Melamun bersama Pamflet Generasi: Orang Muda dan Masa Depan Kopi di Tengah Krisis Iklim

kopi 5

Ditulis oleh: Anggita Raissa

Kopi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang muda di Indonesia. Terlebih, menjamurnya gerai kopi nan estetik telah mewadahi tren minum kopi orang muda—menjadikan aktivitas “ngopi” sebagai sebuah gaya hidup.

Seturut data dari Jakpat, persentase Gen Z di Indonesia yang meminum kopi setiap harinya berjumlah 66%. Sebanyak 37% orang meminum kopi untuk meningkatkan fokus saat bekerja dan sebanyak 45% peminum kopi menjadikan ngopi sebagai sarana untuk bersosialisasi.

Namun, kopi, minuman yang begitu dicintai itu, kini menghadapi ancaman serius dari krisis iklim. Perubahan iklim memengaruhi produksi kopi secara signifikan, terutama di negara-negara produsen seperti Indonesia.

Merespons tantangan tersebut,, Pamflet Generasi mengadakan kegiatan “Melamun” dengan tema “Masa Depan dalam Cangkir Kopi” pada Minggu, 11 Agustus 2024. Melamun sendiri merupakan serangkaian ruang diskusi yang meletakkan peserta sebagai aktor utama dalam proses produksi dan reproduksi pengetahuan, sembari mengajak untuk membayangkan ulang realita sosial di sekitar. 

Acara ini menjadi bagian dalam rangkaian perayaan Hari Orang Muda Sedunia yang diperingati setiap tanggal 12 Agustus. Tujuan dari kegiatan ini untuk memahami bagaimana krisis iklim dapat mengancam masa depan kopi di Indonesia dan memengaruhi kehidupan kita sehari-hari. 

Dalam kegiatan Melamun, peserta yang hadir cukup beragam, mulai dari mahasiswa, pekerja, pegiat lingkungan, pegiat HAM, teman netra, dan teman Tuli. 

Kegiatan melamun diawali dengan coffee cupping yang dijelaskan langsung oleh Zul (24), kurator kopi dari Libertad Union Coffee Roaster. Coffee cupping adalah metode yang digunakan untuk menilai dan mengevaluasi kualitas kopi. Metode ini digunakan untuk menganalisis berbagai aspek rasa dan aroma kopi.

“Kopi itu tidak konsisten secara kualitas dari tahun ke tahun dan setiap panen ke panen termasuk seduhannya. Nah, seduhan ini jadi jalan akhir untuk kita mengkurasi kopi. Metode ini digunakan dari hulu ke hilir, artinya dari petani sampai ke barista dengan tujuan mengevaluasi rasa kopi,” ujar Zul saat memaparkan materi coffee cupping kepada peserta melamun.

Gambar 1: Para peserta kegiatan terlihat antusias saat menyimak presentasi dari Zul mengenai materi coffee cupping.

Kata Zul, kondisi iklim juga berpengaruh terhadap kualitas kopi. Faktor-faktor seperti suhu, kelembaban, dan curah hujan memainkan peran penting dalam menentukan kualitas biji kopi. Masih kata Zul, ketika iklim tidak stabil, tanaman kopi dapat mengalami stres, yang menyebabkan perubahan dalam rasa dan aroma biji kopi. Sebuah studi menunjukkan jumlah lahan yang cocok untuk budidaya kopi berpotensi berkurang sebesar 50% pada 2050 nanti akibat dari krisis iklim.

“Tanaman Kopi membutuhkan Ph tanah yang baik, curah hujan, ketinggian, suhu dan lainnya di lingkungan sekitar untuk tumbuh. jika hal tersebut tidak memenuhi standar, maka akan berpengaruh terhadap kualitas atau kuantitas panen,” ujarnya.

Setelah proses cupping selesai, Zul menerangkan kopi dapat dievaluasi menggunakan score sheet atau lembar penilaian. Score sheet dapat membantu menilai kualitas kopi berdasarkan aroma, rasa, tingkat keasaman (acidity), sampai rasa sisa setelah mencicipi kopi (aftertaste).

Gambar 2: Zul tengah mempresentasikan materi score sheet yang digunakan dalam proses coffee cupping untuk mencatat dan menilai berbagai aspek dari kopi. 

Gambar 3: Peserta sedang melakukan cupping. Mereka mencicipi tiga origin kopi yang berbeda-beda.

“Karena metode ini terlalu rumit untuk kita lakukan. Jadi, hari ini kita akan menilai rasa kopi dari lidah kita sendiri,” imbuh Zul.

Setelah melakukan cupping, peserta diajak untuk melamun lewat pertanyaan-pertanyaan reflektif yang kemudian didiskusikan bersama-sama, mulai dari pertanyaan, jika kopi hilang apa yang berubah dalam hidupmu? Kemudian ada juga pertanyaan terkait lingkungan seperti apa yang membuat pengalaman minum kopi menjadi lebih ideal?Diskusi ini bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai hubungan pribadi peserta dengan kopi dan dampaknya terhadap keseharian mereka.

Apa yang akan berubah dalam hidupmu jika kopi hilang?

Nisa (21), salah seorang teman Tuli punya pendapat soal pertanyaan tersebut, baginya kopi dapat memengaruhi tingkat energi seseorang. Kopi jadi cara jitu Nisa untuk menghilangkan rasa kantuk saat belajar. Tanpa kopi, ia merasa sulit untuk mempertahankan konsentrasi dan produktivitasnya. 

 “Kopi membantu saya tetap terjaga dan fokus saat menghadapi banyak tugas kuliah dan ujian,” jelas Nisa. 

Senada dengan Nisa, Ninies (29)  juga mengungkapkan kekhawatirannya ketika kopi hilang akan memengaruhi caranya merencanakan dan menjalani hari-harinya. Ninies juga memikirkan kemungkinan harus menyesuaikan aktivitasnya dan menemukan cara baru untuk mengatasi stres.

“Saya khawatir saya akan kehilangan cara efektif untuk mengatasi kelelahan dan mungkin harus mencari metode lain yang tidak seefektif kopi,” katanya. 

Keduanya, Nisa dan Ninies, menyadari betapa kopi memainkan peran penting dalam kehidupan mereka, tidak hanya sebagai penyulut energi, tetapi juga sebagai bagian dari rutinitas yang memberikan kenyamanan yang membentuk aktivitas mereka sehari-hari. Diskusi ini menggambarkan betapa kedekatan dengan kopi bisa menjadi hal yang sangat pribadi dan memengaruhi banyak aspek kehidupan sehari-hari.

Kegiatan melamun ini juga menantang peserta untuk membayangkan lingkungan ideal yang dapat mendukung pengalaman minum kopi di masa depan. Tentu, dengan tantangan perubahan iklim yang mengancam keberadaan kopi.

“Dalam lamunanmu, lingkungan seperti apa yang menurutmu dapat membuat pengalaman minum kopi lebih ideal?”

Krisis Iklim Bikin Akses Ngopi Makin Terbatas

Kopi yang kita nikmati tentu tidak muncul begitu saja di meja kita. Ada rantai panjang mulai dari penanaman hingga pemrosesan yang melibatkan banyak pihak. Tanaman kopi membutuhkan kondisi iklim yang stabil untuk tumbuh dengan baik. Namun, perubahan iklim yang makin ekstrem mengancam kestabilan tanaman kopi.

Krisis iklim, seperti kenaikan suhu global dan perubahan pola hujan, dapat memengaruhi kualitas dan kuantitas hasil panen kopi. Ini bukan hanya tentang perubahan rasa atau aroma, tetapi juga tentang dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas. Tanaman kopi yang terancam oleh perubahan iklim bisa menjadi lebih sulit ditemukan, dan akibatnya, kopi bisa menjadi barang yang mahal atau bahkan berujung langka.

Gambar 4: Para peserta melamun sedang berdiskusi mengenai dampak yang ditimbulkan dari krisis iklim terhadap tanaman kopi yang juga berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari.

Eca (39), salah satu peserta dalam diskusi melamun berpendapat bahwa krisis iklim telah memengaruhi harga kopi secara signifikan. Menurutnya, perubahan cuaca ekstrem dan suhu yang tidak menentu akibat hilangnya tutupan hutan, berpengaruh terhadap kelangsungan tanaman kopi.

“Hari gini, tuh, harga kopi di kota-kota besar makin mahal. Selain itu, tutupan hutan sudah berkurang, jadi mungkin ini juga yang membuat harga kopi mahal karena krisis iklim,” kata Eca.

Berbeda dengan Eca, Gemma (26) memandang kopi mahal sebagai akibat dari proses industrialisasi kopi yang  membuat beberapa orang sulit untuk mengakses kopi dengan setara.

“Komunitas kopi setiap daerah itu berbeda-beda. Dari kopi sebenarnya kita bisa melihat bagaimana kemiskinan yang timpang juga memengaruhi kita untuk mengakses kopi. Kalo di daerah, segelas kopi itu masih dikisaran harga Rp10 ribu-Rp15 ribu. Tapi kalau di Jakarta secangkir kopi bisa dibandrol harga mulai dari Rp40 ribu,” kata Gemma.

Menjaga Secangkir Kopi Tetap Ada

Ebi (21) peserta dalam kegiatan melamun mengungkapkan pentingnya kesadaran terhadap dampak perubahan iklim dalam kehidupan sehari-hari.

“Kopi yang kita minum itu nggak tiba-tiba ada di meja kita. Ada proses panjang di sana, ada faktor lingkungan, sosial, dan ekonomi. kalau krisis iklim terus-terusan terjadi, dampak terhadap kualitas jenis-jenis kopi tersebut bisa kita rasain langsung, kopi bisa aja jadi barang langka. Terus nanti akan berdampak ke roda-roda perekonomian, petani kopi yang paling dirugikan di sana. Kopi nanti jadi mahal banget, kalau kopi mahal nggak semua orang bisa ngerasain nikmatnya kopi lagi. Makannya, aku percaya isu krisis iklim ini, isu yang penting buat dibahas sama siapapun,” kata Ebi.

Ebi juga berpendapat bahwa kenikmatan sederhana seperti secangkir kopi bukanlah hal yang bisa dianggap remeh, karena perubahan iklim dapat mengancam keberadaan tanaman kopi dan aksesibilitas bagi siapa saja yang mengambil manfaat dari kopi. Ia juga berharap akan ada banyak orang yang semakin peduli dengan isu ini agar eksistensi kopi terus ada.

“Di dunia yang enggak ideal ini, di mana suhu bumi makin panas, polusi udara terus terjadi, semoga kita bisa terus ngerasain kenikmatan-kenikmatan kecil yang diberi langsung sama alam,” ungkap Ebi.

Dengan meningkatkan kesadaran dan bertindak secara kolektif, kita dapat melindungi kenikmatan-kenikmatan kecil yang kita nikmati dari alam, dan memastikan bahwa generasi mendatang juga dapat merasakannya. 

Jadi, ayo ambil peranmu untuk kebaikan bumi, sekarang!

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content