Semasa sekolah dulu, banyak pelajar Indonesia yang sering membolos sekolah. Tindakan tersebut dilakukan dengan berbagai alasan, seperti jenuh dengan pelajaran, malas bertemu guru galak, sekedar ingin bermain di luar sekolah dan masih banyak alasan lain. Namun dari sekian banyak alasan, pernahkah terbesit alasan membolos untuk merubah dunia? Seperti yang dilakukan Greta Thunberg di Swedia pada 20 Agustus 2018.
Pelajar yang saat itu masih duduk di kelas sembilan, memutuskan untuk bolos sekolah setiap hari Jumat untuk melakukan aksi protes di depan gedung parlemen di Stockholm dengan membentangkan poster bertuliskan Skolstrejk för klimatet (bolos sekolah untuk iklim). Aksi bolos sekolah ini dilakukan agar pemerintah Swedia memperkuat komitmennya dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan dengan ikut menandatangani The Paris Agreement, yaitu perjanjian dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang akan dimulai pada tahun 2020.
Pada 7 September 2018, tepat sebelum pemilihan umum di Swedia, Greta mengumumkan bahwa ia akan terus melakukan aksi yang terinspirasi dari gerakan March For Our Lives ini sampai Pemerintah Swedia mengurangi emisi karbon dan menandatangani The Paris Agreement. Greta menciptakan slogan Friday for Future, yang mendapat perhatian dunia, serta menginspirasi pelajar di seluruh dunia untuk mengambil peran dalam aksi melawan perubahan iklim.
Youth Strike 4 Climate Action
Setelah tindakan dan slogannya tersebar, para pelajar di berbagai negara mulai melakukan aksi bolos sekolah besar-besaran. Aksi-aksi ini telah berlangsung Setidaknya di 270 kota di berbagai negara, termasuk Australia, Swiss, Belgia, Jerman, Finlandia, Denmark, AS, Jepang, serta Inggris, dan terus menyebar hingga Kolombia, Selandia Baru, dan Uganda. Gerakan-gerakan pelajar ini memiliki berbagai nama berbeda di setiap negara, seperti Friday for Future, School Strike for Climate, ataupun Youth Strike 4 Climate, namun dengan tuntutan yang sama untuk melawan perubahan iklim di dunia.
Gelombang besar pertama terjadi pada November 2018, setidaknya 15.000 pelajar Australia bolos sekolah pada hari Jumat untuk memprotes tindakan yang mengakibatkan perubahan iklim. Aksi protes terjadi di 30 wilayah berbeda di Australia, termasuk Melbourne, Brisbane dan Perth dengan membawa poster dengan berbagai protes seperti “Kami melihat kabinet yang lebih baik di Ikea”. Mereka mengabaikan peringatan Perdana Menteri Scott Morrison yang mengatakan “apa yang kami inginkan kalian lebih banyak belajar di sekolah dan kurangi kegiatan aktivisme.”
Pada Desember 2018, ribuan pelajar turun ke jalan di Swiss untuk memprotes penolakan pemerintah terhadap Undang-Undang C02 Swiss. Aksi protes yang diorganisir oleh Independent Youth Movement Swiss ini berlangsung di ibu kota Bern, Zurich, St. Gallen, dan Basel. Apa yang dilakukan pelajar di Swiss ini berlandaskan ketakutan mereka terhadap apa yang akan terjadi di masa depan jika perubahan iklim terus terjadi.
Pada Januari 2019, diperkirakan 12.500 pelajar juga bolos sekolah di Brussels, Belgia untuk bergabung dalam aksi menolak perubahan iklim yang telah berlangsung di berbagai belahan dunia. Aksi yang mereka namakan Marche Pour le Climat menuntut para pemimpin pemerintah dari seluruh Eropa mengambil tindakan berani untuk membantu membendung krisis iklim global. Mereka membawa poster protes bertuliskan protes, seperti “Planet ini butuh kamu untuk lebih peduli”, “Saya yakin dinosaurus dulu juga berpikir mereka memiliki waktu”, dan “Kami ingin perubahan!”. Aksi pelajar ini akhirnya membuat Menteri Lingkungan Belgia mundur dari jabatannya pada 5 Februari 2019.
Aksi terbaru, dilakukan oleh ribuan pelajar di Inggris pada 15 Februari 2019 yang ini diikuti oleh pelajar dari 60 kota di Inggris. Mereka berkumpul di Parliament Square London dan mengumandangkan “Save Our Planet”. Gerakan ini mendapat dukungan dari para kepala sekolah, seperti yang diungkapkan oleh Sebastian (11), siswa dari Ilkeston yang datang bersama ibunya, yang mengatakan bahwa kepala sekolah mendukungnya datang ke aksi tersebut. Gerakan yang diorganisir oleh Youth Strike 4 Climate ini menginginkan pemerintah Inggris untuk mendeklarasikan darurat iklim dan mengambil langkah untuk menegakan keadilan iklim. Tuntutan ini tertuang dalam empat tuntutan besar yang mereka bawa, yaitu:
- Pemerintah mendeklarasikan kondisi darurat iklim dan memprioritaskan perlindungan kehidupan bumi, mengambil langkah aktif untuk mencapai keadilan iklim
- Pemerintah merombak kurikulum pendidikan dan mulai menyertakan pelajaran soal krisis ekologis
- Pemerintah memberi informasi kepada publik tentang darurat iklim dan imbauan untuk bertindak aktif dalam merespon hal tersebut
- Pemerintah harus paham bahwa anak muda adalah kunci masa depan, sehingga melibatkan anak muda menjadi penting dalam menentukan kebijakan negara dan menurunkan batas minimum pemilih menjadi 16 tahun.
Greta yang Terus diberi Ruang Bersuara
Setelah melakukan aksi di Swedia, Greta juga terus mendapatkan ruang bersuara untuk melawan perubahan iklim. Pada Oktober 2018, bersama keluarganya ia pergi ke London dengan menggunakan mobil listrik, dan ia menjadi salah satu pembicara dalam Declaration of Rebellion yang dilaksanakan oleh organisasi Extinction Rebellion di samping gedung parlemen.
Pada 24 November 2018, Greta diberi ruang untuk berbicara di acara TEDxStockholm. Ia bercerita tentang dirinya yang menyedari, ketika berusia delapan tahun, bahwa perubahan iklim adalah masalah yang terjadi karena manusia tapi kenapa masalah tersebut tidak pernah menjadi berita utama di media. Ia berspekulasi bahwa anak-anak dan cucu-cucunya akan menanyakan tindakan apa yang telah diambilnya, ia menyimpulkan dengan “kita tidak bisa mengubah dunia dengan bermain sesuai aturan, karena aturan harus diubah.”
Pada Desember 2018, Greta menjadi salah satu pembicara dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB atau COP24, yang digelar di Katowice, Polandia. Dan pada 23 Januari 2019, ia juga diberi kesempatan berbicara di World Economic Forum yang diadakan di Swiss. Salah satu isi pidato Greta yang paling menyentuh adalah:
“Di tahun 20178, saya akan merayakan ulang tahun yang ke 75. Jika saya punya anak, mungkin mereka akan menghabiskan satu hari bersama saya. Mungkin mereka akan bertanya pada saya tentang kalian. Mungkin mereka akan bertanya kenapa kalian tidak melakukan sesuatu saat kalian masih punya waktu untuk.”
Gheta bukanlah pionir dari gerakan menolak perubahan iklim, tapi ia adalah harapan baru berbagai kalangan. Gerakan yang ia mulai telah tumbuh di seluruh dunia, dan mulai terkoneksi dengan berbagai gerakan besar, seperti 350.org dan Greenpeace.
Banyak anak muda ikut dalam gerakan ini karena mereka ingin membuat perbedaan. Mereka ingin generasi muda terdengar dan didengarkan. Mereka tidak melakukan aksi karena tahu cara mengatasi perubahan iklim, mereka menyerang karena ingin orang-orang dengan kekuatan melakukan sesuatu untuk mulai mengatasinya.
Orang-orang di pemerintahan perlu mendengarkan para ilmuwan yang telah memperingatkan tentang perubahan iklim selama bertahun-tahun – dan yang mengerti cara terbaik untuk menyelesaikan kekacauan ini. Banyak yang mengatakan mereka hanya ingin bolos dan bermain salju, tetapi jika mereka benar-benar terlibat dalam hal ini karena ingin libur sekolah, tentu saja ada banyak cara yang lebih mudah untuk melakukannya.