Soyez realistes, demandez l’impossible!
Be realistic, ask the impossible!
Latar Belakang
Secara garis besar, tahun 60-an bisa dibilang merupakan titik balik bagi banyak negara di belahan dunia untuk menuntut kemerdekaan individu, atau bahkan kemerdekaan negaranya sendiri (Watch: The Sixties: The Years That Shaped a Generation): Perang Vietnam contohnya yang memunculkan demonstrasi besar-besaran warga Amerika Serikat yang menentang hal tersebut (dan demonstrasi di berbagai negara di Eropa dengan pesan yang sama), Nixon, Prague Spring, Che Guevara, Perang Sipil Nigeria, Laos, dan Sudan, cultural revolution in China, atau penjajahan Prancis terhadap Algeria yang akhirnya berakhir pada tahun 1962 dimana resolusi PBB untuk membentuk sebuah referendum menghasilkan kesimpulan bahwa 99.72% warga Algeria menginginkan kemerdekaan. Dengan demikian, kekuasaan Prancis yang waktu itu di bawah pemerintahan Guy Mollet, berakhir. Kekuasaan Prancis kemudian beralih ke Charles de Gaulle (setelah memenangkan pemungutan suara melawan Mendes France dan Mitterand), seorang Jenderal yang memiliki pengaruh pada zaman perang dunia ke-2, dimana partai buatannya, Gouvernement Provisoire de la République Francaise, adalah partai yang diakui Amerika dan Inggris (dan menganggap de Gaulle adalah presiden Perancis itu sendiri). de Gaulle sendiri merupakan anti komunis.
Charles de Gaulle dinilai sebagai pemimpin yang karismatik, pembawa perubahan, dan pelaksana modernisasi di Prancis. Ia berambisi menjadikan Prancis sebagai negara industri besar menyaingi Jepang, Jerman, Inggris, Italia, Amerika Serikat, dan Kanada. Dengan ambisi memperkerjakan 6 juta orang dalam bidang industri dan 14.4 juta orang bergerak dalam bidang perdagangan dan jasa, de Gaulle menerapkan sistem pendidikan yang menampung sebanyak-banyaknya pelajar untuk menghasilkan tenaga kerja yang juga melimpah. Namun sayangnya ambisi ini tidak dibarengi dengan peningkatan taraf hidup masyarakat yang memadai.
Pada tahun 1967, Prancis mengalami kemunduran di bidang pendidikan yang cukup signifikan berupa membludaknya pelajar yang memenuhi setiap universitas di Prancis. Pada masa itu, Prancis menampung 514.000 – 750.000 pelajar (jumlah pelajar tiga kali lipat dibanding masa pemerintahan sebelumnya yang hanya sekitar 170.000) dengan ketersediaan universitas di daerah yang tidak sesuai dengan penambahan jumlah pelajar tersebut (penambahan jumlah institusi hanya dapat menampung penambahan pelajar dua kali lipat). Hal ini sangat berbeda dengan keadaan di negara saingannya, yaitu Jerman dan Inggris, dimana kedua negara tersebut hanya memiliki 300.000 – 350.000 pelajar dengan keadaan ekonomi yang jauh lebih baik dibanding Prancis. Kenyataan pahit lainnya adalah hanya 52% pelajar pra kedokteran, 42% pelajar humaniora, dan 36% pelajar hukum dapat melanjutkan pendidikannya ke tahun kedua kuliah. Bahkan, 25% dari seluruh pelajar yang ada di Prancis tidak mengikuti ujian di tahun pertama. Hal ini mengakibatkan hanya terdapat 30-40% pelajar menyelesaikan kuliahnya dan mendapatkan gelar.
Tidak hanya dalam bidang pendidikan, ketimpangan juga terjadi di bidang perekonomian dimana kelas pekerja dibayar sangat rendah. Meskipun kegiatan ekspor-impor menjadi tiga kali lipat lebih banyak, namun tetap saja 25% dari seluruh pekerja di Prancis dibayar kurang dari 500 franc (46 Euro) per bulan. Bahkan bagi pekerja yang tidak memiliki keahlian hanya dibayar 400 franc per bulan, dan pengangguran mencapai angka setengah juta jiwa.
Egalite, Liberte, Sexualite!
Selain isu membludaknya pelajar di Prancis yang tidak dibarengi dengan ketersediaan universitas untuk menampung para pelajar tersebut, pendidikan di Prancis juga dibayang-bayangi dengan sistem yang mengekang, ketinggalan zaman, dan ‘membosankan’. Keadaan ini diperparah dengan adanya peraturan pemerintah (dari Kementerian Pendidikan) untuk membatasi kebebasan kegiatan mahasiswa di universitas yang dikeluarkan pada 22 Februari 1968. Penolakan terhadap aturan ini, juga penolakan terhadap opresi kebebasan berbicara dan membuat sebuah gerakan, tentu telah dilakukan oleh banyak mahasiswa di Prancis bahkan sebelum peraturan tersebut dikeluarkan (contohnya gerakan mahasiswa menentang Perang Vietnam). Namun, terdapat satu mahasiswa Prancis keturunan Jerman yang berhasil mendapatkan dukungan banyak mahasiswa lainnya dengan menentang peraturan universitas yang tidak memperbolehkan mahasiswa perempuan mengunjungi asrama mahasiswa laki-laki. Dengan mengangkat isu opresi pemerintah terhadap kehidupan seksual mahasiswa sebagai bentuk opresi politik dan spiritual, Daniel Cohn-Bendit menjadi satu tokoh yang berpengaruh dalam revolusi yang kemudian berkembang di Prancis.
Isu opresi pemerintah ini kemudian berkembang tidak hanya pada isu seksualitas, namun akhirnya juga menentang sistem pendidikan di Prancis yang ketinggalan zaman, terbatasnya fasilitas pendidikan di Prancis, diskriminasi kelas dalam kehidupan sosial di Prancis, serta birokrasi politik yang mengontrol pendanaan universitas. Aksi pertama yang sangat tidak diduga adalah aksi masuk paksa 8 mahasiswa ke ruangan rektor di Paris University at Nanterre untuk memprotes penahanan 6 anggota National Vietnam Committee. Cohn-Bendit, yang termasuk dalam 8 mahasiwa tersebut, beserta 150 mahasiswa lainnya menguasai ruangan rektor hingga akhirnya polisi dipanggil untuk mengamankan situasi. Tidak ada yang terluka dalam aksi itu dan mahasiswa segera membubarkan diri setelah menyampaikan keinginannya, namun sehari setelah insiden, beberapa pimpinan ‘Gerakan 22 Maret’ ini dipanggil oleh komite kedisiplinan universitas.
Aksi Lanjutan
Banyaknya aksi yang terjadi setelah peristiwa pada tanggal 22 Maret di Paris University at Nanterre menyebabkan pihak kampus menutup universitas pada 2 Mei 1968 dan menghentikan kegiatan perkuliahan. Sehari setelahnya para mahasiswa mengadakan pertemuan di Sorbonne University pada 3 Mei 1968 merencanakan aksi menentang penutupan universitas dan mengancam akan mengadakan aksi besar-besaran agar pemerintah kembali membuka universitas. Hal ini mengakibatkan adanya invasi polisi di Sorbonne University untuk menghentikan kegiatan mahasiswa tersebut. Menanggapi invasi polisi, UNEF (Union Nationale des Etudiants de France) dan serikat pengajar universitas mengadakan aksi menentang invasi polisi di Sorbonne University dengan mengumpulkan massa sebanyak lebih dari 20.000 orang pada 6 Mei dan mengadakan long march di Paris. Polisi kembali menyerang para demonstran dengan gas air mata dan menyerang secara brutal hingga berhasil menangkap 422 demonstran. Aksi brutal yang dilakukan oleh kedua belah pihak juga mengakibatkan ratusan orang terluka hingga The Boulevard St Germain penuh darah dan orang-orang menamai peristiwa ini dengan ‘Bloody Monday’.
Sehari setelah aksi tersebut pelajar SMA juga ikut dalam aksi lanjutan yang diadakan di Arc de Triomphe, untuk menuntut 3 hal: (1) Buka kembali Nantarre, (2) Tarik mundur polisi, dan (3) Bebaskan para tahanan mahasiswa. Negosiasi tersebut ternyata gagal karena meski aksi bubar dengan damai dan para mahasiswa mengira bisa kembali kuliah pada keesokan harinya, universitas tetap ditutup dan dijaga ketat oleh polisi. Aksi terus berlanjut hingga 10 Mei dimana 30.000 demonstran berkumpul di Place Defret Rochercau dan berencana mengadakan long march ke Sorbonne University melewati The Boulevard St Germain yang masih diblokade oleh Compagnies Republicaines de Securite (polisi huru hara Prancis). Konfrontasi yang berlangsung dari malam hingga pagi hari ini menyebabkan ratusan pelajar dan pengajar ditahan dan ratusan lainnya luka-luka. Kejadian ini menginisiasi aksi yang akan dilakukan oleh kelompok pekerja pada hari-hari berikutnya. Untuk mencegah adanya aksi brutal dan mengirim para mahasiswa kembali berkuliah, Perdana Menteri saat itu, Georges Pompidou, mengumumkan bahwa Sorbonne University akan dibuka kembali pada 13 Mei dan tahanan mahasiswa akan dibebaskan. Kemenangan kecil ini justru menyulut kelompok pekerja untuk mulai mengadakan aksi pada hari pembukaan universitas.
Kelompok Pekerja dan Pelajar Aksi Bersama
Meskipun beberapa tuntutan mahasiswa dipenuhi, namun aksi terus berlanjut dan semakin bertambah karena kelompok pekerja ikut meramaikan aksi dengan tuntutannya sendiri. Lebih dari 1 juta demonstran memenuhi jalan utama di Paris untuk menuntut perbaikan sistem pendidikan (dan juga sistem ekonomi). Tuntutan pekerja yang paling ekstrem adalah mengganti Charles de Gaulle dengan semboyan “De Gaulle Assassin”. Hari-hari selanjutnya aksi demonstrasi menyebar di berbagai daerah di Prancis dan aksi mogok kerja terjadi di total 50 perusahaan pada 16 Mei dan meningkat menjadi 122 perusahaan pada 19 Mei, yang mengakibatkan perekonomian Prancis lumpuh. Total pekerja, pelajar, dan mahasiswa yang berpartisipasi dalam mogok kerja dan demonstrasi (brutal) adalah sebanyak 10 juta jiwa terhitung sampai tanggal 20 Mei.
Pada tanggal 20 Mei, kelompok pekerja Orly dan French Television (ORTF) mengumumkan tuntutannya yang meliputi (1) Jam kerja total 40 hari seminggu, (2) Usia pensiun lebih awal, (3) Penghapusan undang-undang larangan mogok kerja tahun 1963, (4) Upah minimum 1000 franc per minggu, dan (5) Penghentian campur tangan pemerintah dalam tayangan televisi. Sedangkan kelompok pekerja yang tergabung dalam serikat pekerja menuntut kenaikan upah minimun sebanyak 35%, kenaikan upah 7% bagi pekerja lainnya (?), dan pembayaran gaji yang tetap dilaksanakan sebesar 50% meski pekerja sedang mogok kerja. Pada 25 dan 26 Mei, kesepakatan Grenelle diadakan oleh Kementerian Sosial untuk meningkatkan upah minimun sebesar 25% dan menaikkan rata-rata gaji sebesar 10%. Kesepakatan ini ditolak oleh para pekerja dan aksi mogok kerja terus berlanjut.
Pada 27 Mei 1968, UNEF mengadakan pertemuan yang dihadiri mahasiswa hingga mencapai 50.000 orang di Stade Sebastien Charlety dengan menghasilkan kesepakatan bahwa pemerintah harus diganti dengan pemilihan umum ulang. Melihat kesempatan ini, Francois Mitterrand dan Pierre Mendes France mengungkapkan kesediaannya mencalonkan diri untuk (kembali) melawan Charles de Gaulle. Menanggapi hal ini , de Gaulle pergi dari Prancis mencari dukungan dari pihak militer Prancis (yang kantornya ada di Jerman) secara diam-diam (rakyat Prancis mengira ia pergi ke suatu tempat untuk mempersiapkan pidato pengunduran diri). Ia kemudian kembali ke Prancis untuk mengadakan rapat bersama para menteri dan menetapkan akan adanya pemilihan umum pada 23 Juni 1968, dimana ia memenangkan kembali pemilihan tersebut dengan kekuasaan The Gaullist menempati 353 kursi parlemen dari 486 kursi yang tersedia (Komunis berhasil meraih 34 kursi dan Sosialis sebanyak 57 kursi). Kekuasaan de Gaulle berlanjut sampai tahun 1969 dimana ia mengundurkan diri dan diganti oleh Georges Pompidou. Survei yang diadakan setelah krisis 68 menyatakan bahwa mayoritas rakyat Prancis melihat de Gaulle sebagai sosok yang sudah terlalu tua, terlalu self centered, terlalu otoriter, terlalu konservatif, dan terlalu anti Amerika. Prancis, yang terlalu tidak siap dengan konsep Sosialis atau Komunis, memilih ‘Gaullism without de Gaulle’. Peristiwa bersejarah Paris 68 berakhir, namun perjuangan para aktivisnya tidak sampai di situ.
Taktik (related to Beautiful Trouble)
Taktik yang digunakan dalam peristiwa Paris 68 mayoritas adalah dengan melakukan aksi demonstrasi yang dilakukan hampir setiap hari selama akhir bulan Maret hingga akhir Mei 1968. Demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok pelajar, pengajar, mahasiswa, dan buruh ini bisa dibilang dilakukan dengan cara yang tidak damai. Baik pihak polisi maupun demonstran menggunakan kekerasan untuk mencoba memukul mundur satu sama lain, polisi dengan pentungan dan gas air mata, sedangkan demonstran menggunakan batu dan bom molotov. Hal ini tercermin dari slogan yang sering disebut dan muncul dalam poster berbunyi “Sous les paves, la plage!” (Di bawah batu bata, ada pantai!) atau “I love you!! Oh, say it with paving stones!!”.
Selain demonstrasi yang dilakukan terus menerus, dan mogok kerja yang dilakukan jutaan pekerja di seluruh Prancis, tuntutan para demonstran juga dicetak dalam ribuan poster yang ditempel diam-diam di universitas dan tembok-tembok di jalan utama di Prancis dengan slogan-slogan berbunyi Il est interdit d’interdire (it is forbidden to forbid), Jouissez sans entraves (Enjoy without hindrance), Je suis Marxiste-tendance Groucho (I’m a Marxist-of the Groucho tendency), dan Soyez realistes, demandes l’impossible (Be realistic, ask the impossible).
Inspirasi
Peristiwa Paris 68 menjadi inspirasi bagi banyak seniman untuk menciptakan lagu dan film dari kejadian tersebut. Berikut ini beberapa contoh film dan lagu yang terinspirasi dari kejadian Paris 68t:
- (Film) The Francois Truffaut film Baisers voles (1968) atau Stolen kisses.
- (Film) The Andre Cayatte film Mourir d’aimer (1971) atau To die of love.
- (Film) The Bernardo Bertolucci film The Dreamers (2003).
- (Film) The Oliver Assayas film Something in the Air (2012).
- (Musik) Leo Ferre, “L’Ete 68”, “Comme une fille” (1969), “Paris je ne t’aime plus” (1970), “La Violence et l’Ennui” (1971), “Il n’y plus rien” (1973), dan “La Nostalgie” (1970)
- (Musik) Claude Naugaro “Paris Mai” (1969)
- (Musik) The Stone Roses “Bye Bye Badman”
- (Musik) Ismael Serrano “papa cuentame otra vez” atau Papa, tell me again.
Analisis
Meski pada akhirnya de Gaulle mengundurkan diri dan meninggal pada tahun berikutnya di usianya yang ke-80, apa yang dicita-citakan para demonstran Paris 68 bisa dibilang tidak tercapai. Sebagai contoh, keinginan para mahasiswa untuk melaksanakan pemilu ulang, meskipun berjalan, namun keinginannya untuk menyingkirkan de Gaulle gagal dikarenakan mayoritas masyarakat Prancis yang menilai buruk gerakan yang mereka lakukan (di samping mereka tidak siap dengan ide Sosialis ataupun Komunis). Sebuah komentar rakyat Prancis bahkan mengatakan bahwa aktivitas mahasiswa kiri saat itu sebagai “behaved like irresponsible utopianists who wanted to destroy the consumer society”. Mungkin cara demonstrasi ‘holigan’ yang diterapkan Cohn-Bendit dan teman-temannya pada waktu itu memberikan citra buruk pada mereka sendiri, semulia apapun tujuan mereka.
Dermot Sreenan dalam tulisannya berjudul “25 Years Ago: When France Rebelled” (2008) menyatakan bahwa kegagalan Paris 68 meraih tujuannya dikarenakan gerakan ini kurang koordinasi dan taktik meski sudah berada pada poin krusial (dimana de Gaulle ketakutan kehilangan dukungan, pergi ke luar negeri secara diam-diam, dan kembali untuk setuju menyelenggarakan pemilu ulang). Terjadi perpecahan secara mendadak dalam tubuh gerakan ini dimana mereka tidak dapat memunculkan satu sosok pemimpin alternatif yang bisa menyaingi de Gaulle. Sreenan lebih jauh menyebut bahwa dalam gerakan Paris 68 “Many people had fine aspirations but not much idea of how to achieve those aims. Too many things were left to chance and the whole movement seemed to stumble on from day to day like a blind man.”
Sumber:
Seidman, Michael M. (2004). The Imaginary Revolution: Parisian Students and Workers in 1968. New York: Berghahn Books.
http://www.990px.pl/index.php/2013/05/13/maj-1968-w-paryzu/
https://www.marxists.org/history/france/may-1968/
http://www.nytimes.com/2008/05/11/world/europe/11iht-paris.4.12777919.html?_r=0
http://www.art-for-a-change.com/Paris/paris.html
http://struggle.ws/ws93/paris39.html
http://www.history.com/this-day-in-history/protests-mount-in-france
http://www.independent.co.uk/news/world/europe/egalit-libert-sexualit-paris-may-1968-784703.html
https://www.marxists.org/history/france/may-1968/timeline.htm