Artikel oleh: Jen
PERINGATAN: Artikel ini mengandung konten kekerasan seksual yang dapat memicu tekanan emosional dan mental.
Pernahkah kalian mendengar terminologi slut shaming atau virgin shaming? Jika belum, maka tulisan ini layak untuk disimak.
Slut shaming atau virgin shaming dimaknai sebagai sebuah cara pandang masyarakat kepada perempuan yang sudah tidak lagi perawan atau sudah aktif secara seksual. Mulanya terminologi semacam ini hanya menjadi sebuah bacaan ringan ketika aku berada di bangku perkuliahan. Ya, sekadar menambah wawasanku mengenai banyak hal yang ditutupi mengenai keperawanan di sekitarku. Namun, tidak disangka ternyata aku kemudian menjadi salah satu korban dari slut shaming ini. Pelakunya pun tak lain dan tak bukan, ibuku sendiri. Sebuah ironi memang. Ketika seharusnya “ibu” sebagai tempat pulang dan berlindung berubah menjadi sosok yang menyeramkan untuk sekadar singgah.
Sebelum masuk ke cerita mengenai slut shaming, mengutip dari artikel Courtney Larocca, Virgin Shaming Itu Nyata Dan Inilah Mengapa Ini Konyol. Dalam artikel ini, ia menyampaikan tentang bagaimana harapan masyarakat dari selaput dara perempuan. Courtney mengatakan bahwa Virgin shaming was like a little sister to slut shaming, pada intinya terminologi ini membahas cara masyarakat kita membandingkan perempuan yang sudah kehilangan keperawanannya dengan perempuan yang masih ”suci.” Namun, pemahaman mengenai slut shaming tidak berhenti membahas perempuan yang sudah kehilangan keperawanannya saja, tetapi juga bagaimana perempuan yang masih “suci” dan mempertahankan keperawanannya dianggap tidak laku.
Istilah ini melekat, memberikan beban kepada perempuan yang sudah memiliki pengalaman dan yang belum memiliki pengalaman. Kalau kita bicara tentang aktivitas seksual (tidak hanya perempuan) itu masuk kategori sensitif, sama sensitifnya dengan wacana agama. Beberapa orang mungkin merasa tidak nyaman atau mungkin mereka memiliki trauma masa lalu dengan percakapan semacam ini. Dalam pemikiran saya ini adalah masalah privasi dan harus dilindungi dengan pemahaman yang sama.
Cerita ini bermula saat aku menginjak usia 20 tahun dan bertemu dengan laki-laki (sekarang sudah menjadi mantan) yang kemudian mengajakku untuk berkencan. Bukan bermaksud menjadi that pick me girl. Tapi memang aku belum pernah berpacaran sama sekali, bahkan ciuman pun belum pernah kulakukan. Sebenarnya aku pun baru sadar ketika sudah tiga tahun lebih aku berkencan dengan orang ini bahwa aku merupakan penyintas kekerasan seksual dan perkosaan. Betul sekali, aku kehilangan “keperawanan”-ku dengannya, secara terpaksa tanpa persetujuanku. Dan aku juga diancam.
Selama beberapa tahun aku berusaha menyembunyikan “identitas”-ku dari mama. Namun, suatu ketika ia menemukan bekas tes kehamilan (hasilnya negatif) di kamarku. Di sini sudah terbayang belum jika mamaku tidak paham makna privasi? Beliau menemukan benda tersebut di kamarku. Tanpa seizinku, lalu meneleponku dan bertanya apakah aku sudah berhubungan seksual. Tentu bukanlah hal mudah untuk aku mengakui kebenaran. Ada dua hal yang kupikirkan saat itu. Pertama, jika aku berkata jujur aku akan dinikahkan dengan orang yang sudah melecehkanku. Kedua, jika aku berbohong aku takut akan karma (aku masih takut dengan doa jelek mama). Jadi aku terpaksa bohong.
Melalui artikel ini dan banyak film dan serial barat saya belajar bahwa perempuan selalu menjadi objek di antara kaki mereka saja. Bahkan, jika kita hidup dalam budaya berpikiran terbuka-liberal, konstruksi keperawanan akan selalu menghantui kita. Bahkan, ketika aku sudah berusaha menyembuhkan luka batin sebagai penyintas kekerasan seksual dan pelecehan dengan bertemu dengan sosok laki-laki yang jauh lebih baik, ibuku masih mempermasalahkan aktivitas seksualku dan mengkonstruksikan diriku ini sebagai pelacur karena pakaianku. Masalah kemudian semakin kompleks.
Perundungan yang aku terima sebagai perempuan yang “dianggap masyarakat” sudah tidak utuh ini semoga menjadi pembelajaran bagi orang muda untuk belajar menghargai seseorang bukan dari pakaiannya. Lalu, yang terpenting adalah keperawanan merupakan bentuk konstruksi masyarakat dan hasil dari budaya patriarki yang sudah dipercaya berabad-abad dan telah merugikan banyak perempuan. Aku berharap aku menjadi korban terakhir dari kejamnya sebuah hasil budaya kolot ini.
Maka, untuk merayakan 16 HAKTP tahun ini aku ingin menunjukkan kepada seluruh teman-teman muda sekalian bahwa pelaku dari pelecehan verbal maupun fisik yang dialami oleh perempuan bahkan mungkin laki-laki, adalah orang terdekat kita sendiri. Jangan pernah takut untuk bersuara atau mencari bantuan untuk keluar dari lubang hitam yang selamanya akan menghantui kita.
So, in conclusion I choose to be who I am now, even if I have sex with a lot of men it doesn’t mean I am a slut or a whore or a prostitute. And whatever it is between my legs is not everyone’s business. Though my mother would verbally abuse me by slut shaming me, it won’t stop me from being who I am. I want my voice about gender stereotypes and slut shaming to be heard so that no women could ever experience the same thing like me. Virgin or not virgin is something you should be proud of since it is part of your life. What doesn’t kill you, makes you stronger.