Pada November 2019 , Indonesia menghadapi gelombang demonstrasi dari masyarakat berkaitan dengan proses legislasi beberapa rancangan undang-undang yang dirasa tidak sesuai dengan agenda reformasi. Dari tujuh poin tuntutan yang disampaikan dalam protes yang kemudian dikenal sebagai Aksi #ReformasiDikorupsi, dua di antaranya adalah mendesak agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) segera disahkan dan menuntut penundaan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Masyarakat mengusulkan RUU PKS sebagai instrumen rancangan kebijakan yang dapat memberikan jaminan perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual. Masyarakat sipil merasa RUU ini semakin mendesak untuk disahkan segera oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), setelah laporan CATAHU Komnas Perempuan menunjukkan angka kekerasan seksual tahun 2019 mencapai 431.471 kasus, tertinggi selama dua belas tahun terakhir. Sementara itu, DPR menyusun RKUHP sebagai rancangan aturan pidana guna memperbaharui KUHP yang sudah diterapkan di Indonesia selama lima puluh tahun. Namun, di dalam naskahnya terdapat banyak sekali pasal yang perlu tinjauan ulang. Beberapa di antaranya dan yang cukup banyak mendapatkan perhatian publik adalah pasal-pasal yang berkaitan dengan isu seksualitas dan kesehatan reproduksi.
Dalam isu seksualitas dan kesehatan reproduksi, gerakan aktivis dan mahasiswa harus mendesak kedua hal di atas secara bersamaan. Namun, gerakan dan kampanye mendukung RUUPKS (#SahkanRUUPKS) dan menolak RKHUP (#TolakRKUHP) menghadapi beberapa kesulitan. Selain hambatan dari pihak DPR dan pemerintah yang terlihat tidak memprioritaskan isu seksualitas dan kesehatan reproduksi, tantangan juga datang dari beberapa kalangan masyarakat. Isu ini sulit atau jarang dibahas secara terbuka di publik karena banyaknya batasan moral yang membuat segala hak yang berhubungan dengan seks dan seksualitas menjadi tabu.
Dalam hal ini, media sebagai kanal penyebar informasi kepada masyarakat menjadi salah satu aktor penting yang dapat mendorong terbukanya ruang diskusi. Terlebih lagi, di tengah gejolak demonstrasi yang membuat perhatian masyarakat terfokus kepada RUU PKS dan RUU KUHP, media menjadi satu-satunya pengantara yang bisa memberikan informasi mengenai kondisi terkini kepada masyarakat. Agenda gerakan sosial akan terbantu apabila media dapat membingkai secara akurat dan menghubungkan informasi terkini kepada pengalaman pembaca. Sebaliknya, gerakan sosial akan terhambat apabila pemberitaan media terbingkai seolah gerakan tersebut mengancam kehidupan pembaca (misalnya, media menulis kemacetan yang terjadi akibat demonstrasi tetapi tidak memberi konteks alasan terjadinya demonstrasi tersebut).
Oleh karena itu, analisis mengenai bagaimana media membingkai gerakan yang mendukung RUU PKS dan RKUHP menjadi satu hal yang begitu penting. Pemetaan tentang bagaimana media membingkai isu seksualitas dan kesehatan reproduksi akan menjadi informasi penting yang dapat aktivis gunakan dalam merumuskan strategi kampanye dan bingkai mereka, terlebih lagi kepada masyarakat umum yang tidak begitu sering mendapatkan penjelasan isu secara komprehensif. Maka penelitian ini bertujuan memberikan informasi mengenai bingkai media Indonesia dalam memberitakan isu seksualitas dan kesehatan reproduksi yang dibahas dalam RUU PKS dan RKUHP. Pertanyaan yang hendak dijawab adalah: bagaimana media memberitakan RUU PKS dan RKUHP?
Riset-Media-Monitoring-RKUHP-dan-RUUPKS-Pamflet-Generasi.pdf (453 downloads )