Menengok Sejarah Perempuan: Menggugat Sentimen Dapur, Sumur, Kasur

Menggugat Sentimen Dapur, Sumur, Kasur

Artikel oleh: Lani Mokonio

“Perempuan dan dapur, sumur, kasur”, kata ini pertama kali saya dengar dari Ibu Satria, 64 tahun. Saya bertemu Ibu Satria dalam sebuah pertemuan kelas Sekolah Perempuan yang diorganisir komunitas tempat saya bergiat, Institut Mosintuwu. 

Belakangan saya tahu, kata dapur, sumur, kasur  yang dilekatkan pada perempuan sudah ada sejak ibu saya masih remaja. Istilah ini ternyata diberikan untuk mendefinisikan ruang gerak perempuan yang hanya di wilayah dapur, sumur, dan kasur. Kata dapur mengidentifikasi peran perempuan untuk memasak dan menyiapkan kebutuhan makan keluarga. Sumur menggambarkan tugas perempuan untuk bertanggung jawab pada kebersihan dan keindahan serta menyiapkan kebutuhan laki-laki dan anak-anak dalam rumah. Sementara, kasur memosisikan perempuan untuk melayani kebutuhan biologis laki-laki atau suaminya.

Tiga kata pendek ini punya konsekuensi yang luas dan menyejarah dalam ruang hidup perempuan. 

Sejak kecil saya melihat bagaimana perempuan di sekitar saya menjalani hidup dengan berlapis beban karena tuntutan yang dihidupkan oleh ketiga kata ini. Saat perempuan menjadi istri, pada dirinya melekat identitas lainnya sebagai ibu dari anak-anaknya, sebagai anak mantu dari keluarga suaminya. Pada identitas ini melekat tanggungjawab untuk patuh, pintar mengatur rumah tangga, bijaksana mengurus anak, membanggakan suami dan keluarga, berkelakuan baik jika perlu sempurna. 

Saya membayangkan  betapa melelahkan tanggung jawab itu.

Mama saya, misalnya. Sejak kecil saya mengagumi bagaimana usaha keras mama saya untuk menghidupi saya dan adik-adik. Sambil berjualan sejak pagi hingga sore, mama diwajibkan mengerjakan tugas lainnya dalam rumah, termasuk melayani papa dan keluarga papa saya. Saya beberapa kali mendengar, jika ada kekeliruan dalam menjalankan tugasnya, entah karena capek atau kehilangan fokus karena banyaknya pekerjaan, mama saya akan mendapatkan kritik tajam bukan hanya dari papa saya tapi juga dari keluarga, dan masyarakat. Mama akan menerimanya dalam diam dan memperbaikinya. Dulu, saya mengagumi kemampuan mama mengatasi dan menjalani semua tanggung jawab itu tanpa mengeluh. Lalu, saya menyadari, hal yang dialami mama saya adalah gambaran diskriminasi berlapis pada perempuan 

Mama saya hanyalah satu dari  jutaan perempuan dari istilah dapur, sumur, kasur. Sebuah istilah dari cara pikir patriarki, dimana perempuan ditempatkan sebagai warga negara kelas dua. 

Tentu saja tidak ada yang salah dengan berada di dapur, di sumur atau di kasur. Tetapi, membatasi ruang hidup perempuan di tiga tempat itu adalah hal yang keliru. 

Sejarah perempuan di Poso digambarkan melampaui batasan yang dilekatkan pada kata dapur, sumur, kasur. Dalam buku Perempuan, Konflik dan Perdamaian,  penelusuran tentang sejarah perempuan Poso menemukan bagaimana perempuan Poso dalam sejarahnya memiliki peran sebagai pemimpin spiritual, pemimpin komunitas, seorang negosiator dan tabib. Dalam peran tersebut, pengetahuan dan pengalaman perempuan menjadi sumber bergeraknya sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan masyarakat.Buku ini mencatat tulisan Nikholaus Adriani tentang peran imam dimiliki oleh perempuan karena perempuan-perempuan imam adalah lubuk ilmu pengetahuan.

“Jadi kiranya boleh dikatakan bahwa masyarakat Toraja hanya mengenal ‘sarjana-sarjana’ wanita saja. Jikalau pengertian sarjana ini hanya diberi ruang lingkup yang sempit saja, kata-kata di atas itu memang benar. Ilmu pengetahuan yang dikenal oleh orang-orang Toraja hanya ilmu ketuhanan dan dalam hal ini hanya wanita saja yang tahu. Bahkan suami imam wanita pun tidak lebih tahu dari pria-pria lain mengenai hal itu.”

Menurut Adrian, pada masa masyarakat masih mempraktikkan kegiatan mengayau, perempuan yang berperan sebagai imam merupakan sumber pengetahuan tentang ketuhanan. Imam perempuan dalam sejarah Poso disebut tadumburake.

Ini mengingatkan saya salah satu sekuel film Pirates Of The Carribean: Dead Man Tell No Tales (2017). Carina Smyth yang diperankan oleh Kaya Scodelario, dipenjara bahkan dihukum gantung karena dituduh sebagai penyihir. Tuduhan sebagai penyihir dilekatkan pada Carina karena kemampuannya dalam membaca benda-benda langit, sekarang kita mengenalnya sebagai ilmu astronomi. Kemampuan atau pengetahuan yang dimiliki perempuan dalam film ini dianggap sebagai hal yang berbahaya dan tidak sepantasnya. Pertama-tama bukan karena pengetahuan itu dianggap berbahaya, tapi karena pengetahuan itu dimiliki oleh perempuan. 

Pengetahuan, jika dimiliki oleh perempuan dianggap tidak layak bahkan berbahaya dalam konteks Poso bisa ditelusuri dari sejarah peminggiran peran perempuan. Masuknya agama Kristen yang membuka sekolah guru yang diikuti oleh laki-laki, memegang peranan penting dalam mengubah peran perempuan dalam komunitas. Sekolah guru ini membawa serta kebudayaan Belanda. 

Diceritakan bahwa, didikan dalam sekolah guru ini menyertakan gaya hidup Belanda, misalnya seorang suami harus menggunakan dasi kupu-kupu ditemani oleh istrinya di sampingnya. Sementara itu calon istri dari seorang calon guru diajarkan kebudayaan Belanda dalam tata cara penggunaan sendok dan garpu yang benar di meja makan, termasuk penataan meja. Perempuan dalam budaya ini diarahkan untuk memiliki kesopanan dalam pengaturan rumah tangga, terutama di meja makan. Pada saat bersamaan, peran perempuan sebagai pemimpin spiritual dalam komunitas dianggap sebagai sebuah ritual berhala. Disinilah domestikasi peran perempuan diperkenalkan dan dimulai. Para perempuan diberikan pendidikan keterampilan untuk merajut, menata meja, menanam bunga, menyetrika pakaian, menentukan gizi makanan, membuat kue, menatanya dengan manis dan duduk dengan sopan.

Pendidikan yang demikian membudaya dalam sejarah Poso, melekat pada setiap nadi kehidupan rumah tangga, karenanya dianggap sebagai sebuah hal yang sah, layak dan wajar. Di sini, kata dapur, sumur dan kasur dilegalkan oleh setiap orang, termasuk perempuan, juga mama saya. 

Namun, Ibu Satria yang saya temui, menceritakan dapur, sumur, kasur dalam sebuah kritik yang tajam. Kritik atas penempatan perempuan hanya dalam batasan dapur, sumur, kasur didapatkannya dalam kelas sekolah perempuan. Sekolah perempuan yang diorganisir Institut Mosintuwu menjadi ruang pengetahuan yang menggali kembali sejarah milik perempuan dan menguatkan pengetahuan perempuan. Alhasil, Ibu Satria menjadi salah satu perempuan di desanya yang memimpin perubahan signifikan. Menjadi ketua kelompok tani, memimpin perdebatan tentang bagaimana membangun desa, serta mendorong kerja-kerja perlindungan terhadap perempuan dan anak. 

Cerita Ibu Satria menjadi gambaran tentang ruang-ruang pengetahuan kritis atas sejarah dan pengalaman perempuan sebagai sebuah ruang untuk menggugat berbagai bentuk penindasan, diskriminasi yang dialami perempuan. Termasuk pada sentimen dapur, sumur dan kasur.

Referensi

Lian Gogali, Asni Yati Hamidi, Martince Baleona, dalam Perempuan, Konflik dan Perdamaian , bab Perempuan Poso Bertutur (JPIT, 2021).

N. Adrian, “Wanita Toraja Sebagai Imam,” dalam Peranan dan Kedudukan Wani- ta Indonesia, eds. Maria Ulfa Subadio dan T. O. Ihromi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994).

Tentang penulis

Lani seorang anak muda (yang ingin menjadi anak kecil) yang bergiat sebagai pekerja sosial di Institut Mosintuwu, sebuah LSM lokal di Poso, Sulawesi Tengah yang bekerja di isu Ekonomi, Sosial, dan Budaya masyarakat rumput.

Lani bekerja bersama anak-anak muda di Poso dalam menggali kembali ingatan dan nilai-nilai kebudayaan yang sempat terlupakan karena terputus dengan sejarah konflik di Poso. Menulis untuk Lani adalah bentuk pemberontakan yang indah, bentuk bakti yang abadi dan pelarian dari dunia yang makin ngadi-ngadi.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Lain

Skip to content