Artikel oleh: Neka Rusyda Supriatna
“Kamu diterima masuk! Selamat ya!”
Kata-kata tersebut sangat membahagiakan apalagi bagi jobseeker sepertiku. Setelah enam belas kali mengikuti tes dan wawancara kerja, akhirnya aku diterima kerja. Aku diterima sebagai salah satu staf administrasi di Non-Governmental Organization (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang hukum. Jujur, aku sendiri tidak paham sama sekali soal ilmu hukum, tapi paham soal administrasi.
Hari itu aku ditugaskan untuk membantu administrasi kegiatan diskusi publik tentang kekerasan seksual di salah satu kedai kopi di Jakarta Pusat. Senang sekali rasanya bisa bekerja di luar kantorku, apalagi kedai kopi. Aku kebetulan suka sekali minum kopi! Lumayan bekerja sambil ngopi gratis, hehe. Jobdesc-ku saat itu adalah mendokumentasikan diskusi publik yang berlangsung atau bisa dibilang aku menjadi ‘tukang foto-foto’ saat itu. Sambil aku memotret para peserta, aku mendengarkan apa isi diskusinya.
Betapa terkejutnya aku mendengarkan apa yang disampaikan oleh narasumber. Aku baru mengetahui fakta bahwa jika ada perempuan korban kekerasan seksual—terutama perkosaan—yang sudah tidak perawan, ia dianggap sebagai perempuan nakal yang diperlakukan berbeda. Bahkan, cap tersebut bisa meringankan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual. Aku pun mengonfirmasi apa yang aku dengar ke salah satu rekanku yang merupakan peneliti hukum. Ia mengiyakan pertanyaanku; ternyata, apa yang kudengar benar adanya. Sungguh sedih mendengarnya. Rasanya tidak adil. Mengapa perempuan harus dinilai hanya dari keperawanan? Tidak adil bagi perempuan yang memang tidak memiliki selaput dara atau bahkan pernah terjatuh atau kecelakaan dan menyebabkan selaput dara mereka rusak. Sungguh tidak masuk akal menurutku jika pertimbangan hukuman pelaku kasus kekerasan seksual terhadap perempuan masih saja membahas soal keperawanan.
Karena rasa penasaranku, aku mencoba mencari-cari buku tentang kekerasan seksual yang ada di perpustakaan kantorku pada keesokan harinya. Aku ingin mengetahui bagaimana fakta-fakta lain tentang kasus kekerasan seksual di Indonesia. Aku menemukan buku yang menarik berjudul “Kekerasan Seksual di Indonesia: Data, Fakta, & Realita” milik Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Bukunya berwarna dan agak tipis, meyakinkanku untuk mulai membaca dari buku ini. Fakta yang baru kuketahui dari buku ini adalah bahwa sebagian besar pelaku kekerasan seksual justru adalah orang terdekat korban. Bahkan, sebanyak 61 kasus dilakukan oleh pacar korban. Sungguh sangat miris.
Aku lanjut membaca buku kedua berjudul “Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender” penelitian milik Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dengan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). Dikatakan bahwa sebanyak 33.3% kekerasan seksual itu dialami oleh laki-laki. Jadi, tidak hanya perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, laki-laki juga ada. Aku baru mengetahui fakta-fakta tersebut. Menurutku, laki-laki atau perempuan itu sama; sama-sama manusia, sama-sama bisa menjadi korban kekerasan seksual ataupun pelaku kekerasan seksual. Jadi, jangan sampai ada laki-laki korban kekerasan seksual malah ditertawakan atau dicemooh. Ia justru harus kita bantu.
Aku hanya bisa berharap semoga keadilan terus ada bersama para korban kekerasan seksual, baik itu laki-laki maupun perempuan!
Untuk mendownload fakta dan data tentang kekerasan seksual, dapat dilihat pada link berikut: http://mappifhui.org/2016/12/08/kekerasan-seksual-di-indonesia-data-fakta-realita/ dan untuk melihat bagaimana studi kuantitatif tentang kesetaraan gender dapat dilihat di : https://ijrs.or.id/laporan-studi-kuantitatif-barometer-kesetaraan-gender/
Tentang Penulis
Neka Rusyda Supriatna merupakan seorang pustakawan dan staf media komunikasi di IJRS. Neka memiliki hobi menulis dan sudah mempublikasikan beberapa karyanya.