Pohon dan Keselamatan: Tentang Kita yang Tidak Belajar dari Kisah Adam

Pohon dan Keselamatan_ Tentang Kita yang Tidak Belajar dari Kisah Adam

Kesalahan pertama kita adalah melanggar larangan mendekati satu pohon. Modern ini kita menebang pohon dan menggunduli hutan. Sudah seharusnya kita melakukan pertobatan ekologis.

Saya menemukan pohon favorit saya di SMA. Pohon Trembesi. Saya menemukannya di majalah Intisari di perpustakaan sekolah. Satu tulisan di majalah itu membahas program Djarum Foundation menanam 1000 pohon trembesi di sepanjang Jalan Pantura. Satu pohon trembesi dewasa dianggap efektif menyerap emisi kendaraan bermotor. Saya suka trembesi karena terlihat kokoh. Batang dan rantingnya membentuk kerangka seperti payung raksasa. Pohon trembesi membuat siapapun yang bermain di bawahnya merasa nyaman. 

Satu waktu Ibu saya cerita bahwa saya punya beberapa pohon. Bukan trembesi, tapi Albasia. Di desa saya albasia menjadi material pembuat atap rumah. Pohon itu ditanam Ibu pada tahun yang sama dengan tahun saya lahir. Saya seperti punya banyak saudara kembar. Mereka pohon-pohon albasia. Harusnya dulu saya memberi mereka nama.

Alasan ibu menanam pohon-pohon itu sederhana saja. Ia  cerita pohon-pohon itu buat proteksi masa depan. Kelak saya atau anak-anaknya yang lain akan menikah dan akan membuat rumah baru. Membangun rumah itu perlu biayanya mahal, katanya. Jadi, harus disiapkan jauh-jauh hari.

Tapi ibu berbohong. Pohon-pohon itu tidak semuanya untuk persiapan menikah dan membangun rumah. Beberapa sudah ditebang ketika seorang pemborong kayu datang ke rumah. Ibu kepepet membayar keperluan sehari-hari. Saya manut. Orang tua punya pertimbangannya sendiri tentang apa yang baik dan buruk. Kebutuhan keluarga waktu itu memang lebih mendesak. 

Saya memikirkan ulang rentetan kejadian itu sekarang. Alasan ibu menanam pohon itu memang pragmatis. Jauh dari tendensi progresif tentang pohon. Tapi ia menyadarkan sesuatu. Pada pohon-pohon itulah nasib masa depan saya dan keluarga pernah dititipkan. Ibu menghitung dan melihatnya sebagai aset. Saya menangkap sesuatu yang lain; bahwa dalam situasi krisis, pohonlah yang menyelamatkan.

Di Jakarta–di mana saya sekarang tinggal, saya tidak akrab dengan pohon. Kota ini berwarna perak. Saya perlu upaya lebih untuk melihat yang hijau-hijau. Satu teman saya membeli bonsai kecil dan meletakkannya di meja kamar kosnya. Ia percaya bonsai itu bisa membuatnya lebih tenang. Bonsai itu menemaninya melewati pandemi juga stress yang dibawanya. Sebuah Bonsai penyelamat.

Di Islam, kami percaya muasal dunia fana ini disebabkan karena kita bermasalah dengan satu pohon. Adam diturunkan ke bumi dari surga karena mengonsumsi buah dari pohon terlarang. Di Al-Quran larangan itu berbunyi: 

“Dan kami berfirman: ‘Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim” – Al-Baqarah Ayat 35

Saya membayangkan pohon terlarang itu seperti pohon tua yang besar dan rimbun. Persis seperti trembesi. Batang dan rantingnya membentuk kerangka seperti payung raksasa. Pohon itu menjadi rumah berbagai jenis hewan. Di sekelilingnya tumbuh ilalang dan pohon-pohon yang lebih kecil. Di bawah, akarnya mencengkeram tanah. Menjalar kemana-mana dan melahirkan mata air. Dari mata air itu mengalir sungai kecil. Alirannya mengilhami berbagai jenis kehidupan tumbuh sampai tempat yang jauh.

Pohon seperti itu pastilah pohon keramat karena menjadi penopang banyak kehidupan. Ia harus jadi milik bersama karena mempengaruhi ruang hidup bersama. Tempat di sekitar pohon keramat harus dijaga dan dibiarkan tumbuh dengan sendirinya.

Aturan dibuat. Semua orang dilarang mendekati pohon keramat itu demi menjaga keberlangsungan kehidupan. Mendekatinya berarti merusak keberlangsungan ekosistem pohon keramat. Yang mendekatinya adalah orang zalim.

Sekarang kita tidak asing dengan orang zalim itu. Berawal dari melanggar larangan mendekati satu pohon, kita jadi menebang ribuan pohon dan menggunduli hutan. Kita mengulang kesalahan yang membuat kita (umat manusia) terlempar dari tempat yang lebih baik dari tempat kita sekarang. Jika sejarah terulang, akan ke tempat seperti apa lagi kita terlempar?

Bukankah lebih baik kalo kita mempercepat pertobatan ekologis?

Referensi:

Tafsirweb, “Al-Baqarah Ayat 35:, https://tafsirweb.com/300-surat-al-baqarah-ayat-35.html diakses tanggal 23, November 2021.

NewIndonesia.org, “Literasi Kesadaran Ekologi”,https://new-indonesia.org/literasi-kesadaran-ekologi/,  diakses tanggal 22, November 2021.


Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content