Satu waktu, saya mengikuti acara Seren Taun di Cigugur Kuningan selama lima hari. Acaranya bertempat di Cagar Budaya Paseban Tri Panca Tunggal milik masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan. Pada malam hari, peserta yang mengikuti kegiatan itu menginap di rumah-rumah warga sekitar. Penyelenggara acara memang mengonsep acara agar semua peserta menyatu dengan masyarakat sekitar. Saya kebagian menginap di salah satu rumah keluarga katolik. Empunya rumah menyediakan segala keperluan kami termasuk keperluan untuk shalat. Waktu ada kesempatan untuk ngobrol-ngobrol, si pemilik rumah bercerita bahwa keragaman kepercayaan di Cigugur adalah realitas sehari-hari. Mereka yang muslim, Kristen dan penganut kepercayaan leluhur hidup bertetangga dengan rukun. Bahkan, tidak aneh jika terdapat perbedaan keyakinan dalam satu keluarga.
Sampai sekarang, Cigugur selalu saya jadikan rujukan terdekat ketika membahas keragaman. Pengalaman di atas meyakinkan saya bahwa sikap toleran memiliki akar di Indonesia. Terlebih pasca Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengaplikasikannya dalam politik kebijakan. Tapi, di saat bersamaan kita masih menjumpai diskriminasi terjadi kepada kelompok minoritas. Fakta bahwa masyarakat kita majemuk tidak lantas membuat semua orang menghormati kemajemukan tersebut. Beberapa di antaranya bahkan menentang dan sangat anti terhadap perbedaan yang ada.
Berbeda pandangan dalam masyarakat majemuk memang bukan barang baru. Bisa dibilang, ketidakselarasan tujuan (konflik) antar individu/kelompok dalam masyarakat majemuk adalah sesuatu yang inheren. Konflik pada awalnya adalah sesuatu yang netral. Yang menjadikannya menjadi baik atau buruk adalah bagaimana seseorang atau kelompok bereaksi terhadap konflik. Misal, saya dan si A mempunyai tujuan yang berbeda. Tapi, baik saya ataupun A sama-sama punya pilihan apakah akan mentransmisikan perbedaan ini menjadi kekerasan fisik atau menjadi sesuatu yang lain.
Di tulisan sebelumnya, Rebeca Liony menjabarkan tiga kontinum seseorang bereaksi terhadap konflik. Ketiganya itu adalah diskriminasi, toleransi, dan pluralisme. Diskriminasi adalah contoh dari pengelolaan konflik yang buruk. Sementara, toleransi dan pluralisme berada di sisi yang sama tapi dengan tingkatan berbeda. Tulisan ini mencoba membedah karakteristik yang membedakan kedua hal tersebut.
Klaim Kebenaran
Karakteristik sikap seseorang apakah toleran atau pluralis bisa dilihat dari cara ia mengkonsepsi kebenaran. Seorang yang toleran melihat bahwa kebenaran itu tunggal dan adalah miliknya sendiri. Ia melihat tidak ada kebenaran lain di luar dirinya atau kelompoknya. Tetapi, karena pertimbangan praktis dan lain hal seorang toleran memilih untuk tidak mempermasalahkan kesalahan orang lain itu. Ia memilih untuk tidak mendukung sekaligus tidak berusaha untuk menghancurkannya.
Seorang pluralis melihat bahwa realitas tidak dibentuk dari cacahan benar dan salah. Satu-satunya nilai adalah harmonisasi antara keragaman itu sendiri. Seorang pluralis melihat bahwa perbedaan adalah sesuatu yang menguntungkan, sehingga ia menerima dan berupaya untuk memenuhi hak semua orang. Seorang pluralis akan berusaha untuk mempertahankan dan mendorong terus keragaman tersebut. Gus Dur misalnya, menarik bahasan pluralisme keluar dari klaim benar dan salah antar umat beragama. Yang terpenting di atas semua itu adalah jalinan antar kelompok yang berbeda-beda itu terjalin dengan baik dan harmonis. Dengan bahasan yang gamblang itu, Gus Dur menunjukan bahwa pluralisme adalah ranah sosiologis kemasyarakatan alih-alih ranah teologi.
Relasi Kuasa
Satu cuitan muncul di linimasa saya. Cuitan itu berisi video yang menampilkan mahasiswi buddhis yang menggunakan penutup kepala selama kuliah di sebuah universitas Islam. Salah satu balasan yang saya temui menyebutkan bahwa yang dilakukan mahasiswi tersebut adalah contoh toleransi antar umat beragama.
Engelen dan Nys (2008) mendefinisikan toleransi sebagai sikap atau perilaku penerimaan yang ditunjukkan oleh seseorang terhadap sesuatu yang tidak disukainya. Jika diamati lebih jauh, penerimaan bukan hanya persoalan pemilihan sikap individu belaka. Penerimaan mensyaratkan adanya pihak yang memiliki kekuasaan untuk mengontrol, yaitu adalah kelompok mayoritas. Jadi, ketika kelompok minoritas dituntut untuk mengikuti ketentuan mayoritas itu sudah bukan sikap toleran lagi melainkan sudah menjadi abuse of power. Landasan bersikap toleran adalah pengakuan bahwa ada relasi yang tidak setara antara kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas. Sikap toleran dari mayoritas itu menjadi tindakan afirmatif atas pengakuan ketidaksetaraan tersebut. Dari sini, kita bisa melihat bahwa toleransi adalah tentang perilaku kelompok mayoritas kepada minoritas. Bukan sebaliknya.
Sementara itu seorang pluralis berangkat dari premis bahwa kemajemukan adalah suatu kenyataan yang harus di dorong dan diterima. Pada level ini seorang pluralis tidak hanya merasa perlu mengakui dan menghargai hak-hak mereka yang berbeda saja tetapi menjadikan perbedaan sebagai sesuatu yang integral dalam semua aspek. Pada tahap ini persoalan keragaman bukan hanya isu minoritas saja tetapi sudah menjadi isu semua kelompok.
Referensi:
Maezaya (21 Februari 2018). Diakses pada 22 September 2020 dari https://www.qureta.com/post/pilihan-berjalan-bersama-mayoritas-minoritas-dan-toleransi
Ragam Pendekatan Pembangunan Perempuan (18 Mei 2019) Diakses pada 22 September 2020 dari https://mediakita.id/2019/05/ragam-pendekatan-pembangunan-perempuan/
Setiawan Eko (2017) Konsep Teologi Pluralisme Gus Dur Dalam Meretas Keberagaman Di Indonesia: Asketik Vol. 1 No. 1
Tim Baseline Study CREATE (2020) Konsep Inti dan Glosarium