Dalam sistem pemerintahan Indonesia, kita tahu bahwa setiap pemilihan presiden dan wakil presiden selalu ada dua atau tiga kelompok besar yang terdiri dari partai-partai politik. Tahun ini, terdapat pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno yang merupakan hasil rembuk bersama, dengan tawar-menawar serta ketegangan di dalam kelompok partai-partai politik tersebut. Bisa dibilang, kedua pasangan ini adalah wajah yang dihasilkan oleh sebuah struktur besar, yaitu partai koalisi. Untuk memahami fenomena ini, kita perlu mengetahui apa itu koalisi.
Koalisi adalah kerja sama. Kerjasama yang dibangun dalam sebuah koalisi adalah perjanjian di antara individu atau kelompok di mana mereka bekerja sama, namun untuk kepentingan masing-masing. Pengertian ini tidak berbeda dengan penjelasan teori politik yang mengatakan bahwa partai koalisi sering dikaitkan dengan persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerja samanya, masing-masing anggota koalisi memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Partai koalisi ini sering kali mendukung apapun langkah yang dikeluarkan oleh perwakilan yang didukungnya, entah itu presiden dan wakil presiden yang saat ini menjabat ataupun lawan politiknya.
Dalam sistem pemerintahan presidensial yang berlaku di Indonesia terdapat dua jenis koalisi. Pertama, koalisi yang “relatif” permanen karena dalam konteks indonesia koalisi ini biasanya akan bertahan sampai lima tahun. Koalisi ini bertahan lama karena nantinya presiden yang terpilih akan menukar dukungan koalisi dengan sejumlah konsesi politik kepada partai anggota koalisi, seperti jabatan di kabinet atau posisi lain yang setara. Hal ini dapat dilihat dari statement Cak Imin, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dan mengharapkan PKB bisa mendapat jatah 10 kursi menteri jika pasangan tersebut menang.
Kedua, adalah koalisi yang bersifat ad hoc yang berarti dibentuk atau dimaksudkan untuk salah satu tujuan saja atau sementara. Dalam koalisi yang bersifat ad hoc ini biasanya terbentuk hanya berdasarkan agenda politik tertentu yang cocok dengan partai politik. Agenda A mungkin cocok untuk partai B, agenda C cocok dengan partai D, dan seterusnya. Biasanya hal ini terbangun saat perumusan undang-undang atau produk kebijakan lain.
Hingga hari ini, model koalisi yang dibangun oleh partai politik di Indonesia dipengaruhi dua karakter utama, yaitu: 1) Upaya untuk memburu jabatan, di mana perilaku partai dalam membangun koalisi lebih didasarkan pada kehendak untuk memperbesar peluang memperoleh posisi di kabinet dan jabatan pemerintahan lainnya yang akan terbentuk dan 2) modus pencari suara, di mana elite partai politik dalam membentuk koalisi lebih didasarkan pada upaya memenangkan pemilihan, baik pemilihan presiden ataupun pemilihan legislatif.
Dengan ciri-ciri seperti ini, ideologi yang diusung oleh setiap partai politik tidak lagi menjadi sesuatu yang penting. Hal yang paling diutamakan adalah memenangkan pertarungan dan mendapatkan kekuasaan.
Mari kita lihat dan perhatikan pola pertarungan untuk mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan Indonesia.
Di tahun 1999, Partai Golkar harus menyaksikan kekalahan suara atas rivalnya —PDI Perjuangan, setelah enam kali memenangkan pemilu pada rezim Soeharto. Namun, kemenangan PDI Perjuangan dalam pemilu legislatif di tahun 1999 tidak memberikan jaminan kepada Megawati Soekarno Putri dapat menjadi calon presiden RI. Sebab, belum ada lembaga yang mengatur bahwa partai pemenang pemilu harus atau dapat menjadi presiden. Di tengah polemik tersebut, muncullah koalisi partai-partai Islam yang kemudian menyebutnya Koalisi Poros Tengah yaitu Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk menghadang Megawati menjadi presiden.
Koalisi ini memprediksikan Amien Rais sebagai lokomotif reformasi untuk maju menjadi presiden. Namun, Amien Rais memiliki taktik lain sehingga koalisi memunculkan nama Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai calon dari Koalisi Poros Tengah untuk melawan Megawati Soekarnoputri. Saat itu, strategi politik dalam koalisi berhasil menjadikan Gus Dur sebagai Presiden RI yang ke- 4. Strategi politik Koalisi Poros Tengah dapat menjadi contoh bahwa sentimen ideologi yang berlandaskan agama dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan banyak dukungan. Lalu, bagaimana strategi politik koalisi untuk menentukan wakil presiden Gus Dur? Tentunya juga cukup menarik untuk dipelajari.
Kekalahan Megawati dari Gus Dur menimbulkan kegaduhan dari pendukung Megawati yang ada di beberapa daerah seperti Sumatera Utara, Riau, Bali, Jawa Tengah. Segala bentuk ekspresi dari pendukung Megawati disambut dengan Sidang Istimewa MPR dengan agenda pemilihan wakil presiden secara tertutup. Hasilnya tentu ingin meredakan situasi politik saat itu dan menjadikan Megawati sebagai wakil presiden mendampingi Gus Dur. Koalisi di tahun 1999 memperlihatkan bahwa demokrasi bukan sistem yang sempurna untuk memilih pemimpin namun bisa menjadi cara yang tampaknya dapat menjadi jembatan untuk menengahi konflik politik.
Mari kita melihat di lima tahun kemudian …
Gambaran peta politik di tahun 2004 menyatakan bahwa partai politik Islam tidak lagi satu suara dan ada yang berkoalisi dengan partai sekuler. Pada pemilihan presiden di putaran pertama diisi dengan lima calon pasangan. Partai Golkar berkoalisi bersama PKB untuk mendukung Wiranto-Salahudin Wahid, disusul dengan PDI Perjuangan bersama Partai Damai Sejahtera untuk mendukung Megawati-Hasyim Muzadi, sedangkan PAN bersama Partai Bintang Reformasi, PKS, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia, Partai Sarikat Indonesia untuk mendukung Amien Rais-Siswono Yudo Husodo. Pada koalisi lainnya ada Partai Demokrat bersama PBB dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia untuk mendukung Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, dan PPP tunggal mendukung Hamzah Haz-Agum Gumelar.
Peta tersebut berubah dengan sergap pada pemilihan presiden di putaran kedua yang mendapatkan calon Megawati-Hasyim Muzadi dan SBY-Jusuf Kalla. Partai-partai Islam yang tadinya pecah kongsi namun bergabung di kubu capres di putaran kedua. PPP dan PKB merapat ke pasangan Megawati-Hasyim sedangkan PAN dan PKS sepakat untuk bergandengan ke pasangan SBY-JK. Pergi ke lima tahun kemudian pada pemilihan presiden di tahun 2009. Partai-partai Islam masih berkoalisi mendukung SBY. Kala itu, SBY berpasangan dengan Boediono yang membentuk koalisi bernama Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Koalisi yang berisikan Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Golkar ini memaksimalkan kekuatan untuk melawan oposisi di parlemen dalam hal mengambil keputusan.
Pada pemilihan presiden di tahun 2014, muncullah romantisme koalisi seperti yang dibentuk pada tahun 1999. Partai-partai Islam mampu menggaet banyak suara meski sebelum hari H pemilu legislatif tahun 2014, Lingkaran Survei Indonesia atau LSI pada tahun 2013 menyatakan bahwa partai-partai Islam memperoleh suara kecil dengan persentase di bawah 5%. Berdasarkan hasil pemilihan umum legislatif 2014, partai-partai Islam mendapatkan suara yang bisa dikatakan cukup signifikan. PKB pun mengalami peningkatan yang pesat sejak pemilu lalu. Begitu juga dengan PKS yang tidak kalah banyak suara dari pemilihnya meski pimpinan partainya telah terbukti korup. Melihat loyalitas pemilih partai-partai Islam yang tanpa batas, terdapat rencana tindak lanjut yang diinisiasi oleh para elit antar partai Islam untuk membentuk sebuah koalisi. Hal ini semakin meyakinkan bahwa memori 1999 ingin kembali dibangkitkan pada tahun 2014 untuk mengalahkan partai nasional-sekuler. Meski demikian, PKB memilih untuk tidak bergabung di dalamnya.
Hasil pemilu 2014 menggambarkan terdapat tiga partai besar yang akhirnya akan dijajaki oleh partai-partai lainnya. Tiga partai tersebut ialah PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu, lalu Golkar dan Gerindra. Dalam tiga partai tersebut, masing-masing telah memberikan nama untuk dicalonkan menjadi presiden. Mereka adalah Joko Widodo untuk PDI Perjuangan, Aburizal Bakrie untuk Partai Golkar, dan Prabowo Subianto untuk Partai Gerindra. Semenjak dikeluarkannya nama-nama yang sudah ditetapkan, PKB mulai menjalin komunikasi dengan PDI Perjuangan, PPP dan PAN bersatu untuk menggandeng Partai Gerindra, sedangkan PKS memilih untuk lebih dekat dengan Partai Golkar. Tiga koalisi ini terbentuk pada suara partai-partai yang memiliki kekuatan suara dan menjadi tiga besar di pemilu legislatif 2014.
Sikap partai-partai Islam untuk merapat ke partai nasionalis sekuler membentuk pandangan-pandangan yang berseteru satu sama lain. Masyarakat sini ingin partai-partai Islam bersatu untuk membangun kekuatan sendiri, namun masyarakat sana setuju kalau partai-partai Islam bergabung dengan partai nasionalis. Melihat perjalanan koalisi partai-partai di Indonesia yang dibentuk sejak awal, kita dapat mengambil hikmah bahwa kedekatan ideologis yang kuat dan persamaan kepentingan politik dapat menciptakan koalisi yang ideal. Namun, peribahasa “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” tentunya tidak dapat berlaku pada perjanjian dalam sebuah koalisi.
Referensi:
Esty Ekawati. Dinamika Koalisi Partai-Partai Politik di Indonesia pada Pilpres 1999, 2004, 2009, dan 2014. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.