Sejarah Feminisme: HerStory or HisStory?

Oleh:
Bromance-mail-online

Terbit dari Barat?

Permulaan munculnya feminisme atau yang dikenal sebagai gelombang pertama merupakan gerakan sipil untuk menghapus perbudakan di Amerika Serikat dan menyuarakan hak perempuan untuk bisa memilih dalam pemilu. Gerakan ini diinisiasi pada pertengahan abad 19, sekitar 1848 oleh Elizabeth Cady Stanton dan sahabatnya Susan B. Anthony. Kemudian, pada abad 20 mulai dikenal gerakan feminis di Eropa yang mengusung sosialisme. Tokoh-tokoh yang dikenal seperti Emma Goldman, Clara Zetkins, dan Rosa Luxemburg. Semangat ini menular ke Asia dan Afrika yang saat itu tengah berjuang untuk lepas dari penjajahan bangsa Eropa.

Di Indonesia sendiri, kurang lebih pada linimasa yang sama diantara 1870-an hingga 1900-an, sosok R.A. Kartini menjadi sosok sentral feminisme awal di Indonesia. Ia mendapat banyak pengaruh dari sahabat penanya yang juga seorang feminis beraliran sosialis, Stella Zeehandelar. Sehingga, tuduhan bahwa feminisme berideologi barat khususnya Belanda memberikan pengaruh dan dampak yang buruk, sama sekali tidak benar. Justru dengan adanya pertukaran pemikiran tentang pembebasan dari penindasan dan pentingnya kehidupan yang layak dan setara bagi setiap manusia membantu lahirnya bangsa Indonesia.

Konteks Indonesia dan Pendefinisian Kata “Perempuan” VS “Wanita”

Membahas konteks feminisme Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pendefinisian apa dan siapa itu perempuan. Pada gelombang kedua inilah bermunculan telaah dan gugatan untuk membedakan kata “perempuan” dengan “wanita” dimana penuh perdebatan dan polemik kepentingan politik. Akar kata “wanita” berasal dari bahasa Sansekerta vanita yang bermakna “yang diinginkan.” Ini berarti wanita menjadi objek bagi laki-laki. Parahnya, kata vanita diserap ke dalam bahasa Jawa Kuno sebagai “wanita.” Budaya Jawa Kuno yang feodal pada masa itu menempatkan wanita sebagai seseorang yang wani ditata (mau diatur) khususnya dalam ranah domestik. Belum lagi adanya polemik Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) di bawah kediktatoran Soeharto yang dihancurkan dan dipandang merusak setelah ia berhasil meraih kekuasaan pasca peristiwa G30S di tahun 1965.

Berbeda dengan kata “perempuan” sebagai seorang manusia utuh yang berusaha mengambil alih otoritas diri. Pada 22 Desember 1928 Kongres Perempuan menunjukkan perlawanan dengan menggunakan kata “perempuan” menggantikan kata “wanita.” Sayangnya pada masa Soekarno, kata “wanita” kembali digaungkan untuk digunakan dengan tujuan menundukkan perempuan dan menciptakan kesan bahwa perempuan harus halus, patuh, tunduk, serta berperan sebagai pendamping dan juga pendukung. Upaya ini disinyalir untuk mematikan pergerakan perempuan dan menjadi politik ibuisme. Lihat saja organisasi-organisasi yang didirikan di masa itu seperti Dharma Wanita, PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga), organisasi istri-istri pegawai negeri sipil, dan juga dibuatnya Kementerian Negara Urusan Peranan Wanita (MENUPW).

Barulah pada 1980-an mulai timbul pergerakan perempuan yang berusaha melawan dan mengembalikan esensi kata “perempuan.” Beberapa pionir yang dikenal seperti APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), Yayasan Perempuan Merdika, dan Solidaritas Perempuan. Sayangnya, di dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang dipublikasikan pada 28 Oktober 1988, baik kata perempuan maupun wanita masih muncul sebagai peyorasi terutama di bagian contoh. Muncul sedikit harapan saat masa kepresidenan Gus Dur dimana Kementerian Negara Urusan Peranan Wanita (MENUPW) diganti menjadi  Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (MenegPP).

Pada akhirnya, baik penggunaan kata “perempuan” ataupun “wanita,” harus diambil alih dan dijadikan pilihan serta kepemilikan oleh manusia yang menyebut dirinya perempuan atau wanita itu sendiri. Sehingga tidak ada kata yang dipandang lebih tinggi atau lebih rendah.

Feminisme Sebagai Kesetaran Gender, Keadilan Manusia

Seperti yang telah diulas di Tabayyun dengan Feminisme pekan lalu, feminisme bukan hanya tentang perempuan. Feminisme merupakan gerakan sosial untuk kesetaraan gender dan keadilan manusia. Kenapa gender? Karena gender menjadi tolak ukur yang menentukan posisi serta peran seseorang dalam sistem kemasyarakatan. Nah, peran yang ada pada struktur ini menyuburkan kekuasaan yang cenderung disalahgunakan oleh salah satu pihak yang dominan. Dalam konteks ini, selain peran dan posisi, gender juga termasuk identitas dan ekspresi.

Kemudian, munculnya istilah patriarki karena adanya dominasi laki-laki dalam posisi dan peran strategis dalam berbagai bidang dan institusi penting seperti politik, hukum, ekonomi, dan sosial. Inilah alasan kuat mengapa feminisme lahir dimana untuk mengubah dan melawan patriarki. Bukan hanya bagi perempuan, tapi juga bagi gender non-maskulin agar bisa mendapat keadilan dan kesetaraan sebagai manusia. Nilai utama yang ada pada feminisme adalah karakter kolaborasi yang adil, bukan kompetitif. Sehingga tidak benar sama sekali bahwa feminisme merupakan gerakan pembenci dan pesaing laki-laki.

Selanjutnya masih terkait dengan sejarah feminisme dalam konteks Indonesia, muncul juga organisasi perempuan yang bergerak untuk memperjuangkan penghapusan kekerasan serta HKSR (Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi). Organisasi yang pertama lahir adalah Kalyanamitra di tahun 1985. Kemudian muncul LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) pada 1998 sebagai upaya aktif para perempuan di Indonesia untuk mendukung perempuan Tionghoa yang menjadi korban dalam pemerkosaan massal.

Memasuki tahun 2010 dan selanjutnya, semakin banyak gerakan feminisme yang memasukkan identitas gender yang lebih luas khususnya yang non maskulin beserta berbagai isu seksualitas. Komnas Perempuan termasuk salah organisasi yang cukup progresif dalam memaknai kata perempuan yang mana tidak dibatasi pengkategorian biologis maupun sosiologis. Kemudian lahir juga gerakan feminisme yang lebih baru dan berfokus pada kerja-kerja akar rumput seperti gerakan transpuan SGRC (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies) dan SWARA (Sanggar Waria Muda).

Jalan perjuangan masih panjang dan di balik jatuh bangun pergerakan feminisme di Indonesia, masih banyak kerja yang belum selesai seperti belum disahkannya RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual). Di seluruh dunia feminisme juga bangkit ikut melawan beragam diskriminasi termasuk warna kulit dan kelas.

 

Sumber:

Jenainati, Cathia & Groves, Jody. (2007). Introducing Feminism. USA. Gutenberg Press. 

Karima Melati, Nadya. (2019). Apa yang Perlu Diketahui tentang Dasar-Dasar Feminisme (1). Jakarta. Magdalene. https://magdalene.co/story/yang-perlu-diketahui-tentang-dasar-dasar-feminisme.

Karima Melati, Nadya. (2019). Apa yang Perlu Diketahui tentang Dasar-Dasar Feminisme (2). Jakarta. Magdalene. https://magdalene.co/story/dasar-dasar-feminisme-2.

Kumparan. (2019). Sejarah Feminisme dalam Bingkai Filsafat Barat. Jakarta. Kumparan. https://kumparan.com/kumparannews/sejarah-feminisme-dalam-bingkai-filsafat-barat-1qqbDcV48RO/full.

Parhani, Siti. (2021). Antara Wanita dan Perempuan, Apa Bedanya? Jakarta. Magdalene. https://magdalene.co/story/antara-wanita-dan-perempuan-apa-bedanya.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content