Sebelum saya menginjakan kaki di perguruan tinggi, bulan September selalu saya asosiasikan dengan bulan penuh kecerian, sesuai lagu Vina Panduwinata yang berjudul September Ceria. Tapi setelah saya berkuliah dan membaca banyak buku, pikiran saya berubah. Meskipun saya tetap mengidolakan Mbak Vina, tapi saya tidak lagi sepakat dengan judul lagunya.
Mungkin kalo judul lagu itu diubah bulannya saya masih bisa bersepakat, tapi tidak dengan bulan September. Bagaimana mungkin bulan yang banyak menjadi saksi bisu tragedi kemanusiaan bisa di anggap penuh dengan keceriaan? Berdasarkan laman masihingat.kontras.org, setidaknya ada empat tragedi kemanusiaan yang terjadi pada bulan September. Bahkan, sungguh disayangkan hingga hari ini keempat tragedi tersebut belum menemui titik terang terkait siapa dalang dibaliknya.
Pertama, kasus pembunuhan Munir Said Thalib, aktivis HAM dan salah satu pendiri Kontras. Ia meninggal diracun oleh pilot Garuda Indonesia yang sedang dalam masa cuti, Pollycarpus. Kejadian itu berlangsung ketika Cak Munir dalam perjalanan pesawat menuju Amsterdam, 7 September 2004 silam. Pollycarpus memang sudah dihukum penjara, namun siapa dalang dibalik pembunuhan Cak Munir masih menjadi tanda tanya besar. Sungguh ironis apabila melihat berkas-berkas yang dikumpulkan untuk mengungkap kasus ini mangkrak begitu saja di Mahkamah Agung.
Kedua, tragedi Tanjung Priok yang terjadi pada tahun 1984. Tragedi kemanusiaan ini dilakukan oleh militer kepada sekelompok jemaaah tabliq, karena memprotes asas tunggal Pancasila yang coba dipaksakan oleh Orde Baru. Setidaknya terdapat 80 warga sipil yang tewas dan masih banyak lainnya yang hilang. Bahkan yang menjadi korban kekerasan oleh militer tidak hanya orang dewasa, tapi anak-anak di bawah 15 tahun pun menjadi korban. Meskipun pengadilan HAM telah digelar pada tahun 2004, namun para pelaku diberikan vonis bebas.
Ketiga, tragedi Semanggi II pada tahun 1999. Dan tragedi ini lagi-lagi dilakukan oleh militer. Korbannya adalah sejumlah mahasiswa yang melakukan demonstrasi atas rencana pembentukan undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya yang disinyalir akan semakin memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar HAM. Dalam tragedi ini, seorang mahasiswa meninggal karena terkena tembakan oleh oknum militer. Selain itu, setidaknya puluhan mahasiswa yang dilaporkan dianiaya dan diculik. Dan tentu saja tidak
diketahui siapa dalang dibalik tindakan represif yang dilakukan militer.
Keempat, tragedi berdarah yang terjadi pada 1965. Meskipun tragedi pembunuhan besar-besaran pada anggota, simpatisan hingga yang hanya dituduh PKI tidak terjadi di bulan September. Tapi bara apinya tersulut di bulan ini atau dikenal dengan G30S (Gerakan 30 September) Saya tentu bersimpati dengan para Jenderal yang terbunuh dalam tragedi yang terjadi pada 30 September, tapi apapun alasannya, hal tersebut bukanlah pembenaran untuk membunuh, menculik dan memenjarakan orang-orang yang “dianggap” PKI bahkan orang yang tidak tahu menahu tentang peristiwa tersebut.
Melihat empat tragedi kemanusiaan yang terjadi pada bulan September, tentu saja sama sekali tidak ada unsur keceriaan di bulan ini. Tidak seperti lirik Mbak Vina “..September ceria.. milik kita bersama..”. justru september yang kita rasakan adalah bulan penuh darah dan air mata bagi orang- orang yang haknya dirampas dan bagi mereka yang mencoba mencari kebenaran.