Lagu Wajib
Sepertinya perlu menambahkan satu lagu wajib yang perlu dinyanyikan saat 17 Agustus setiap tahunnya. Rekomendasi yang bisa pas saat ini berjudul Lagu Wajib oleh Sisir Tanah. Liriknya juga kurang lebih dengan lagu nasional ‘Tujuh belas Agustus tahun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita, hari merdeka nusa dan bangsa, hari lahirnya bangsa Indonesia, merdekaaaaa…!!!’ meski alunan melodi dan iramanya sedikit mellow tapi cukup dapat mengena di kondisi saat ini.
“Yang wajib dari hujan adalah basah
Yang wajib dari basah adalah tanah
Yang wajib dari tanah adalah hutan
Yang wajib dari hutan adalah tanam
Yang wajib dari tanam adalah tekat
Yang wajib dari tekad adalah hati
Yang wajib dari hati adalah kata
Yang wajib dari kata adalah tanya
Yang wajib dari tanya adalah kita
Yang wajib dari kita adalah cinta
Yang wajib dari cinta adalah mesra
Yang wajib dari mesra adalah rasa
Yang tak wajib dari rasa adalah luka”
Momentum 17 Agustus selalu dikaitkan dengan masa-masa perjuangan para pendahulu yang telah berjuang untuk Indonesia. Terlebih lagi, warga Indonesia yang merasakan hari ini bisa merasa bangga karena sudah merdeka. Pertanyaannya, apakah warga Indonesia benar-benar sudah merdeka di kondisi yang diskriminatif, penuh dengan kekerasan, rasis, seksis, korup seperti hari ini? Atau pertanyaannya diganti, siapakah yang dimaksud warga Indonesia dan sudah merasakan kemerdekaan saat ini? Bukankah di zaman penjajahan terdahulu juga ada diskriminasi, kekerasan, rasis, seksis, dan sistem yang korup?
Menolak Lupa
Ada hal yang paling melekat pada masyarakat Indonesia dari zaman penjajahan hingga saat ini, yaitu konsep rasisme. Masih membeda-bedakan sesama manusia berdasarkan warna kulit, suku, hingga daerah. Tidak bisa dipungkiri bahwa pola pikir manusia modern hari ini pun belum benar-benar berani melepas doktrin yang tercipta dari zaman penjajahan, meski katanya hari ini sudah merdeka. Hingga hari ini pun, perdebatan tentang manusia yang berbeda atau siapa warga asli Indonesia a.ka pribumi masih belum bertemu dengan hilalnya. Yang teramini di dalam kepala masyarakat kebanyakan bahwa pribumi adalah orang-orang berdarah murni bersuku Jawa, Minangkabau, Dayak, Bali, Papua, dan suku lainnya yang ada di Indonesia. Sedangkan, masyarakat yang sejak lahir di Indonesia namun memiliki keturunan Arab, Tionghoa, dan India adalah warga asing. Sungguh membuat gerah ketika kata ‘pribumi’ masih diperdebatkan hingga menimbulkan perpecahan, terutama di dunia digital.
Memakai pernyataan Ibu Herawati Sudoyo sebagai Deputi Bidang Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekuler Eijkman bahwa pribumi adalah orang-orang yang mendiami suatu kawasan sejak lama dan penduduk dari beberapa titik migrasi yang hingga saat ini mendiami Indonesia, seperti yang dilansir idntimes.com. Manusia modern sendiri merupakan manusia pendatang yang terbagi menjadi dua yaitu Melanesia (mayoritas berasal dari Afrika dan bermata biru) sejak 50.000 tahun yang lalu dan Austronesia sejak 4000 tahun yang lalu. Migrasi selanjutnya pada 16000-35000 tahun yang lalu dari Indocina yang masuk ke Nusantara lewat jalur darat. Mereka semua berkembang menjadi beberapa suku yang dikenal hingga sekarang di bagian barat dan timur Indonesia.
Migrasi kedua disusul dengan hubungan perdagangan bersama bangsa India. Perdagangan logam dan rempah-rempah menjadi titik utama kebudayaan India dalam Hindu-Buddha masuk ke Indonesia. Kedatangan bangsa India diikuti dengan masuknya hubungan Indonesia bersama Dinasti Tiongkok. Seorang Biksu Buddha menemukan bangsa Tionghoa lainnya di daerah Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Berdasarkan data Paguyuban Nasional Marga Tionghoa pada tahun 1907, seperti yang dilansir oleh idntime.com, hal ini membuka pernyataan bahwa telah ada warga Tionghoa sebelum hubungan Indonesia dan Tiongkok dimulai.
Bertemunya penduduk yang mendiami Indonesia sejak lama dengan bangsa-bangsa pendatang sebagai varian keberagaman Nusantara. Hingga pada saat itu pemerintah Eropa hadir dan membuat perbedaan atas asal usul orang lain berdasarkan etnisnya. Penggolongan tersebut juga membuka pandangan diskriminatif yang hingga sekarang masih ada di kepala masyarakat. Golongan orang-orang Eropa merupakan kelompok yang paling atas dan terhormat, sedangkan kelompok timur dibagi menjadi Arab, India, dan Tionghoa, disusul dengan warga yang telah mendiami Indonesia sejak awal atau mereka sebut ‘pribumi’ dan ditempatkan dalam posisi yang paling bawah.
#MerdekaItu
Penggolongan yang dibuat oleh Pemerintah Eropa merupakan awal mula kebingungan warga Indonesia hingga terjadinya perpecahan. Lebih menyedihkan lagi, golongan ini menjadi semakin terbagi oleh Orde Baru menjadi pribumi dan non-pribumi. Hingga orang-orang pendatang sesuai etnisnya harus menyesuaikan identitas dengan mengganti nama untuk dapat diterima di Indonesia. Padahal, sebelum golongan pribumi dan non-pribumi ada dan dibagi menjadi dua, terdapat perjuangan yang membuat Indonesia dapat menjadi harmonis dengan memperhitungkan orang-orang yang mendiami suatu kawasan sejak lama dan penduduk dari beberapa titik migrasi yang hingga saat ini mendiami Indonesia sebagai Indonesia tanpa terkecuali. Hingga 30 tahun kemudian runtuhnya rezim orde baru, konsep pribumi dan non-pribumi yang merupakan bentuk diskriminasi dihapuskan oleh Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai Presiden Ke-4 Republik Indonesia.
Hari ini, banyak sekali literasi yang berkembang di era digital. Sangat mudah untuk penggunanya mencari dan membaca dengan seksama literatur sejarah. Tinggal bagaimana pembaca menyikapi dan mengatur ulang pola pikir menjadi lebih terbuka nan manusiawi. Kayaknya, Indonesia belum bisa dibilang merdeka apabila masih ada pola pikir dan rasa yang tertinggal karena masa kolonial, karena #MerdekaItu tidak lagi mempertanyakan siapa pribumi (?)