Beberapa minggu ke belakang, berita-berita bencana rasanya memenuhi berita dan linimasa media sosial. Kebakaran hutan di California dan Turki yang begitu parah, banjir di Jerman, China, India, serta longsor yang terjadi di Jepang. Di Indonesia, terjadi kebakaran hutan savana di wilayah Taman Nasional Komodo pada hari Sabtu, 9 Agustus lalu.
Resah melihat kabar bencana yang begitu banyak ini, aku mencoba untuk mencari tahu penyebab di baliknya. Ternyata, semakin sering dan semakin parahnya bencana yang terjadi ini adalah dampak nyata dari krisis iklim. Menurut United Nation’s Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC, bumi kita saat ini sudah mengalami kenaikan suhu 1,1℃ dari masa pra-industri. Ini membuat siklus bencana menjadi semakin cepat dan dampaknya bertambah buruk. Hujan deras yang diperkirakan datang 1 kali dalam 10 tahun, saat ini terjadi 30 persen lebih sering. Secara global, kekeringan ekstrem yang biasanya terjadi 1 kali dalam 10 tahun, diperkirakan akan terjadi 70 persen lebih sering.
IPCC adalah sebuah badan atau panel di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dimandatkan untuk mengkaji perubahan iklim yang dihasilkan dari aktivitas manusia, dampak-dampak yang akan terjadi, serta solusi-solusi yang bisa diterapkan.
Pada hari Senin, 9 Agustus 2021 kemarin, IPCC mengeluarkan laporan terbarunya. Terdapat beberapa poin penting yang harus kita perhatikan dari laporan ini, antara lain:
Pada tahun 2040, kenaikan suhu Bumi akan melewati 1,5℃
Dua dekade ke depan, kita akan terus menyaksikan berbagai bentuk bencana yang semakin marak. Selain itu, dampaknya pun akan semakin mematikan. Ini terjadi karena suhu Bumi yang akan terus meningkat secara global. Kalau tahun ini saja kamu sudah merasa cuaca di Indonesia sudah sangat panas, ke depan kondisi ini kemungkinan akan terus memburuk.
(Sumber: 9GAG)
Dampak mematikan dari kenaikan suhu ini bahkan sudah dirasakan oleh ikan-ikan yang ada di laut, lho! Sebuah video yang beredar beberapa minggu lalu menunjukkan ikan salmon yang berada di Colombia River mengalami luka akibat temperatur air yang sudah terlalu panas (mencapai 21℃) untuk dihuni akibat gelombang panas.
Aktivitas manusia adalah penyebab utama yang mengakibatkan pemanasan global
Aktivitas manusia pada masa industri telah mengekstraksi sumber daya alam secara masif, melewati kapasitas alam untuk menyediakan sumber daya. Perusahaan dan industri ekstraktif menjadi aktor yang berperan besar dalam mengakibatkan krisis iklim. Tahukah kamu, kalau 71 persen gas rumah kaca secara global dihasilkan hanya oleh 100 perusahaan saja, yang sebagian besar berasal dari negara maju di kawasan Utara. Sementara itu, negara kawasan Selatan akan menjadi wilayah yang terdampak begitu besar karena memiliki kerentanan lebih daripada negara-negara Utara. Pada 27 Juli lalu, Menkeu Sri Mulyani menyampaikan bahwa dampak dari krisis iklim akan sama dengan pandemi Covid-19 dan negara-negara miskin mungkin akan mendapatkan dampak yang jauh lebih berat.
“Climate change adalah global disaster yang magnitude-nya diperkirakan akan sama seperti pandemi Covid-19, nanti tidak ada satu negara yang bisa escape atau terbebas dari ancaman climate change. Perubahan iklim adalah ancaman global yang nyata dan sudah dipelajari oleh berbagai ilmuwan yang menggambarkan bahwa dunia ini mengalami pemanasan global.”
(Menteri Keuangan, Sri Mulyani dalam acara ESG Capital Market Summit, Selasa, 27 Juli 2021)
Tipping point: tidak ada jalan kembali
Para ilmuwan yang menulis laporan IPCC menyampaikan bahwa kita sudah semakin dekat kepada tipping point atau titik puncak dari perubahan iklim. Setelah melalui titik tersebut, tidak akan ada jalan atau cara untuk mengembalikan kondisi iklim seperti sebelumnya. 😱😱😱
Kok semua beritanya buruk yaaaa… Apa yang harus kita lakukan? 😱😱😱
Kondisi saat ini sudah sangat buruk. Dan kalau kita tidak melakukan apa-apa, malapetaka yang tidak pernah terbayangkan akan terjadi. Yang paling berperan besar untuk menghentikan ini adalah para pemimpin dunia. Pada November 2021 ini, pemimpin-pemimpin negara akan berkumpul di Glasgow untuk menghadiri pertemuan COP26. Salah satu yang akan bergabung adalah Indonesia.
Salah satu hal yang bisa kita lakukan adalah mengawasi dan memastikan pemimpin kita benar-benar serius untuk bekerja mencegah kepunahan. Kita bisa menyampaikan tuntutan kita ke pemerintah agar secara ambisius berupaya menurunkan angka net emisi karbon indonesia hingga mencapai 0 pada tahun 2025. Ini adalah pilihan terbaik untuk tidak memperburuk kondisi kerusakan dan kepunahan yang sudah berjalan saat ini. Tandatangani petisi, lakukan aksi iklim dan terus tuntut pemerintah melalui berbagai jalur komunikasi. Beberapa basis gerakan yang bisa kamu cek adalah Extinction Rebellion Indonesia, Jeda Iklim, atau Bersihkan Indonesia.
Sudah saatnya kita semua mulai bergerak untuk mendorong perubahan sistem. Aku, kamu, yang mungkin adalah mahasiswa atau pekerja biasa bisa menyampaikan desakan kepada pemerintah untuk benar-benar serius menghentikan krisis iklim.