Kalian masih ingat gak sih semua pernyataan-pernyataan yang disampaikan pejabat kita dalam merespons penyebaran virus corona? Sejak pertengahan Januari, masyarakat sudah mulai mempertanyakan kesiapan pemerintah Indonesia dalam menghadapi pandemi virus corona. Rasa panik mulai muncul setelah semakin banyak korban meninggal, sementara kita masih belum tahu banyak mengenai seluk beluk virus mematikan ini. Sayangnya, pemerintah menjawab rasa panik masyarakat itu dengan cara komunikasi yang buruk dan kurang serius. Alih-alih memberikan informasi yang lengkap dan menyeluruh mengenai apa yang harus dilakukan guna mencegah keadaan semakin memburuk, beberapa pejabat kita terus meyakinkan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari virus corona dengan cara komunikasi yang tak jarang sangat buruk.
Anggap remeh dan tidak serius
Di tengah pandemi yang sedang kita alami saat ini, pejabat kita seringkali mengeluarkan pernyataan bernada candaan dan tidak sensitif. Katanya, cara komunikasi itu dipilih dengan maksud membuat warga tidak panik dan merasa tenang. Nyatanya, respons yang terkesan anggap remeh ini justru membuat warga gemas apalagi saat pernyataan dari pemerintah bertentangan dengan data dan fakta.
Menkes Terawan sendiri banyak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang terkesan anggap sepele virus Corona.
Pada 26 Januari, Menkes menyampaikan agar warga enjoy saja, “Masyarakat tenang saja, enjoy, ke pasar oke, ke sekolah oke, mau kerja ya oke, sehingga gerakan ekonomi juga tetap jalan, saham-saham tetap baik…. Yang risau cukup menteri kesehatan bersama jajarannya.”
Tanggal 2 Maret, setelah terdapat dua orang pasien positif virus corona di Indonesia, Terawan masih tetap menyampaikan pernyataan yang menyepelekan bahaya penyebaran virus. “Kalau enggak ada keluhan ya enggak masalah. Tidak semua yang akan kontak itu akan sakit. Itu prinsip.” Padahal, sejak 30 Januari studi telah menunjukkan bahwa penyebaran virus corona bisa tanpa gejala (asymptomatic) sehingga perlu benar-benar diwaspadai. Sebagai seorang menteri kesehatan, tentu pernyataan seperti ini menjadi sangat problematik.
Terawan juga sangat meremehkan risiko penyebaran virus dari wisatawan asing yang masih terus berdatangan ke Indonesia. “Wisatawan kan dari negara yang tidak terdampak. Kan tidak seluruh dunia kena, baru 54 negara atau 52 negara yang kena. Jadi kita ini hati-hati tapi tidak sampai paranoid, kita lakukan cegah tangkal yang baik sesuai prosedur, diungkapkan tidak boleh paranoid oleh WHO,” begitu kata Terawan pada 2 Maret.
Bukan hanya lewat pernyataan, Terawan juga membuat semua orang resah dengan tindakannya. Pada tanggal 14 Maret, ia mengadakan upacara penobatan Duta Imunitas Corona kepada 188 WNI ABK World Dream di Pelabuhan Kolinlamil. Di saat seluruh dunia menyerukan pembatasan acara yang mengumpulkan banyak orang, Menteri Kesehatan kita justru mengadakan sebuah upacara bersama dengan para ABK yang disebutnya sudah imun terhadap virus ini. Tidak hanya itu, pada tanggal 16 Maret ia juga mengadakan acara pemberian oleh-oleh berupa jamu kepada pasien yang sudah sembuh agar imun mereka semakin kuat.
Bentuk komunikasi publik seperti yang dilakukan Terawan ini membuat pesan pencegahan penularan virus corona justru menjadi tidak efektif. Pada saat WHO menyerukan agar setiap orang yang kemungkinan telah terpapar virus untuk melakukan isolasi diri selama setidaknya empat belas hari, ia justru melakukan berbagai kegiatan seremonial yang bertentangan dengan hal itu.
Tidak transparan
Sejak awal, pemerintah terlihat dengan sangat jelas tidak bisa memberikan informasi yang transparan kepada masyarakat. Terawan sejak bulan Januari lalu selalu menyampaikan bahwa Indonesia sudah memiliki persiapan yang baik untuk mencegah masuknya virus corona. Indonesia juga sudah menyiapkan rumah sakit rujukan yang akan menjadi tempat pemeriksaan dan perawatan pasien yang terkena virus.
Pada tanggal 28 Februari, dalam sebuah kuliah umum di Universitas Brawijaya, Terawan menyampaikan: “Kita sudah siap. Ada saja yang meremehkan kesiapan kita, siapa itu ya negara lain. Padahal kita sudah mengacu pada instrumen WHO. Secara medis kita juga sudah siaga, ada 100 rumah sakit yang siap melayani.”
Namun, pada kenyataannya Indonesia masih sama sekali belum siap. Menurut data dari WHO, Indonesia yang memiliki populasi total 260 juta jiwa hanya memiliki 321.544 rumah sakit. Angka ini sama dengan 12 ranjang per 10.000 orang. Jumlah dokter di Indonesia juga begitu sedikit, hanya empat dokter per 10.000 orang di tahun 2017. Saat ini, tim medis di Indonesia menghadapi risiko penularan yang sangat tinggi akibat kelangkaan alat perlindungan diri (APD). Seharusnya, hal ini tidak boleh luput saat pemerintah mengklaim sudah siap dengan 100 rumah sakit rujukan.
Pemerintah juga tidak transparan dalam memberikan info persebaran wabah virus corona di Indonesia setelah pasien positif di Indonesia mulai bertambah. Alih-alih memberikan dan menunjukkan data tracking yang lengkap, Jokowi justru menjelaskan bahwa penanganan secara diam-diam memang disengaja agar warga tidak panik. Tidak heran, badan yang ditunjuk Jokowi dalam menangani wabah justru adalah BIN.
“Langkah-langkah serius telah kita ambil. Di saat yang bersamaan kita tidak ingin menciptakan rasa panik, tidak ingin menciptakan keresahan di tengah masyarakat. Oleh sebab itu dalam penanganan kita tidak bersuara, harus tetap tenang, dan berupaya keras menghadap ini,” kata Jokowi (13/3) seperti yang dikutip oleh CNN.
Sesuai dengan Pasal 154 ayat (1) UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pemerintah wajib menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menulat serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan. Kenyataannya, pemeritah melakukan tracking secara tertutup dan menyatakan bahwa wabah ini tidak memiliki keterkaitan dengan daerah.
Bagaimana selanjutnya?
Di tengah kondisi penyebaran virus corona di Indonesia saat ini yang masih belum mendapatkan angka pasti (under reporting) akibat kekurangan alat tes, transparansi dan keseriusan dari pemerintah adalah satu dari banyak hal yang paling kita butuhkan. Pemberian informasi yang lengkap dengan cara komunikasi yang tepat akan membantu masyarakat memahami kondisi saat ini dengan lebih baik, sehingga bisa melakukan upaya pencegahan dengan lebih maksimal.