunia, menurut laporan tersebut, terjadi karena peningkatan aksi terorisme dan konflik yang ada di setiap negara. Nah, tentu kamu juga pasti pernah mendengar bahwa dalam kurun waktu 1 tahun ke belakang, terjadi banyak aksi terorisme di beberapa kota di Indonesia.

Lalu, apakah kita masih bisa tenang-tenang saja dengan fakta ini?

Tentu, kamu bisa menjalani kehidupanmu dengan tenang tanpa memedulikan hal ini. Tapi sayangnya itu bukanlah tindakan yang bijak. Banyak teman kita di luar sana yang masih memiliki ketakutan hidup untuk digusur, menjadi korban konflik, bahkan ketakutan menjadi korban kekerasan karena kerap dianggap sesat. Bagi kita yang lahir dan tinggal di kota-kota yang “aman” konflik seperti Jakarta tentu tidak memiliki ketakutan besar seperti mereka. Bahkan, tidak jarang dari kita yang tidak mengetahui adanya konflik-konflik tersebut di berbagai daerah di Indonesia.

Kadang memang langkah awal untuk menciptakan perdamaian harus dimulai dari diri sendiri. Kira-kira itulah yang diungkapkan Umamah Nisaul Jannah, anak muda pegiat perdamaian, yang aktif menyuarakan toleransi melalui komunitas PANDAI (Pendidikan Damai Indonesia). Melalui presentasinya di Dialog Muda Waktunya Diskusi: Di Setiap Kamu Ada Toleransi!, Umamah berpesan pada anak muda bahwa kita harus berpikir adil terlebih dahulu untuk menyuarakan perdamaian. Dialog ini pun diadakan untuk merayakan 90 tahun Sumpah Pemuda, menguatkan ikrar anak muda Indonesia untuk menjaga keberagaman di Indonesia.

“Adil dari pikiran”, memang konsep yang kadang sulit dicerna sebaik-baiknya oleh orang. Banyak orang di luar sana yang masih berpikiran, “Ya, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama. Tapi, jika sudah menikah, perempuan harusnya di rumah saja, biar laki-laki yang bekerja.” Lantas, di mana letak adilnya? Jika memang percaya bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama, tentu seharusnya perempuan juga memiliki hak untuk bisa bekerja.

Betul begitu?

Nah, pikiran yang sama seharusnya kita terapkan bagi seluruh manusia tanpa harus membeda-bedakan kepercayaan, warna kulit, ras, orientasi seksual, siapa bapaknya, di mana rumahnya, apa kerjanya, dan lain sebagainya. Setiap manusia memiliki hak untuk menikmati perdamaian, setiap manusia memiliki hak untuk hidup aman. Setuju?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content