Agaknya, kita tinggal di negara yang kecanduan drama.
Tidaklah sembrono untuk menyebut bahwa hura-hura perpolitikan kita akhir-akhir ini semakin menggila bak sinetron kacangan. Usai kampanye pemilu legislatif yang penuh kontroversi dan humor (siapa di sini yang tidak pernah mentertawakan spanduk caleg yang amburadul?), kita berlanjut ke Pemilihan Presiden yang memunculkan dua figur kuat: Joko Widodo, dan Prabowo Subianto. Lantas 9 Juli kita ramai-ramai memilih, dan sisanya adalah sejarah.
Anak muda tidak luput dari perubahan ini. Malah, maraknya pemilih pemula membuat para politisi berbondong-bondong mencoba menggerakkan anak muda (yang kabarnya apatis, tidak pedulian, dan pemalas itu) untuk menyoblos dan ikut “menentukan masa depan bangsa.” Namun, sebenarnya seberapa jauh kah partisipasi anak muda dalam politik? Apa hanya sebagai sekedar hiasan saja? Pun, bagaimana cara kita membangun budaya partisipasi tanpa mengindahkan isu hak asasi manusia?
Sepanjang beberapa bulan terakhir, Pamflet dan beberapa organisasi lain telah berpencar ke beberapa kota untuk meneliti lebih dalam mengenai partisipasi politik anak muda, serta pengetahuan mereka tentang isu hak asasi manusia. Kami pun meminta teman-teman yang menjalankan riset tersebut menuliskan pengalaman mereka, apa yang mereka temukan, dan refleksi pribadi mereka. Mulai dari konflik antar-kampung, kebijakan pemerintah yang ironis, hingga perdebatan media sosial, riset kami terus memunculkan pertanyaan baru. Sejatinya, edisi kali ini pun berangkat dari salah satu pertanyaan tersebut: “Lantas, kita bisa apa?”
Selamat membaca, dan selamat berpartisipasi. Aluta continua!