Kalian pasti pernah dengar istilah Islam KTP, sebuah istilah yang lahir karena seseorang mencantumkan kata Islam di KTP tapi tidak menjalankan syariat Islam. Istilah ini ternyata memang ada dan memiliki permasalahan yang serius di Indonesia, terutama pasca tahun 1974, dimana Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri yang mengatur bahwa kolom agama di KTP harus diisi dengan pilihan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha.
Lho, memang apa hubungannya? Tentu saja ada, seperti yang terjadi di Jawa Barat pada sekelompok orang-orang Sunda Wiwitan yang terancam karena menganut agama lokal. Berdasarkan SK tersebut, mereka akhirnya terancam dan memilih masuk Kristen. Agama asli mereka tinggalkan sementara meski tak hilang. Belakangan mereka keluar dari Kristen dan menegakan kembali agama lokal.
Sedangkan di tempat lain, banyak penganut agama lokal yang akhirnya memilih Islam sebagai pelarian supaya tetap mengikuti SK tersebut. Agama yang paling banyak dipilih adalah Islam karena cukup mengucapkan dua kalimat syahadat. Pada zaman Orde Baru, mencantumkan kata Islam KTP menjadi hal penting agar tidak dituduh PKI, meskipun mereka tidak menjalankan syariat Islam. Pramoedya Ananta Toer menyebut fenomena ini sebagai Islam Statistik karena mempengaruhi statistik penganut Islam di Indonesia secara signifikan.
Pada masa itu, agama Konghucu pun memiliki nasib yang sama dengan agama lokal. Orang-orang Tionghoa yang menganut Konghucu juga tidak berdaya. Tidak heran jika banyak orang Tionghoa yang beragama Kristen, Katolik, ataupun Budha. Mereka yang seharusnya beribadah di Klenteng, pada akhirnya harus beribadah di Vihara. Namun, mereka memiliki nasib yang lebih baik pasca Reformasi, yang mana berdasarkan Keputusan Presiden nomor 6 tahun 2000, di masa kepresidenan Abduraham Wahid, Konghucu diakui lagi sebagai agama.
Masalah pengakuan terhadap agama di luar enam agama yang diakui negara tentu saja menjadi sebuah permasalahan. Padahal, menurut Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003, setidaknya terdapat 245 agama lokal di Indonesia. Ironisnya, hanya segelintir orang Indonesia yang mengetahui adanya agama lokal.
Jika berlandaskan pada pemikiran Parsudi Suparlan dalam buku Agama dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis (1988), agama adalah seperangkat aturan dan pertarutan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhan, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Jika mengikut pemikiran tersebut, maka tak hanya keenam agama yang diakui pemerintah yang layak disebut agama, aliran kepercayaan pun layak disebut agama.
Sebelum agama Kristen dan Islam masuk ke Kalimantan, masyarakat Dayak banyak yang menganut Kaharingan. Agama ini juga dianut oleh dianut oleh Sunda Wiwitan dan Buhun yang tumbuh di daerah berlatar budaya Sunda di sekitar Jawa Barat. Di daerah Banten, orang-orang Badui sebelum Islam masuk, sudah berkembang Urang Kanekes. Di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, setidaknya ada beberapa kepercayaan seperti Kejawen, Purwoduksino, Budi Luhur, dan juga Samin.
Berdasarkan data dari Sensus Penduduk Indonesia 2010 yang dirilis Badan Pusat Statistik, dari 237,6 juta penduduk Indonesia, sebanyak 87,18 persen penganut Islam; 6,96 persen penganut Kristen; 2,9 persen penganut Katolik; 1,69 persen penganut Hindu; 0,72 persen penganut Budha, dan 0,05 persen penganut Konghucu. Sebanyak 299,6 ribu orang atau 0,13 persen penduduk diketahui menganut di luar agama resmi pemerintah. Sementara itu sebanyak 896 ribu prang lebih atau sekitar 0,38 persen belum diketahui beragama apa.
Data Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 menyebutkan sebanyak 400 ribu orang Indonesia menganut agama lokal di Indonesia, yang tidak diakui sebagai agama oleh pemerintah. Sekitar 25 persennya merupakan penganut agama Buhun di Jawa Barat.
Saat ini jumlah pengikut agama lokal bisa jadi berubah. Agama-agama lokal yang dianut penduduk di daerah yang adat istiadatnya kuat dan terpencil, bisa jadi tergerus oleh agama-agama yang diakui pemerintah. Sifat agama lokal biasanya hanya dianut oleh komunitas tertentu dan turun temurun. Tak massif juga dalam berdakwah.
Perlahan agama lokal ini punah, dan semua dari semua unsur kebudayaan asli Indonesia, hanya sistem kepercayaan atau agama yang lebih cepat hilang dibanding yang lainnya. Hari Kelahiran Pancasila ini seharusnya mengingatkan kita, apakah kelima sila dalam Pancasila sudah diamalkan oleh Indonesia dengan baik jika pada akhirnya salah satu unsur kebudayaan Indonesia menghilang secara massif dan terstruktur.
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 2000. Kebudayaan, Mentaltas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Suparlan, Parsudi. 1988. Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: Rajawali
Manatasi, Petrik. 2016. Agama-Agama yang Dipinggirkan. https://tirto.id/agama-agama-yang-dipinggirkan-bnP3, diakses pada 1 Juni 2018
Sumber gambar: detik.net