“Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya.”
-Gus Dur-
Seharusnya pernyataan Gus Dur ini cukup membuat kita semua tersadar bahwa persaudaraan manusia adalah hal yang penting untuk dijaga. Kadang miris jika melihat banyak orang dengan mudah menghakimi dosa seseorang, menghakimi kesalahan seseorang, bahkan menghakimi apakah orang lain pantas masuk surga atau neraka. Tanpa sadar mereka sudah mendahului Tuhan untuk melakukan tugas tersebut. Baik ulama ataupun bukan.
Fenomena ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Presiden RI yang pernah menjabat selama 30 tahun menyusupkan ide ini ke alam tak sadar masyarakat Indonesia, bahwa menghakimi orang lain dan bertindak langsung terhadap hal tersebut adalah hal yang wajar. Presiden yang sama dulu menciptakan sentimen ras tionghoa yang sampai sekarang banyak orang mengamini. Hal ini tercermin pada 2017 lalu saat Pilkada Jakarta dipenuhi dengan kampanye sentimen kepercayaan dan ras yang menyudutkan Ahok. Kemarahan masyarakat dibangkitkan dengan narasi yang seutuhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan seperti “Haram hukumnya seorang muslim dipimpin seorang kafir” atau “Orang Cina mencuri kekayaan Indonesia”. Di tahun inilah, peringkat Indonesia dalam Indeks Demokrasi Global anjlok 20 peringkat, dari peringkat 48 menjadi 68.
Meski bukan sepenuhnya hal baru, namun meningkatnya sentimen ini menjadi semakin menemukan “panggungnya” kembali atas dasar kesamaan “keluh kesah”, atau lebih tepatnya kesamaan “ketakutan tak mendasar”. Imbauan untuk berhati-hati terhadap munculnya PKI kembali, imbauan munculnya Ahmadiyah sesat, atau bahkan imbauan untuk berhati-hati terhadap penularan LGBT menjadi lagu lama yang diaransemen ulang untuk menciptakan ketakutan publik yang tak masuk akal. Sayangnya aransemen ulang lagu ini cukup sukses hingga memunculkan tindak hakim sendiri oleh masyarakat terhadap kelompok yang (selalu) terpinggirkan, sebut saja penyerangan tempat ibadah kelompok Ahmadiyah di Jawa Barat, pemaksaan “tobat” waria di Aceh, penyerangan LBH hanya karena konser musik yang dibilang “kiri”, dan kejadian lain yang sangat membuat sedih, namun juga kadang menyunggingkan senyum miris melihat kebodohan masyarakat yang belum siap untuk jadi manusia seutuhnya.
#MudaToleran menjadi satu inisiatif awal yang diharapkan bisa menengahi hal tersebut. 20 anak muda dari Aceh hingga Papua berkumpul untuk menyamakan tujuan dalam menciptakan lingkungan yang toleran (kembali). Anak muda dari berbagai daerah ini bermaksud memunculkan kembali ruang diskusi yang sebelumnya direbut oleh pihak lain untuk menanamkan paham intoleran. Setidaknya harapan itu masih ada untuk mengobati sesuatu yang (sepertinya sudah) hancur lebur.