“No pic hoax!”
Kalimat di atas bisa jadi merupakan salah satu kalimat yang paling sering kita dengar di berbagai forum online. Namun sesunggunya, apakah hoax itu? Apa bedanya dengan kebohongan?
Ketika sebuah berita yang menyiarkan bahwa akan ada bom di sebuah mall ditemukan bohong, maka berita tersebut biasa dibilang merupakan sebuah hoax. Hoax sering digunakan dengan tujuan lelucon, mempermalukan, atau memprovokasi sebuah isu sosial dan politik. Meski kerap disamakan dengan prank (jahil), namun menurut penulis cerita rakyat Jan Harold Brunvand, hoax cenderung berupa kebohongan yang dibuat dalam skala besar dan kompleks, sebuah muslihat yang lebih dari sekadar lelucon dan “bisa menyebabkan kerugian bagi sasarannya”.
Lalu, apa bedanya hoax dan penipuan? Menurut Alex Boese, pembuat website Museum of Hoaxes, perbedaannya berada pada reaksi masyarakat. Sebuah penipuan dapat disebut hoax jika berdampak pada masyarakat atau mampu menyabotase imajinasi massa. Sementara menurut ahli bahasa Inggris Robert Nares, istilah hoax pertama kali dicetuskan ada akhir abad ke-18 sebagai singkatan dari kata kerja ‘hocus’ yang artinya ‘menipu’, ‘memaksakan sesuatu’ atau ‘membingungkan dengan biusan minuman keras’. Sementara ‘hocus’ juga kependekan dari sebuah mantra magis, ‘hocus pocus’.
Hoax dalam Aksi Sosial
Pada 15 April 2011, ketika General Electric (sebuah korporasi energi Amerika Serikat) mengumumkan akan mengembalikan pajak sebesar 3,2 milyar dollar AS, berita tersebut terdengar begitu ideal. Masalahnya, kapan terakhir kali sebuah korporasi besar di Amerika Serikat mengambil tindakan penuh moral seperti itu?
Hmmm, jawabannya tidak pernah! Pengumuman dari General Electric tersebut tak lebih dari sebuah hoax yang dibuat oleh kelompok pengusung keberadilan pajak di AS yang dibantu oleh The Yes Lab (kelompok aktivis yang menggunakan cara-cara kreatif dengan berbagai media dalam melakukan aksinya). Pengumuman ini disebarkan dalam bentuk siaran pers samaran yang seolah-olah dibuat oleh General Electric. Seorang jurnalis Associated Press pun mempercayainya, menuliskannya, dan menyiarkannya. Hanya dalam beberapa menit saja berita tersebut pun meledak.
Hoax ini hanyalah satu cara yang dilakukan oleh aktivis untuk “mendapatkan” ruang publikasi yang tak bisa mereka dapatkan (bisa karena terlalu mahal dan segala politik media lainnya). Alih-alih melayangkan kritik mereka lewat media dengan cara biasanya (yang tentu sulit mengingat media lebih sering bermanfaat bagi kepentingan yang berkuasa), maka hoax pun memanfaatkan bias media tersebut. Hoax dibuat menggambarkan seolah-olah pihak yang berkuasa (dalam kasus ini adalah General Electric) yang berbicara, mengabarkan sebuah berita besar. Setelah kabar tersebut terungkap kebohongannya (biasanya dalam hitungan menit atau jam), maka aktivis di balik hoax tersebut akan menjelaskan diri mereka ke publik dengan suara mereka yang sebenarnya. Tentu menggunakan “panggung” besar dengan jumlah jurnalis yang sangat banyak yang sudah mereka dapatkan dengan trik sebelumnya.
Pada umumnya, lebih baik segera menjelaskan hoax dengan sejelas-jelasnya. Mengingat tujuan utama hoax dalam konteks ini adalah mengungkapkan lebih banyak kebenaraan kepada lebih banyak orang. Seperti prinsip The Yes Lab, jangan pernah biarkan kebohongan menyebar tak terungkap. Berkebalikan dengan prinsip pihak-pihak yang berkuasa (korporasi salah satunya). Para aktivis berusaha untuk mengungkap kebohongan tersebut dalam kesempatan apa pun.
Penggunaan hoax dalam aksi perubahan kurang lebih dapat digambarkan dalam kutipan Sun Tzu dalam bukunya The Art of War: terkadang kita butuh sebuah kebohongan untuk mengungkapkan kebenaran. “Sometimes it takes a lie to expose the truth.”
Terjemahan salah satu bagian dari Beautiful Trouble: A Toolbox for Revolution dengan pengantar.
foto:
TheJakartapost.com
RT.com