Melamun bersama Pamflet Generasi: Menciptakan Aksi Lingkungan yang Inklusif dan Ramah Disabilitas

AD_4nXd0MJa99yxUGm7ayW-ax4SXVCZGDkz-KfH9K1ql-aHtKzBzlkB4-Lf7SVPrj0tivMGnZFdrIdtppPqHnHU9QSsNFXl5wGuzpzRrqGdBBd7ObE9HcVkQc5l4VBZoTdzCTX1dPFVAboGp2f3QuIMCY8WRULtmkeyXCZ2-D1aYPVHij-YEQonXg

Ditulis oleh: Annisa Nurul Hidayah Surya

Melamun kerap diasosiasikan sebagai aktivitas yang membuang waktu, tidak menghasilkan sesuatu, hingga tidak berguna. Saat ini, dunia bergerak bersama kecepatan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Seolah-olah setiap detik penuh dengan tuntutan dan peluang. Melamun pun terasa seperti kemewahan yang tak lagi memiliki tempat dalam keseharian kita. 

Pamflet Generasi menjadikan Melamun menjadi serangkaian diskusi yang meletakkan peserta sebagai aktor utama proses produksi dan reproduksi pengetahuan yang berangkat dari pengalamannya. Dalam Melamun, setiap orang yang terlibat adalah sumber pengetahuan tersebut. Nama Melamun mewakili semangat menciptakan ruang aman bagi orang muda untuk membayangkan ulang realita sosial, terutama di tengah masalah sistemik yang mengakar. Pada Jumat, 9 Agustus 2024, Melamun mengangkat tema “Aksi Ramah Lingkungan, Sudahkah Ramah Disabilitas?” yang dilangsungkan di Neha Hub, Jakarta Selatan. 

Melamun kali ini merefleksikan berbagai aksi ramah lingkungan yang dilakukan nyatanya belum sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan penyandang disabilitas. Konsep “eco-ableism,” atau diskriminasi terhadap disabilitas dalam kebijakan dan aktivisme lingkungan, menjadi sorotan utama dalam acara ini. Peserta yang hadir berasal dari berbagai latar belakang, termasuk aktivis lingkungan, penyandang disabilitas, dan penggiat masyarakat sipil.

Bersama Rifka dan Ai sebagai fasilitator dari Pamflet Generasi, Melamun diawali dengan menyepakati nilai-nilai bersama (shared values). Rifka menjelaskan pentingnya menciptakan lingkungan diskusi yang inklusif dan ramah bagi semua peserta. Dia menekankan bahwa setiap pembicara harus menyebutkan nama terlebih dahulu sebelum berbicara, agar teman-teman Tuli dapat mengikuti dengan baik. “Saya sangat menyukai diskusi yang inklusif, sehingga saya ingin memastikan semua peserta dapat berpartisipasi dengan nyaman,’’ terang Rifka.

Selain itu, Rifka juga mengingatkan pentingnya berbicara pelan-pelan dan menghindari penggunaan kata-kata yang tidak spesifik seperti “ini” atau “itu,” untuk memastikan teman-teman disabilitas netra dapat memahami konteks diskusi dengan jelas. Ai kemudian melanjutkan dengan menambahkan aturan-aturan lainnya yang perlu diikuti selama diskusi berlangsung. Ia mencontohkan ‘’Peserta diminta untuk mengangkat tangan sebelum berbicara dan berbicara dengan ritme yang tidak begitu cepat agar Juru Bahasa Isyarat (JBI) dapat mengikuti percakapan dengan baik.’’

Dengan memperkenalkan budaya diskusi ini, Rifka dan Ai memastikan bahwa semua peserta merasa dihargai dan didengarkan, serta mampu menyampaikan pendapat mereka tanpa hambatan. Budaya ini tidak hanya mendukung inklusivitas, tetapi juga mendorong partisipasi aktif dan penuh makna dari semua peserta.

Tantangan dalam Menerapkan Gaya Hidup Ramah Lingkungan

Memasuki sesi diskusi, para peserta diminta untuk menunjukkan dan menceritakan barang sekali pakai yang paling sering digunakan. Selain itu, peserta juga diminta menunjukan gaya khas mereka. Rika Ayudia, salah satu peserta diskusi dari Sanggar Seroja, Jakarta Barat. Ia memiliki gaya khas suka bernyanyi dan sering karaoke, bahkan dia pernah mendapat juara satu dalam kontes menyanyi. Adapun barang sekali pakai yang kerap ia bawa adalah masker. “Sejak Covid, aku terbiasa memakai masker, meskipun sekarang sudah tidak Covid lagi, aku tetap menggunakan masker,’’ ujar Rika.

Peserta lainnya ialah Annisa dari Go Green Indonesia. Ia memiliki gaya khas suka bergumam saat mengerjakan sesuatu. Barang yang sering dia bawa adalah botol plastik air mineral. Karena meski ia membawa tumbler dan tempat makan sendiri, ia kerap kesulitan menemukan tempat untuk mengisi ulang air minumnya. “Aku sering mendapat diskon karena membawa tempat makan sendiri dan tetapi kadang sulit menemukan air isi ulang.’’ Bekas botolnya ia kerap gunakan untuk makanan kucing atau ia berikan pada bank sampah.

Selain Rika dan Annisa, peserta lain juga memperkenalkan dirinya, gaya khasnya, dan barang sekali pakai yang kerap mereka bawa.

Setelah semua peserta selesai berkenalan dan menjelaskan barang bawaannya serta menunjukkan gaya khasnya, Ai sebagai fasilitator diskusi kemudian mengarahkan diskusi dengan melontarkan sebuah pertanyaan kunci: “Masing-masing kita kan masih terikat dengan barang sekali pakai itu ya, nah, kalau dari teman-teman sendiri, bagaimana tantangan teman-teman dalam mengupayakan gaya hidup supaya lebih ramah lingkungan?”

Tantangan Diri dalam Mengupayakan Aksi Ramah Lingkungan

Retha, salah peserta diskusi mengatakan barang yang ia kerap bawa adalah celana dalam kertas yang dapat digulung. Saat travelling ia karap membawanya, karena barang itu membawa kenyamanan padanya. 

Peserta lain, Dede, mengatakan bahwa sebagai penyandang disabilitas fisik dan sosial, ia kesulitan celana memakai pembalut kain. “Aku mengalami tantangan saat menstruasi, di mana nyeri haid sangat kuat hingga membuatku lumpuh sementara dari H-7 hingga 3-4 hari. Ini menguras energi dan membuatku sulit bahkan untuk duduk’’ keluh Dede. Baginya pembalut sekali pakai menjadi pilihan yang lebih efisien.

Menariknya Dede menyadari mahalnya produk pembalut ramah lingkungan. Hal tersebut baginya menunjukan bahwa produsen belum memberikan belum memberikan pilihan produk yang ramah lingkungan dan ramah perempuan. Bagi perempuan pengguna kursi roda, menggunakan pembalut kain sangat sulit karena turun dari kursi roda dan mencucinya menjadi tantangan besar.

“Persoalan ekologi tidak hanya soal solusi individual, tetapi juga melibatkan peran produsen dan kebijakan negara. Perusahaan besar yang memproduksi kemasan sekali pakai sering kali tidak bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan. Regulasi dan korporasi jarang disorot sebagai penyebab kerusakan lingkungan yang besar. Kebanyakan solusi hanya fokus pada individu, padahal kita harus memperhatikan kebijakan dan regulasi yang dapat mencegah masalah ini secara lebih luas,’’ tegas Dede untuk memperjelas pendapatnya.

Bagi Annisa, penggunaan plastik sekali pakai tidak bisa dihindari. Satu hal yang penting baginya adalah bagaimana kita sendiri menghindari atau mengelola hal itu. Penting bagi Annisa agar ada regulasi dari pemerintah untuk pengelolaan sampah. “Di rumahku juga masih dicampur, seharusnya dipisah supaya di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tidak menumpuk. Kita perlu memilahnya sendiri,’’ tuturnya.

Menurut Rika, di Sanggar Seroja, mereka pernah melakukan upaya untuk menjaga lingkungan dengan membersihkan Kampung Duri yang padat penduduk. “Kami berhasil mengumpulkan berkarung-karung sampah. Dari limbah plastik yang kami kumpulkan, kami membuat baju-baju yang kemudian kami gunakan untuk pawai. Ini merupakan cara kami memanfaatkan limbah plastik secara kreatif”.

Chintya dari Koneksi Indonesia Inklusif melihat hal tersebut dari dua sisi, yaitu  perspektif internal dan eksternal. Baginya salah satu tantangan utama adalah kesadaran masyarakat tentang tanggung jawab mereka terhadap lingkungan. Masih banyak orang masih membuang sampah sembarangan dan merokok sembarangan. “Memang penting ada regulasi dan pengelolaan sampah, tetapi masyarakat juga perlu menyadari bahwa kita semua bertanggung jawab untuk menjaga lingkungan karena dampaknya akan dirasakan oleh semua,’’ tegas Chintya.

Refleksi Visual dalam Diskusi

Sesi selanjutnya dalam Melamun, peserta diminta untuk memberikan kesan pada gambar yang ditampilkan pada layar. Beberapa gambar di antaranya mengenai sedotan plastik, transportasi hijau, dan aksesibilitas.

Ketika gambar sedotan plastik ditampilkan, Anto merespons dengan mengaitkan penggunaan sedotan plastik dengan faktor ekonomi, mengamati bahwa sedotan plastik lebih murah dan praktis, meskipun merusak lingkungan. Yael dari Perempuan Mahardhika menambahkan bahwa beberapa disabilitas lebih memilih sedotan plastik karena ketidaknyamanan saat menggunakan alternatif yang lebih keras, seperti sedotan stainless. “Gambar ini menyoroti bagaimana penggunaan sedotan plastik lebih ekonomis dan praktis, tetapi beberapa kawan disabilitas merasa tidak nyaman dengan sedotan stainless atau besi, sehingga mereka lebih memilih plastik,’’ kata Yael. Senada dengan Yael, Dhiba menyatakan bahwa sedotan plastik adalah alternatif dari sedotan stainless yang lebih beresiko. Senada dengan Dhiba, Rika menganggap bahwa penggunaan sedotan plastik oleh pria tersebut lebih efektif dan memudahkan.

Selanjutnya, terdapat gambar poster himbauan dari Dinas Perhubungan Aceh tentang transportasi hijau. Terdapat gambar kendaraan listrik, beserta bis, dan beberapa detail lainnya. Mengenai hal ini, menurut Dede kendaraan listrik bisa menjadi “solusi palsu” jika tidak mempertimbangkan dampak dari ekstraksi bahan baku seperti nikel. “Kita harus melihat lebih dalam dari sekadar kendaraan listriknya itu sendiri dan mempertimbangkan dampak dari bahan tambang yang digunakan,’’ ujar Dede. Sementara itu, Retha mengkritik kendaraan listrik karena kurang ramah bagi disabilitas netra, yang merasa terancam oleh kendaraan yang tidak bersuara. “Saya mewakili teman-teman netra, dan kendaraan listrik bisa berbahaya karena tidak bersuara, membuatnya sulit dideteksi. Di masa lalu, kendaraan yang berbunyi memberikan peringatan, yang lebih aman bagi kami,’’ kata Retha.

Gambar lainnya, menunjukkan seorang lansia menggunakan tongkat untuk naik bus, memperlihatkan kekurangan dalam aksesibilitas transportasi umum. Rika menekankan pentingnya adanya petugas yang membantu mempermudah akses bagi disabilitas. Yael menyoroti bahwa kebijakan pemerintah sering kali tidak melibatkan kelompok disabilitas dalam proses perencanaan, sementara Dede menyebutkan bahwa fasilitas transportasi di Jakarta masih kurang, meskipun beberapa perbaikan telah dilakukan. “Di negara lain, seperti di Sydney, ada fasilitas ramah yang memudahkan akses bagi kursi roda’’ keluh Dede.

Diskriminasi dalam Aksi Ramah Lingkungan terhadap Disabilitas

Selanjutnya, fasilitator mengalihkan diskusi ke pertanyaan kunci kedua, “Apakah peserta pernah membayangkan bentuk aksi ramah lingkungan yang mendiskriminasi disabilitas?’. Dede dari PJS menjawab bahwa dalam krisis iklim, banyak penyandang disabilitas psikososial, seperti yang terjadi di Kudus dan Demak, malah terpinggirkan.

Mereka diisolasi dan tidak dievakuasi saat bencana alam terjadi, yang menurut Dede hal ini memperkuat diskriminasi yang ada. “Krisis iklim memperkuat diskriminasi terhadap disabilitas, terutama disabilitas psikososial yang sering dianggap tidak manusiawi. Ketika terjadi bencana, hanya orang yang dianggap “non disabilitas” yang diselamatkan,’’ ujarnya.

Yasmine menyoroti bahwa aksi ramah lingkungan, seperti slow fashion yang tidak melibatkan teman-teman Tuli, sering kali hanya memperkuat diskriminasi yang ada. Becca menambahkan bahwa upaya pengurangan plastik dan promosi pangan berkelanjutan sering kali tidak mempertimbangkan keterbatasan teman-teman autoimun, yang berdampak pada aksesibilitas mereka terhadap makanan.

Retha juga mencatat bahwa sering kali bahasa yang digunakan dalam kebijakan lingkungan terlalu teknis dan tidak mudah dipahami, bahkan oleh penyandang disabilitas sendiri. Sedangkan Annisa menekankan pentingnya melibatkan ragam disabilitas dalam komunikasi dan edukasi untuk memastikan inklusi yang lebih baik  “Kadang-kadang, bahasa yang digunakan terlalu tinggi dan tidak mudah dipahami, bahkan oleh kami sendiri yang memiliki disabilitas,” ujar Retha.

Kondisi Ideal Bagi Penyandang Disabilitas

Sampailah pada pertanyaan kunci ketiga yang dipandu oleh fasilitator, “Seperti apa kondisi ideal lingkungan yang ramah disabilitas?” Untuk menjawab pertanyaan penutup ini, peserta diminta untuk menggambarkan serta menuliskan beberapa kata yang mencerminkan gambar tersebut. Setelahnya, peserta dapat memaparkan dengan singkat tentang maksud gambar, simbol, atau kata-kata yang mereka tulis dan gambarkan secara individu.

Aneu, pemagang dari Pamflet Generasi menggambar simbol-simbol yang mencerminkan panduan aksesibilitas: “Tanyakan, bunyikan, visualisasikan, dan mudahkan aksesnya.”  Dalam gambarnya, ada gambar toa, subtitle, dan panah arah. Ini menunjukkan pentingnya melibatkan penyandang disabilitas dalam proses pembuatan kebijakan ramah lingkungan, serta menyoroti kebutuhan spesifik seperti sensor pada motor listrik yang sunyi dan visualisasi informasi di transportasi umum bagi penyandang Tuli.

Becca, dengan gambar semburat warna-warni, berharap dunia ideal yang dia bayangkan berbeda secara signifikan dari dunia sekarang. “Aku berharap dunia ideal ini banyak berbeda dari dunia sekarang,” ujarnya, menekankan keinginan untuk perubahan yang nyata dan mendalam.

Annisa menekankan pentingnya aksesibilitas dengan mengatakan, “Setiap orang berhak mendapat aksesibilitas. Perlu teman-teman disabilitas ini terlibat dalam kebijakan pemerintah.” Ini menegaskan bahwa integrasi penyandang disabilitas dalam proses pengambilan keputusan adalah langkah kunci menuju inklusivitas yang lebih besar.

Gambar 1: Yael menunjukkan gambarnya.

Yael memilih bunga matahari sebagai simbol ruang aman, menggambarkan bagaimana elemen yang sederhana namun menyenangkan dapat menciptakan lingkungan yang mendukung bagi semua orang, termasuk penyandang disabilitas. “Bunga matahari itu seperti ruang aman bagi orang-orang,” katanya, menyoroti pentingnya menciptakan ruang yang menyenangkan dan menenangkan bagi semua individu. 

Chintya menambahkan perspektif mengenai bunga matahari, yang juga menjadi lambang dari invisible disability di Amerika Serikat. Ia sendiri tidak menggambar karena merasa sulit memvisualisasikan idenya. Namun ia menulis “Semua orang berhak hidup aman dan layak.” Hal ini menunjukkan kesadaran akan kebutuhan untuk menyertakan berbagai jenis disabilitas dalam diskusi dan kebijakan.

Dhiba menggambar taman inklusi dengan akses untuk berbagai jenis disabilitas dan bus yang belum memiliki ram. “Saya gambar itu, dan beberapa simbol yang dipahami kawan-kawan disabilitas intelektual,” ujarnya, menunjukkan upaya untuk memvisualisasikan solusi nyata dan praktis untuk masalah aksesibilitas.

Dede menggambar sesi diskusi Melamun kali ini bersama Pamflet Generasi, yang dalam percakapan diskusi sedari awal, telah menekankan pentingnya melibatkan penyandang disabilitas dari awal. “Disabilitas atau kelompok marjinal itu harus diawali dengan dilibatkan, lalu sediakan aksesnya,” ungkapnya, menyoroti pentingnya keterlibatan dan pemenuhan kebutuhan spesifik dalam proses perencanaan dan implementasi.

Retha menggambarkan lokasi hijau dengan berbagai jenis tanaman dan aksesibilitas yang berbeda. “Lingkungan, hijau, mudah diakses, dan ramah,” katanya, menekankan perlunya ruang yang memenuhi kebutuhan beragam individu dan menyediakan akses yang memadai.

Rika menggambar jalan dan kursi prioritas, menyoroti pentingnya aksesibilitas dalam kebijakan pemerintah. “Penting bagi pemerintah untuk memberi akses ini kepada kawan-kawan disabilitas,” katanya, sambil mengingatkan tentang pentingnya kebijakan yang adil dan inklusif.

Yasmin menggarisbawahi pentingnya fasilitas untuk mendukung kebiasaan buang sampah yang baik dan aksesibilitas HAM. “Keinginan saya lebih dari lima kata, ribuan kata, tapi itu saja,” ungkapnya, menekankan perlunya fasilitas yang mendukung kebiasaan ramah lingkungan sambil memastikan aksesibilitas bagi semua orang. 

Gambar 2: Anto sedang menggambar.

Anto menggambarkan rumah yang melindungi dari bencana dan diskriminasi. “Saya menggambar jalan yang bisa digunakan untuk semua orang,” katanya, menunjukkan bagaimana aksesibilitas dan perlindungan harus menjadi prioritas dalam desain lingkungan.

Teli menggambar pohon dengan kata-kata  “Agensi. Kondisi ideal lingkungan yang ramah disabilitas berawal dari akar yang kokoh, misal teman-teman disabilitas bisa dilibatkan,” ujarnya, menekankan pentingnya partisipasi aktif dalam menciptakan perubahan. 

Rifka menggambarkan bangunan tinggi dikelilingi matahari, awan, dan warna-warna. Ia juga menggambarkan dirinya yang berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Serta orang-orang yang melepas Alat Bantu Dengar (ABD) dan kemudian berbahasa isyarat. “Itu yang saya inginkan dan sudah saya cerminkan,” katanya. 

Ai menggambar matahari, yang menurutnya hangatnya bisa diterima banyak orang. Matahari dengan harapan agar lingkungan yang hangat bisa dirasakan oleh semua orang dengan ragam disabilitas.

Kemudian Rifka menutup diskusi ini dengan menyampaikan harapannya, agar kelak dapat melanjutkan kolaborasi yang lebih inklusif. Ia mengingatkan kembali tentang pentingnya untuk selalu mengingat konsep eco-ableism, agar tidak terjebak dalam diskriminasi yang tidak kita sadari. “Kita perlu terus mengingatkan diri sendiri untuk berefleksi dan bertindak dengan bijak”, tegasnya.

Lewat diskusi melamun kali ini, kita dapat melihat pentingnya menciptakan aksi lingkungan yang inklusif dan ramah disabilitas. Dari berbagai perspektif yang telah disampaikan, jelas langkah-langkah aksi lingkungan keberlanjutan harus mempertimbangkan keberagaman kebutuhan banyak orang, termasuk penyandang disabilitas.

Gambar 3: Foto bersama di akhir acara.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content