Pada tanggal 25 Juni kemarin, Pamflet mengadakan sebuah diskusi berjudul: Diskusi Alternatif Kebijakan Narkotika dari Sudut Pandang Orang Muda. Diskusi ini diadakan untuk menyambut peringatan Hari Narkotika Internasional yang jatuh pada tanggal 26 Juni 2021.
Apa sih yang diobrolin dalam diskusi tentang narkotika ini? Mungkin, secara sekilas orang-orang muda seperti kita akan mengira pembahasan mengenai narkotika akan selalu membahas mengenai bahaya narkotika dan bagaimana cara agar kita terlepas dari ancaman bahaya tersebut.
Tapi, diskusi yang diadakan dengan dukungan Support Don’t Punish ini berbeda lho dengan diskusi a la BNN atau kepolisian. Di diskusi kemarin, kita diajak untuk lebih kritis dalam memahami narkotika dan kebijakan yang mengatur mengenai penggunaan atau pelarangannya.
Di awal diskusi, kita disuguhi sebuah video pendek berjudul The Flower. Film animasi ini menggambarkan sebuah kondisi bagaimana sebuah bunga yang memiliki banyak manfaat digunakan secara maksimal untuk keperluan kesehatan, rekreasi, dan pengetahuan. Namun, kondisi tersebut kemudian berubah setelah kemunculan sebuah badan otoritatif yang melarang segala bentuk penggunaan si bunga tersebut dan menghukum atau memenjarakan setiap orang yang memiliki atau menggunakan bunga untuk alasan dan keperluan apapun. Usut punya usut, bunga yang diceritakan di dalam video tersebut melambangkan tumbuhan marijuana atau ganja.
Video tersebut mencoba membuat penonton bisa membandingkan pendekatan yang paling benar terhadap ganja, apakah dengan pemanfaatan yang teratur atau dengan pelarangan total. Dengan memanfaatkan ganja, masyarakat mendapatkan keuntungan dari manfaat medis dan rekreasi yang dimiliki tumbuhan tersebut, juga pendapatan pajak dari penggunaan yang diatur oleh negara. Di sisi lain, pelarangan total membuat kebutuhan medis maupun rekreasi masyarakat tidak terpenuhi, pendapatan pajak menurun. Perdagangan ilegal yang berbahaya dan penuh tindak kriminal pun bermunculan untuk memenuhi kebutuhan yang terus ada.
Peserta diskusi kemudian diajak berefleksi dari video tersebut. Sebagai salah satu penanggap di sesi ini, aku menyampaikan pertanyaan yang muncul di benakku. Apakah mungkin Indonesia bisa mencapai kondisi pertama seperti yang ada di video? Dan apakah kondisi seperti itu akan membawa dampak baik bagi kita? Aku mencoba berkaca pada bagaimana kuatnya kampanye anti narkotika di Indonesia (atau sering disebut NARKOBA), yang juga memasukkan ganja di dalamnya, membuat diskusi-diskusi pun menjadi terlarang.
Sementara itu, Chris dari LBHM membuat refleksi ini menjadi lebih intim dengan menyodorkan analogi hubungan benci-cinta. Menurutnya, kita perlu mencari tahu hubungan benci cinta seperti apa yang paling ideal antara kita dan tumbuhan tersebut. Masyarakat di berbagai belahan dunia sudah memiliki sejarah panjang pemanfaatan tumbuhan ganja, bersatu dengan praktik dan ritual kebudayaan, pengobatan, bumbu masak, dan lain sebagainya.
Sebagai anak muda, kita harus bisa mengkaji hubungan benci cinta ini secara kritis. Pendekatan terhadap narkotika melalui kebijakan seperti War On Drugs atau Perang Melawan Narkoba pada kenyataannya menimbulkan banyak kerugian, termasuk kebebasan dan pemenuhan hak asasi manusia akibat pemenjaraan massal.
Dalam diskusi ini, para narasumber berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, termasuk cara pendekatannya terhadap narkotika.
Ada Dani Damanik dari Yayasan Karisma yang selama kurang lebih 20 tahun telah bekerja bersama teman-teman pengguna atau mantan pengguna narkotika untuk mendorong perubahan kebijakan pemerintah agar lebih humanis. Menurut Dani, kebijakan yang sekarang diterapkan Indonesia yaitu War on Drugs menghabiskan anggaran yang sangat banyak. Ada banyak kementerian yang dilibatkan, namun mereka minim pengetahuan mengenai dampak riil dari anggaran tersebut. Selain itu, anggaran tersebut juga tidak dimanfaatkan untuk keperluan harm reduction atau pengurangan dampak buruk dari penggunaan narkotika. Yayasan Karisma memiliki tujuan untuk membantu teman-teman pengguna agar bisa kembali ke masyarakat dan meningkatkan kualitas hidup mereka.
Isu War on Drugs menjadi lebih kompleks ketika Astried, dari Pamflet Generasi, menyampaikan bagaimana kampanye War On Drugs selalu digadang-gadang sebagai upaya melindungi anak muda, tapi justru tidak pernah melibatkan anak muda secara bermakna dalam perumusannya. Anak muda yang menjadi pengguna narkotika justru luput dari perhatian pemerintah. Pemenjaraan yang terlalu banyak terbukti tidak efektif, selain hanya merebut hak dan kualitas masa depan anak muda. Sebagai salah satu pihak yang paling terdampak, pemerintah semestinya melibatkan anak muda dalam perumusan kebijakan narkotika.
Perspektif Fajar Merah sebagai seorang seniman yang sering menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan turut memperkaya diskusi. Ia menyampaikan alasannya mendukung Fidelis dalam kasus penggunaan ganja untuk mengobati almarhum istrinya. Menurut Fajar, apabila menggunakan ganja sebagai pengobatan memberi satu-satunya peluang kesembuhan, maka seharusnya itu bisa dilakukan. Namun, peluang ini terbentur oleh kebijakan hukum yang membuat masalahnya malah menjadi semakin rumit. Selain untuk pemanfaatan medis, serat ganja padahal juga bisa digunakan dalam berbagai bentuk kreasi ramah lingkungan seperti kaos dan tas.
Dhira, dari Lingkar Ganja Nusantara, kemudian menyampaikan bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk mengakhiri ganja-phobia atau ketakutan berlebihan terhadap ganja, bahkan hanya untuk sekadar berdiskusi mengenai manfaatnya. Seharusnya, negara hadir untuk menjaga dan meregulasi pemanfaatan ganja. Seumpama anak yang sedang belajar memanjat, orangtua harus menemani dan menjaga, bukan menghentikan potensi-potensi yang ada dalam anak tersebut. Fobia yang sangat besar terhadap ganja justru menghalangi potensi-potensi pemanfaatan yang bisa diketahui lewat riset ilmiah.
Setelah para narasumber berbagi mengenai pandangan mereka terhadap narkotika, ganja, dan kebijakan narkotika di Indonesia, diskusi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Ketertarikan peserta ternyata begitu beragam. Dari mulai pertanyaan seperti: apakah narkotika merusak moral anak bangsa? Apa tujuan dari legalisasi ganja? Apakah benar kandungan THC ganja Aceh berbeda dengan ganja pada umumnya? Berapa angka narapidana yang saat ini dipenjara akibat narkotika? Hingga mengenai tanggapan para narasumber mengenai selebriti yang tertangkap menggunakan narkotika oleh polisi.
Kurang lebih, seperti itulah hal-hal yang dibicarakan dalam diskusi narkotika kemarin. Ada banyak pertanyaan dan topik yang perlu kita diskusikan lebih lanjut. Pada intinya, kita perlu memahami narkotika dan kebijakan yang mengaturnya dengan lebih kritis. Pemahaman ini bisa muncul dari diskusi-diskusi terbuka yang tidak hanya mengandalkan satu narasi tunggal saja. Emang boleh bikin diskusi tentang narkotika? Ya boleh dong, kan itu praktik berdemokrasi.