Baru-baru ini ada kejadian menarik yang terjadi di dunia bagian timurnya Indonesia, sebuah pulau kecil bernama Bougainville mengadakan sebuah referendum yang menyatakan bahwa mayoritas masyarakat Bougainville ingin berpisah dari Negara Papua Nugini. Lantas, mengapa kejadian ini patut kita, sebagai anak muda kritis, simak dan kritisi?
Jadi begini, Bougainville memiliki sejarah yang mirip dengan Papua di negara kita sendiri. Awalnya, Bougainville adalah bagian dari Negara Papua Nugini. Di pulau kecil yang namanya seperti bunga ini, terdapat kekayaan alam emas yang menarik banyak pihak untuk menguasainya, salah satunya Negara Papua Nugini. Kekayaan alam yang ditemukan pertama kali pada tahun 1930 berlanjut pada dibangunnya industri pertambangan pada periode tahun 1960-an yang di-backing oleh perusahaan milik Australia. Sayangnya, hasil industri pertambangan ini sebagian besar dikeruk dan dikuasai oleh Papua Nugini, dan keuntungan industri tersebut tidak dirasakan secara signifikan oleh penduduk Bougainville.
Masuknya pekerja luar non-Bougainville menjadi polemik tersendiri yang menyebabkan penduduk setempat merasa dirugikan. Meski pada tahun 1975 dihasilkan perjanjian antara Bougainville dan Papua Nugini mengenai desentralisasi, namun nyatanya hal ini tidak memberikan dampak signifikan bagi penduduk Bougainville yang tidak setuju akan keberadaan tambang. Konflik pecah di periode tahun 1988 – 1998 yang menyebabkan lebih dari 15.000 penduduk sipil Bougainville meninggal dunia. Tahun 2001 diadakan sebuah perjanjian damai yang melahirkan status otonomi pada Bougainville dengan pemerintahannya sendiri, yang menuntunnya kepada referendum di tahun ini.
Referendum Bougainville, yaitu saat seluruh penduduk Bougainville menggunakan hak suaranya untuk menentukan status Bougainville (apakah tetap bersama Papua Nugini atau menjadi negara independen), memutuskan bahwa Bougainville ingin menjadi negara independen dengan detail berikut:
- 176.928 suara memilih untuk menjadi negara independen
- 3.043 suara memilih otonomi yang lebih besar
- 1.096 suara tidak sah
Atas hasil ini, yang didapat pada 11 Desember 2019, bisa jadi Bougainville menjadi negara baru di dunia, meski belum tahu kapan negara ini akan terbentuk secara benar-benar independen.
So, kenapa hal ini sangat relevan dengan keadaan Papua di Indonesia?
Mari kita bedah singkat sejarah Papua dan Freeport yang menjadi mimpi buruk bagi penduduk Papua di tahun 1967 (hingga saat ini).
Berkat kebijakan Soeharto, Indonesia kedatangan penanam modal asing pertama bernama PT Freeport sampai-sampai ada undang-undang sendiri bagi perusahaan ini, yaitu UU No. 11 Tahun 1967. Berbeda dengan Soekarno yang menolak adanya modal asing, Soeharto sangat terbuka dengan modal asing yang menurutnya dapat membantu keterpurukan ekonomi negara. Namun, pada saat ini, status Papua Barat belum jelas apakah ingin bergabung dengan Indonesia atau tidak (masih menjadi perdebatan sejak Konferensi Meja Bundar di tahun 1949). Nah, karena Soeharto sudah menjanjikan tempat bagi Freeport namun ladangnya belum yakin punya Indonesia atau bukan, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Perjanjian New York memutuskan bahwa Indonesia harus mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) untuk menyatakan keinginan rakyat Papua (selambat-lambatnya) di tahun 1969, untuk menyatakan apakah mau bergabung dengan Indonesia atau menjadi wilayah independen.
Berbeda dengan referendum yang ada di Bougainville yang melibatkan seluruh penduduk pulau tersebut, Pepera di Papua Barat hanya diikuti oleh segelintir perwakilan tokoh masyarakat untuk bermusyawarah, tepatnya sebanyak 175 orang yang pelaksanaannya dijaga ketat oleh tentara Indonesia. Dalih pemerintah untuk hanya mengundang perwakilan masyarakat saja adalah, sesuai pernyataan Filep Karma (aktivis Papua), bahwa orang Papua dianggap masih terbelakang dan belum siap untuk menyatakan pendapat mereka dalam referendum. Perwakilan orang yang hadir dalam musyawarah tersebut adalah mereka yang kerap menerima bantuan dari pemerintah Indonesia sebagai langkah persuasif agar mereka memberikan suara bahwa Papua harus tetap bergabung dengan Indonesia.
Konflik antara orang Papua dengan PT Freeport dan penjaganya (yang merupakan tentara Indonesia) kerap terjadi, contohnya pada tahun 1972 ketika Suku Amungme bereaksi keras pada perusahaan atas tindakannya menjadikan wilayah keramat di lembah Tsinga menjadi situs pertambangan. Tentara Indonesia mengusir paksa penduduk dan setidaknya terdapat 50 orang Suku Amungme meninggal dunia saat itu juga. Itu baru di masa lampau saja, pelanggaran hak yang dilakukan kaki tangan pemerintah Indonesia sampai menimbulkan korban jiwa tidak berhenti di tahun 1972. Bahkan, tidak sedikit aktivis Papua yang ditangkap oleh pemerintah dengan dalih karena mereka mendukung aksi separatis Papua.
Nah, sudah menemukan kemiripannya?
Tentu sejarah Bougainville dan Papua jelas mirip, sama-sama memiliki kekayaan alam yang ingin dikuasai oleh pihak lain, sama-sama memiliki sejarah dibangunnya industri pertambangan milik asing, sama-sama memiliki polemik bahwa keuntungan industri ini tidak diikuti dengan perkembangan daerah. Bedanya, setelah bertahun-tahun konflik yang menimbulkan puluhan ribu korban jiwa, pemerintah Papua Nugini bersedia menggelar referendum (yang benar-benar terbuka) untuk seluruh penduduk Bougainville menentukan nasib mereka sendiri, alih-alih mengadakan referendum yang hanya melibatkan beberapa tokoh saja dan diawasi dengan ketat oleh tentara bersenjata. Meski dengan tegas Duta Besar Indonesia untuk PBB menyatakan bahwa referendum di Papua tidak mungkin dilakukan (lagi) dengan alasan hasil yang sudah sah dan final, bisa jadi karena adanya kemungkinan jika referendum dilakukan dengan melibatkan secara aktif seluruh penduduk Papua, hasil yang lain akan didapatkan. Entahlah.
Referensi
Kumparan. (2019). Referendum Bougainville, Mayoritas Pilih Bercerai dari Papua Nugini. Diakses pada: https://kumparan.com/kumparannews/referendum-bougainville-mayoritas-pilih-bercerai-dari-papua-nugini-1sQHjy50xOP
Conciliation Resources. Bougainville: Conflict in Focus: Diakses pada: http://www.c-r.org/programme/pacific/bougainville-conflict-focus
BBC. (2019). Bougainville Referendum: PNG Region Votes Overwhelmingly for Independence. Diakses pada: https://www.bbc.com/news/world-asia-50739203
Firdausi, Fadrik Aziz. (2019). Sejarah Pepera 1969: Upaya Lancung RI Merebut Papua? Diakses pada: https://tirto.id/sejarah-pepera-1969-upaya-lancung-ri-merebut-papua-egAj
Raditya, Iswara N. (2017). Ambisi Amerika di Balik “Pembebasan” Irian Barat. Diakses pada: https://tirto.id/ambisi-amerika-di-balik-pembebasan-irian-barat-cuAa
Koalisi Keadilan Pengungkapan Kebenaran. (2014). Menemukan Kembali Indonesia: memahami Empat Puluh Tahun Kekerasan Demi memutus Rantai Impunitas. Jakarta: KKPK.
CNN Indonesia. (2019). Di PBB, Indonesia Tegaskan Mustahil Ulangi Referendum Papua. Diakses pada: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190913121912-106-430189/di-pbb-indonesia-tegaskan-mustahil-ulangi-referendum-papua