Pada hari Kamis (2/7/2020) lalu, DPR RI mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2020. Kabar ini menyakiti hati banyak perempuan, terutama mereka yang telah melakukan berbagai bentuk lobi dan kampanye demi disahkannya naskah RUU ini. Lebih menyakitkannya lagi, alasan DPR tidak mau membahas RUU ini karena dirasa sulit. Ini menunjukkan betapa kecilnya komitmen pemerintah terhadap penegakan keadilan dan penciptaan ruang aman bagi perempuan di Indonesia.
Kalau saja DPR memiliki sedikit kemauan, mungkin mereka bisa membaca dan memahami apa sebenarnya yang ditawarkan naskah RUU PKS. Melalui RUU PKS, korban kekerasan seksual diberi hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan, yang sebelumnya tidak dijamin dalam sistem perundang-undangan Indonesia.
Kenapa ini penting?
Sebelumnya, kita sudah pernah membahas hubungan perempuan dan segitiga kekerasan. Dalam tulisan itu, dijelaskan bahwa kekerasan dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis. Ada kekerasan langsung, yaitu yang dilakukan secara fisik, verbal, atau psikis, dan dapat kita kenali bentuk perbuatan atau pelakunya. Ada kekerasan struktural, yaitu kekerasan yang terjadi secara sistemik dan dilanggengkan melalui berbagai bentuk kebijakan. Terakhir, ada kekerasan kultural, yang terjadi karena pembiaran sehari-hari di dalam budaya kita.
Kalau mau dilihat dalam kasus nyata, teman-teman bisa melihat banyak penyintas kekerasan seksual yang speak up di Twitter beberapa hari belakangan. Perlakuan yang mereka terima, seperti diraba, disentuh secara paksa, hingga diperkosa adalah wujud dari kekerasan secara langsung.
Para penyintas ini speak up untuk menunjukkan bahwa kekerasan seksual terjadi tanpa memandang usia, pakaian, atau jenis kelamin. Namun, saat cerita-cerita ini tersebar banyak sekali orang-orang yang masih tetap menganggap bahwa kekerasan itu terjadi karena hal-hal yang dilakukan oleh korban, seperti menggunakan pakaian terbuka, keluar sendirian atau malam-malam, atau apapun (semua bisa menjadi kesalahan korban bagi orang-orang seperti ini). Sekeras apapun para penyintas membuktikan bahwa kekerasan seksual itu terjadi karena pelakunya sendiri, banyak sekali yang tetap menyalahkan korban.
Budaya menyalahkan korban ini (victim blaming) adalah salah satu contoh kekerasan kultural yang sering terjadi sehari-hari. Budaya ini muncul sebagai hasil dari proses panjang internalisasi nilai-nilai patriarki di kehidupan sehari-hari kita. Sejak kecil, perempuan sudah diajari untuk menjaga dirinya sementara laki-laki tidak diajari untuk menjaga perilakunya. Tanggung jawab sepenuhnya ada para si perempuan untuk tidak mengundang laki-laki melakukan kekerasan seksual. Konyol, tetapi pemahaman ini sudah diajarkan kepada kita sejak dini sehingga sulit dan butuh waktu lama untuk mengubahnya.
Banyaknya twit tentang kekerasan seksual di Twitter muncul sebagai respon dari keputusan DPR mengeluarkan RUU PKS dari prolegnas. Banyak orang yang menunjukkan kekecewaan dan kemarahan terhadap pemerintah. Nah, keluarnya RUU PKS dari prolegnas ini bisa kita lihat sebagai salah satu wujud dari kekerasan struktural di Indonesia. Sistem peradilan kita belum berpusat pada pengalaman korban, sehingga sulit untuk mencapai keadilan. Tapi, tetap saja tidak ada keinginan dari pemerintah untuk memperbaiki sistem yang berlaku saat ini. Sulitnya pengesahan RUU PKS dibandingkan dengan Omnibus Law menunjukkan prioritas negara belum ada pada pemenuhan HAM masyarakatnya.
Ketiga bentuk kekerasan ini saling tersangkut paut satu sama lain, membuat hidup penyintas kekerasan seksual semakin sulit dan tidak adil.
Bagaimana cara menghentikan rantai kekerasan ini?
Untuk menghentikan rantai kekerasan, kita perlu mengatasi ketiga bentuk kekerasan ini sekaligus. Selama ini, mungkin beberapa dari kita masih hanya fokus di level kekerasan langsung. Kita mengutuk tindakan dari individu-individu pelaku kekerasan seksual, tapi tidak menelusuri lebih jauh kenapa hal itu seringkali terjadi. Komentar seperti: “balik ke diri masing-masing aja sih,” yang menekankan pada tanggung jawab per individu untuk mengurus perilaku sendiri-sendiri tidak akan menyelesaikan masalah rumit ini.
Di level struktural, RUU PKS menjadi salah satu kunci penting untuk menjamin keadilan bagi perempuan secara sistemik. Di level kultural, kita perlu secara terus menerus meninggalkan budaya-budaya seksis salah satunya kebiasaan menyalahkan korban.